"Ya, udah. Sini! Cerita, geh, Sayang! Mamas tampan siap mendengarkan," ujar suamiku.Â
Ucapan suamiku kali ini sungguh membahagiakan. Kulihat dari binar matanya ada rasa khawatir di sana. Soalnya, kalau aku sudah mulai diam, dia sendiri yang kelimpungan. Tingkat kekhawatirannya otomatis akan meningkat drastis.
Akhirnya ada teman cerita juga. Aku membatin.
Setelah menumpahkan uneg-uneg yang sudah menumpuk, kuharap beban pikiranku sedikit teredam.
Aku mulai berceloteh dengan menggebu, tentang aku yang dibilang sekolah tinggi-tinggi cuma mengurus dapur hingga saat aku dikatain pengangguran yang juga bisanya menghabiskan uang suami.
"Biarin, dong, Sayang! Kan, menyajikan hidangan untuk keluarga itu hal yang mulia. Kalau Mamas malah bangga. Tulusnya pengabdianmu itu membuatku makin terpesona," ungkap suami untuk meyakinkanku.
Aku sangat tersentuh dengan ucapannya. Menurutku, itu sedikit gombal, sih. Namun, tetap saja hal semacam itu mampu menghangatkan hatiku.
"Mas malah bersyukur kalau yang ngabisin duit itu kamu, Sayang. Daripada pengeluaran nggak jelas untuk perempuan lain, kan, makin aneh. Untuk nafkah keluarga memang kewajiban suami. Jadi, nggak usah dipikirin omongan mereka," lanjutnya lagi.
Kata-kata suamiku itu membuatku melayang. Aku merasa menjadi wanita istimewa dengan level keberuntungan yang sempurna.
"Kalau tentang formula sabar dan ikhlas, bisa belajar sama bapak dan mamak," katanya kemudian.
Ingatanku melayang jauh ke kampung halaman. Pikiranku kembali menelisik sosok yang selama ini aku banggakan. Darinya, aku belajar sangat banyak perihal rumitnya alur kehidupan.