Naira: Waalaikumussalam. Siapa?
Lama sekali Naira menunggu respon dari pengirim pesan tersebut. Ia semakin penasaran. Ada debar dalam dada yang sangat sulit diartikan. Ia sampai menebak yang bukan-bukan. Ia pun menggeleng, menepis segala kemungkinan yang belum tentu kebenarannya.
"Akhirnya, ada balasan juga," bisik Naira begitu melihat tanda pesan masuk pada hape-nya.
Segera ia buka pesan singkat itu. Isinya membuatnya terkejut. Sekujur tubuhnya terasa kaku. Ada debaran yang tak beraturan yang menyelimuti kalbu. Senyum dari sudut bibir mungilnya sontak mengembang.Â
Apakah aku harus sebahagia ini? jerit hati Naira kuat.
08131764xxxx:Â Aku Albi. Albi Pradana. Sahabatmu sewaktu sekolah dulu. Masih ingat?
"Sahabat? Tahukah kamu bahwa aku mengharapkan lebih dari itu? Ah, aku tak berhak terlalu melambung hanya karena ia menghubungiku terlebih dahulu. Bertahun-tahun sudah kulalui waktu tanpanya. Ada secuil rindu yang masih tersisa. Sejak perpisahan itu, aku hanya berimajinasi dengan sosoknya yang begitu kudamba." Naira meracau.Â
Pikirannya sungguh kacau. "Oh Tuhan, bagaimana aku bisa lupa? Hingga detik ini pun namanya masih ranum di sanubari."Â
Bayangan Naira mengembara pada kisah belasan tahun yang sudah terlewat. Meskipun sudah terhitung lama, tetapi ia tidak pernah sedikitpun lupa perihal detail ceritanya.Â
Saat itu, ia masih remaja. Ia melihat dari kejauhan, ada seorang pemuda yang berdiri dengan gagah di dekat gerbang sekolah. Lalu, ia menghampirinya.Â
"Bi, kok, belum masuk?" tanya Naira pada lelaki seusianya itu. Dialah Albi Pradana. Lelaki bermata sendu. Pemilik senyum menawan yang mampu meruntuhkan sukma.