Semua orang berkumpul di lantai bawah, beberapa mobil sudah siap di luar. Umi-san membangunkanku dan langsung menyuruhku bersiap-siap. Tuan besar ambruk di Kyoto dan meminta kami semua datang menyusulnya. Ini pukul satu pagi. Hawa dingin terus menjalari punggungku.
Ketika turun, tuan muda dan nyonya sudah berdiri menunggu. Nyonya tengah mengobrol dengan laki-laki paruh baya yang selanjutnya kukenal sebagai pengacara keluarga dan tuan muda sibuk menelepon.
Saat aku menuruni tangga, mereka semua memandangku tapi lalu tuan muda membuang mukanya. Kutundukkan pandanganku dalam-dalam.
Tak lama setelah itu kami berangkat, nyonya satu mobil dengan tuan pengacara dan aku digiring ke mobil yang sama dengan tuan muda. Selama perjalanan kufokuskan diriku berdoa untuk tuan besar. Sebelum turun tadi aku sempat mengambil jimat keselamatan dari kuil di Toyama. Kuenyahkan perasaan tak nyaman karena tatapan tuan muda. Kugenggam jimat sambil terus berdoa agar dewa menjaga tuan besar.
**
Ia terus mencengkram jimat. Matanya menatap ke bawah, meski terlihat tenang Hiro tahu bahwa gadis di sampingnya berusaha duduk sejauh mungkin. Gadis licik, benak Hiro. Ia tidak akan tertipu dengan wajah pucat dan mata sedih itu.
Seolah tak cukup kakek dibuat terpukul dengan pengakuan ibu, kini muncul pengerat kecil di rumahnya. Hiro menghela nafas. Ia benar-benar marah ketika Tomine mengabarkan bahwa setan kecil ini datang dan akan menetap.
Atas permintaan kakek, Hiro kembali ke rumah utama dan meninggalkan tumpukan pekerjaan di lab. Ia dengan patuh mengerjakan semua tetek bengek membosankan di perusahaan dan membiarkan kakeknya menghilang untuk beristirahat. Tapi mendadak diminta untuk mewarisi perusahaan dan menikah di luar perkiraannya.
Ddrrrt... drrt...
“Ya, aku sudah tahu. Kami sedang dalam perjalanan, terus bujuk dia.” Jawab Hiro. Ini sudah telepon ke tiga, pihak rumah sakit menanti izin keluarga untuk segera melakukan prosedur operasi karena kakek menolak tindakan apa pun.
“Apa tuan besar baik-baik saja?” cicit Rin dengan alis bertaut. Hiro menatapnya, “apa itu penting untukmu?” jawabnya tajam. Rin menelan ludah dan menundukkan pandangannya. Ia menggumamkan kata maaf lalu kembali diam.
**
Tuan besar terkulai lemah ketika kami masuk, ada alat yang menempel di jari dan dadanya. Meski begitu tapi ia sempat menyunggingkan senyum tipis ke arahku. Ia menyuruh nyonya keluar dan meminta aku dan tuan muda mendekat.
“Pernikahan kalian akan diatur dalam waktu dekat,” ujar tuan besar dengan suara tercekat. Aku memegangi tangan tuan besar.
“Tuan...” gumamku. “Itu syaratnya,” lanjut tuan besar, tapi kali ini matanya lurus tertuju pada Tuan Hiro. Mendengar ini, Tuan muda menghela nafas, “akan kupanggil dokternya,” sahutnya. Tuan besar tersenyum dan mengusap kepalaku. Aku hanya bisa menatapnya, “tuan, cepatlah sembuh...”
**
“Akagi akan mengantarmu ke hotel,” ucap Hiro singkat setelah ibunya pergi mengurus beberapa pekerjaan kakek yang tercecer.
“Saya akan menunggu di sini,” jawab Rin, tak seperti biasanya Rin yang selalu ketakutan kali ini terdengar berani. Hiro menyunggingkan senyum sinisnya. Entah sampai kapan gadis ini mau berpura-pura.
“Terserah kalau begitu,” ia melenggang meninggalkan Rin di ruang tunggu sendirian. Hiro lapar, ia akan mencari makan lalu pergi ke anak perusahaan di Kyoto. Saat ini kakeknya sudah dalam penanganan dokter dan tiga hari lagi operasi pemasangan stent akan dilakukan. Masalah rencana pernikahan yang dipercepat, untuk sementara ini Hiro akan menerimanya, paling tidak sampai kakek kembali sehat, baru setelah itu, ia akan membereskan semuanya.
**
Rin terlihat cantik dalam balutan gaun brokat putih. Seluruh aura kecantikan berhasil ditarik keluar oleh penata rias. Dengan rambut depan dikepang daun dan gelungan manis di bagian belakang, Rin tampil mengagumkan. Kulit putihnya berpendar dan wajah pucatnya sudah disapu riasan tipis. Penata rias memilih lipstik merah untuk bibir Rin, dan benar saja, dengan bibir merah menyala, bulu mata lentik dan alis hitam, ia terlihat layaknya ratu peri. Ratu peri yang sedih.
Pernikahan adalah hal yang selalu diimpikan olehnya. Kuil kecil di atas bukit, kimono, kehadiran ayah-ibu, bibi, sahabatnya marie dan calon suami yang ia cintai... jelas sekarang mimpi itu tak akan terwujud. Sebagai gantinya, kapel cantik, aula megah, dan ratusan orang yang tidak ia kenal akan menghadiri pernikahan Rin.
“Oh Nona... aku tak sabar melihat Anda berjalan ke arah tuan muda nanti, kalian akan membuat semua orang iri!” desah Umi kagum. Rin tersenyum. Ia berusaha terlihat sebahagia mungkin. Ini permintaan tuan besar, pernikahan ini akan membuat tuannya senang. Paling tidak hanya ini yang bisa Rin lakukan. Sudah sebulan sejak tuannya keluar dari rumah sakit dan selama sebulan lebih Rin terus mendampingi kakek tua itu. Hari-hari Rin bersama tuan besar sama menyenangkannya ketika ia berteman dengan tuan di Toyama.
Kini keberadaan tuan sama pentingnya seperti keberadaan bibi. Meski banyak gunjingan yang dilimpahkan kepadanya, Rin berusaha kuat. Ia adalah satu-satunya orang yang dipercaya tuan untuk menjaga keluarganya kelak. Entah bagaimana, tuan percaya bahwa Rin bisa membuat Tuan Hiro dan nyonya kembali berkumpul.
“Sudah saatnya, nona” Tomine muncul dari balik pintu. Begitu pintu terbuka lebar, tuan besar muncul dengan kursi roda yang didorongkan pengacaranya, Sata-san.
“Ah! Sudah kuduga...” gumam tuan besar pelan dengan suara parau. Rin segera menghampirinya. “Tuan,” ia berlutut, membiarkan tuan besar menggenggam tangannya. “Sata, Tomine, bantu aku berdiri,” tiba-tiba tuan mengambil ancang-ancang untuk bangun, dengan sigap dua orang kepercayaan tuan besar itu membantunya. “Aku akan membawamu ke Hiro,” ucapnya sambil menggamit tangan Rin dan menyelipkannya di lengannya sendiri.
Setelah itu, Umi memasangkan tudung tipis dengan ukiran renda yang indah dan kedua orang itu pun berjalan beriringan menuju kapel.
**
bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H