Mohon tunggu...
Lateefa Noor
Lateefa Noor Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis amatir yang selalu haus ilmu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Saat Jarak Tak Lagi Dekat

12 Agustus 2023   11:08 Diperbarui: 12 Agustus 2023   11:11 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Mau sampai kapan kamu kayak gini terus?"

Kata tanya itu menjelma bak kaset rusak di kepalanya. Kalau boleh jujur, perempuan yang kini sedang menatap nanar ke arah jendela di kamarnya itu pun tidak tahu pasti jawabannya. Jihan namanya, yang akhir-akhir ini memiliki kebiasaan baru, yaitu berdiam diri di kamar sambil mengamati pemandangan di luar rumah melalui jendela yang ia biarkan terbuka lebar.

"Sampai kapan?" Jihan bergumam lirih, merasakan perih yang perlahan menyusup di sanubari. Jihan sungguh lelah dengan pengharapan kosong yang sengaja ia jaga ini. Namun, untuk berhenti pun, hati kecilnya melarang. Keyakinannya masih terlalu kuat, bahwa lelaki itu pasti akan kembali ke rumah ini lagi. Namun, ia merasa takut kalau pengharapan itu sekadar semu.

Saat jarak tak lagi dekat seperti ini, Jihan baru sadar bahwa kehadiran pasangannya itu begitu berarti.

"Ah, apa masih pantas disebut pasangan?"

Pikiran Jihan kian kacau kala bayangan tentang pujaan hatinya itu melintas. Ada sesak yang tanpa aba-aba merambat. Jihan terisak pelan ketika ingatan tentang pertengkaran hebat itu berkelebat di kepala. Perdebatan yang tak sengaja menyisakan duka yang berkepanjangan.

"Kamu selalu saja begitu, Mas. Selalu nggak enakan sama orang lain, tetapi nggak mikir istrimu di rumah, tuh, lagi butuh apa dan keadaannya gimana. Di sini, aku nunggu-nunggu untuk sekadar makan bareng di rumah. Lalu, kamu dengan nggak tahu dirinya menghabiskan waktu dengan teman-temanmu itu tanpa kabar sama sekali." Kala itu, Jihan menangis tersedu sembari berusaha melunturkan emosinya yang telanjur menggebu. "Setidaknya ... kasih tahu aku, Mas! Biar aku nggak nunggu kayak orang gila sampai tengah malam kayak gini." lanjutnya penuh amarah.

Kalimat panjang Jihan malam itu menjadi awal mula bencana. Liam---suami Jihan, pun emosinya turut tersulut. Perdebatan tanpa henti terjadi sepanjang malam. Hingga puncaknya, Liam pergi dengan membawa lukanya sendiri.

"Lelaki itu kalau ada masalah memang begitu, Ji. Ia butuh jeda, menenangkan diri sejenak. Baru setelah itu, ia akan menjelaskan dengan gamblang alasan yang ia punya. Beda dengan perempuan, yang biasanya akan meluapkan segala keresahannya saat itu juga biar lega. Makanya, nggak heran kalau Liam memilih pergi kalau kamu terus menerus menuntut penyelesaian masalah malam itu."

Jihan seketika tertampar dengan penjelasan dari Rima---sahabatnya, beberapa hari yang lalu. Lantas, ia merenung dan menggali lebih dalam mengenai sikapnya yang keterlaluan.

Jihan mengerti bahwa jarak telah mengajarkannya untuk lebih bijak. Ia juga belajar kalau rasa percaya itu bumbu ampuh untuk merekatkan ikatan dan rasa curiga yang tidak bisa dikendalikan itu benar-benar bisa menghancurkan.

Kalau saja Jihan tidak dihantui kisah masa lalu sang suami yang kelam, ia tentu tidak mengalami krisis percaya semacam ini. Sebenarnya, Jihan sudah berusaha berpikir logis. Akan tetapi, akal sehatnya kerap terkikis. Apa lagi, jika ditambah dengan omongan tak menyenangkan dari lingkungan tempat tinggalnya, Jihan rasanya tak kuasa menahan tangis.

Bahkan, semenjak saat itu, hampir tiap malam Jihan selalu mengalami mimpi buruk. Terkadang, ia tiba-tiba terbangun dengan keringat yang mengucur di sekujur tubuh. Berhari-hari, ia mengalami lewah pikir yang menyebabkan berat badannya menyusut. Sungguh, ia ingin berpikir jernih. Akan tetapi, hal itu tidak mudah. Hatinya benar-benar lelah.

"Tuhanku."

Hanya itu yang mampu Jihan ucapkan ketika pertahanan dirinya memburuk. Entah bagaimana mulanya, Jihan pernah menyakiti diri sendiri dengan membenturkan kepalanya di tembok. Sebab, isi kepalanya seakan-akan penuh sehingga ia tidak sanggup menanggung beban itu lebih lama lagi. Ia bahkan tidak sadar kalau telah melakukan hal buruk itu.

Dengan perasaan yang tak kunjung membaik, Jihan berusaha untuk lekas bangkit.

Aku harus berubah, batin Jihan dengan mengumpulkan semangatnya yang sudah bertebaran.

"Kamu bisa, Jihan!"

Tak tahan, Jihan langsung menghubungi Rima, satu-satunya orang yang bisa dipercaya. Lalu, ia menceritakan satu demi satu kejadian memilukan yang ia alami. Dari situlah Rima menyarankan agar Jihan bertemu dengan terapis profesional sebelum hal tidak baik itu terulang.

Alhasil, Rima menawarkan diri untuk menemani Jihan ke rumah sakit, tempat kenalannya praktik. Jihan pun menurut.

Akhirnya, hari yang dijanjikan tiba. Jihan sudah bersiap sedari pagi untuk menyambut kedatangan Rima.

"Kamu duduk di sini aja, Ji. Aku tak ngurus pendaftarannya dulu," ujar Rima yang dibalas dengan anggukan oleh Jihan.

Sepeninggalnya Rima, Jihan mengedarkan pandangannya ke sekeliling, hingga matanya menyipit ketika melihat sosok yang sangat tidak asing di kejauhan. Tanpa berpikir panjang, Jihan segera menuju ke sana dengan perasaan berkecamuk.

"Mas!" teriak Jihan yang membuat seseorang yang amat ia benci namun ia rindu setengah mati itu mendadak berhenti.

"Jihan." Lelaki itu berucap pelan.

"Mas kenapa di sini? Maksudku ... kenapa pakai pakaian seperti ini? Ada infus juga itu."

Rentetan pertanyaan dari Jihan diabaikan. Lelaki itu hanya tersenyum tipis menanggapi.

"Liam! Kan, sudah dibilangin. Jangan kelayapan terus. Waktunya digunakan istirahat dengan baik."

Jihan masih mencoba mencerna kalimat yang dilontarkan oleh seorang laki-laki berseragam dokter itu. Otaknya seketika kaku.

Selepas kebisuan menguasai, sang dokter mengajak Jihan ke ruangannya untuk mendiskusikan beberapa hal. Tentu saja setelah memaksa Liam untuk kembali ke ruang rawatnya.

Bagai tersambar petir, berita mengejutkan itu hampir saja membuat jantung Jihan melompat ke luar. Tangis Jihan tumpah tatkala mengetahui kalau Liam sedang berjuang melawan penyakit yang mematikan. Sekaligus, perempuan itu juga paham jika selama ini Liam tidak menghilang. Lelaki itu memang berniat menyembunyikan semua ini dari sang istri karena tidak ingin membuatnya khawatir. Bahkan, ia rela kalau kekasih hatinya itu membencinya seumur hidup, dari pada harus melihatnya bersedih setiap waktu.

Setelah tangisnya reda, Jihan bergegas menemui Liam, meyakinkan diri bahwa yang dikatakan dokter itu tadi tidak benar.

"Mas." Begitu sampai di tempat Liam, Jihan langsung menubruk lelaki itu tanpa ragu. Ia memeluk erat seolah-olah tidak akan ada hari esok lagi untuk berjarak sedekat ini, seperti saat ini.

"Aku merasa nggak berguna banget," ungkap Jihan penuh penyesalan sembari meminta maaf berkali-kali.

"Kamu nggak salah. Mas saja yang pengecut. Maaf dan aku sayang kamu."

Pelukan hangat itu terus berlanjut dan kata sayang itu juga terus diucapkan oleh Liam tanpa henti kalau saja tidak ada kunjungan dokter yang menyela momen mengharukan itu.

Hari demi hari Jihan setia menemani Liam. Bahkan, ia sampai melupakan tujuan awalnya ke rumah sakit ini. Suasana hati Jihan berangsur membaik ketika tak berjarak dengan belahan jiwanya ini. Namun, kebahagian yang terbilang sebentar itu harus pupus ketika mendapati kondisi Liam kian memburuk.

"Kamu harus menjalani hidup dengan lebih baik setelah ini, ya, Sayang. Jangan lupa bahagia!"

Itu kalimat terakhir yang Liam ucapkan untuk Jihan. Seolah-olah, itu adalah pesan terakhir dari pria itu. Sebab, setelah itu, berita tak sedap pun terdengar.

Kini, Liam benar-benar pergi jauh sekali dan bentangan jarak itu benar-benar tak bisa dihindari.


 

---Tamat---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun