Pernah satu waktu menjelang senja, aku dan Bapak duduk di pelataran belakang rumah sewaktu mudik kala itu. Kuamati sekeliling, seperti ada yang beda.
"Pak, kok, sepertinya batas tanah ini bergeser, ya? Makin sempit," selidikku. Aku yakin bahwa batas tanahnya berubah. Ada yang dengan sengaja merenggut haknya.
"Gak apa-apa, Nduk. Bapak malah bersyukur karena nggak perlu susah-payah lagi mencari ladang pahala," ujar bapak dengan begitu antusias.
Allah. Mulia sekali. Pinjami aku hatimu, Pak! ucapku dalam hati dengan menghalau rasa sesak.
Kulihat tak tampak rasa dendam menyelimuti. Sabar dan ikhlasnya memang sudah teruji. Aku harus banyak belajar ilmu sabar dan ikhlas darinya. Kuakui ini sulit. Namun, aku harus berusaha dengan maksimal.
Lamunanku kembali mengudara. Kutemukan satu titik nostalgia di sana. Ada sosok hebat menari-nari pada indahnya logika. Mamak. Dialah perempuan luar biasa yang stok sabar dan ikhlasnya juga super ekstra.
Aku masih ingat kisah yang sangat menyentuh hatiku. Kala itu aku masih remaja. Ada seseorang yang berbicara hal buruk tentangnya. Bisa dibilang itu sudah masuk ranah fitnah. Harusnya tak bisa dibiarkan begitu saja. Orang seperti harus dibinasakan dengan segera.
"Mamak, kok, diam saja dibilang yang enggak-enggak sama Bude itu?" tanyaku saat itu.
"Halah, gak apa-apa. Malah kita yang untung. Kalau kita ikhlas menerimanya, nggak perlu ngoyo beribadah, dosa kita berkurang dengan sendirinya."
Jawabannya seketika membuatku geleng-geleng. Sebagai anak muda, aku merasa malu. Sebab, aku tidak mampu menjadi seperti dirinya. Ternyata, stok sabar dan ikhlasku harus segera dipompa.
Pinjami aku hatimu, Mak!Â