Albi: Aku berangkat, ya!
Iya, kutunggu kedatanganmu, teriak hati Naira dengan riangnya.
Saat ini, denting jam sudah menunjukkan pukul 11.00 tepat. Gadis itu menghitung mundur sang waktu. Tinggal satu jam lagi ia dapat menjumpai lelaki pujaan itu. Jantungnya seolah berdetak makin cepat dari biasanya.
"Hai Jantung, bersikaplah biasa saja, please!" Naira menenangkan diri.Â
"Aku hanya ingin bertemu dengan sahabat lamaku, bukan jodohku. Kenapa harus segelisah ini?" Naira berkata lirih.
Ketika resah agak memudar, Naira mendengar deru mobil di luar rumah. Ia pun mengintip dari balik jendela kamar. Tampak ada mobil berwarna putih di sana. Ia amati dengan saksama pemilik roda empat itu. Benar dugaannya. Lelaki bermata sendu adalah orangnya. Tak banyak yang berubah darinya, selain perawakannya yang makin terlihat berkharisma.
Naira segera berlari ke luar. Ia membuka pintu lalu disapanya lelaki itu dengan senyum terbaik yang ia miliki. Lelaki di depannya tersebut pun membalas dengan gurat bahagia serupa. Senyum khasnya mengembang.
Tetap manis, batin Naira berceloteh tak karuan.
Segera ia persilakan lelaki menawan itu untuk duduk di ruang tamu. Naira memanggil orangtuanya yang tengah bersantai ria sembari menonton TV di ruang tengah. Setelah saling menyapa, gadis itu permisi ke dapur untuk menyiapkan berbagai suguhan sebagai bentuk penyambutan.
"Silakan dinikmati sajian yang tak seberapa ini, Bi!" ujar Naira kaku ketika tanpa sadar ia menyapa lelaki itu dengan panggilan kesayangan semasa remaja dulu. 'Bi'. Begitulah Naira biasa memanggilnya.
"Terima kasih, Ra."