Sindirannya mantap. Langsung kena di ulu hati. Bagaimana tidak? Akulah satu-satunya di lingkungan ini yang suaminya berprofesi sebagai seorang tenaga pendidik. Aku heran makhluk semacam ini masih saja lestari di muka bumi.
Oh my God.
Aku dibilang pengangguran? Ah, bukannya itu sebutan yang pas untuk orang-orang yang tanpa aktivitas, yang hidupnya luntang-luntung tidak jelas? Lalu, apa cap yang paling tepat untuk orang-orang yang hanya mengurusi hidup orang lain seperti mereka ini? batinku.
Astaghfirullah.
Kalau saja mengumpat itu tidak menyalahi norma, aku akan balas ucapan yang menyayat hati itu dengan sumpah serapah yang tak ada hentinya. Aku muak dengan tutur katanya. Merasa diri paling benar, tetapi menyimpang jauh dari kenyataan. Harusnya manusia seperti ini segera dimusnahkan dari bumi yang penuh tata aturan.
Akan tetapi, aku tidak boleh terlampau larut dengan pernyataan tak lazim itu. Dalam konteks ini, diam adalah cara yang paling ampuh. Kalau ditimpali, pasti lebih panjang lagi ceritanya. Celotehnya pun akan menjadi lebih panjang dari rel kereta. Jadi, lebih baik ikuti alurnya sembari persembahkan senyum terbaik yang kumiliki.
Setelah menghela napas untuk meredam amarah, kuedarkan pandanganku ke berbagai sisi agar emosiku tak tersulut.Â
Tahan. Tahan, bisik hatiku kuat.
"Aku pulang dulu, ya, Bu, sepertinya cintaku sudah pulang," pamitku ketika kulihat dari kejauhan bahwa suamiku sudah memarkirkan motor kesayangannya di depan rumah. Sengaja kusebut 'cintaku' untuk memanggil suamiku di hadapan ibu-ibu itu, biar ada bahan lagi untuk mengghibah.Â
"Jahatnya aku," bisikku sembari menahan tawa.
Kemudian, kupercepat langkahku. Tidak enak rasanya kalau sampai suami sudah pulang, aku tidak segera menyambutnya dengan hangat.