Jihan mengerti bahwa jarak telah mengajarkannya untuk lebih bijak. Ia juga belajar kalau rasa percaya itu bumbu ampuh untuk merekatkan ikatan dan rasa curiga yang tidak bisa dikendalikan itu benar-benar bisa menghancurkan.
Kalau saja Jihan tidak dihantui kisah masa lalu sang suami yang kelam, ia tentu tidak mengalami krisis percaya semacam ini. Sebenarnya, Jihan sudah berusaha berpikir logis. Akan tetapi, akal sehatnya kerap terkikis. Apa lagi, jika ditambah dengan omongan tak menyenangkan dari lingkungan tempat tinggalnya, Jihan rasanya tak kuasa menahan tangis.
Bahkan, semenjak saat itu, hampir tiap malam Jihan selalu mengalami mimpi buruk. Terkadang, ia tiba-tiba terbangun dengan keringat yang mengucur di sekujur tubuh. Berhari-hari, ia mengalami lewah pikir yang menyebabkan berat badannya menyusut. Sungguh, ia ingin berpikir jernih. Akan tetapi, hal itu tidak mudah. Hatinya benar-benar lelah.
"Tuhanku."
Hanya itu yang mampu Jihan ucapkan ketika pertahanan dirinya memburuk. Entah bagaimana mulanya, Jihan pernah menyakiti diri sendiri dengan membenturkan kepalanya di tembok. Sebab, isi kepalanya seakan-akan penuh sehingga ia tidak sanggup menanggung beban itu lebih lama lagi. Ia bahkan tidak sadar kalau telah melakukan hal buruk itu.
Dengan perasaan yang tak kunjung membaik, Jihan berusaha untuk lekas bangkit.
Aku harus berubah, batin Jihan dengan mengumpulkan semangatnya yang sudah bertebaran.
"Kamu bisa, Jihan!"
Tak tahan, Jihan langsung menghubungi Rima, satu-satunya orang yang bisa dipercaya. Lalu, ia menceritakan satu demi satu kejadian memilukan yang ia alami. Dari situlah Rima menyarankan agar Jihan bertemu dengan terapis profesional sebelum hal tidak baik itu terulang.
Alhasil, Rima menawarkan diri untuk menemani Jihan ke rumah sakit, tempat kenalannya praktik. Jihan pun menurut.
Akhirnya, hari yang dijanjikan tiba. Jihan sudah bersiap sedari pagi untuk menyambut kedatangan Rima.