Mak, terimakasih sudah menjadi guru banyak ilmu tanpa memberiku angka merah, karena kasihmu. meski aku sendiri terkadang menangis mengingat semua kenakalanku. mengingat hari-hari di mana air matamu tumpah dan meruah karenaku.
Masih kuingat bagaimana engkau menangisiku, karena kenakalanku yang melewati batas. Aku anak perempuanmu yang melanggar jam tidur siang, melompati jendela dan bermandi hujan. Dan aku pulang dengan kepala kuyup dan pingsan. Kau bahkan hanya bisa menangisiku sambil merawatku saja. Meski akhirnya setelah semua reda, omelanmu yang penuh kasih meruah. Kupikir saat itu aku akan kau usir ke bulan atau kau lempar ke bintang. Sebab aku telah melukakan dan yang lebih membuatku paham atas kemarahanmu adalah karena aku perempuan!
Aku masih ingat bsgaimana kau menguatkan kala kita terpuruk disertai sedikit bentakan, "Bawa piring-piring ini ke rumah ujung jalan, tukar dengan beras agar malam ini kita tidak kelaparan!"
Lalu aku akan terkaget dan kebingungan, karena selalu saja barang yang aku tukarkan dihargai tak sepadan.
Kau bahkan tak pernah menyalahkan bapak kala kita kehabisan makanan. "Bapakmu sudah berusaha mencari uang, bayarannya ditunda bulan depan!"
Kau malah menyalahkanku jika aku menangis dan sedikit berkata buruk. "Simpan serapahmu!Tuhan mengajarkan banyak lewat penderitaan. Buka matamu, kelak saat kau dewasa, kau bisa terapkan, bahwa aniaya adalah dosa, bahwa menghargai adalah kebaikan yang mendamaikan!"
Mak, bahkan di saat duka kau tetap terjaga dengan kebaikan. "Hidup hanya menjalani, tak usah menilai, kebenaran harus kau genggam meski nyawa adalah taruhan."
Aku tidak tahu, Mak. Apa aku sudah seperti yang kau pinta, aku hanya ingin menjadi sepertimu untuk anak-anak dan suamiku.
Kelaparan adalah kesalahan yang selalu kau sesalkan karena aku mesti melewatinya. Kau selalu saja berusaha agar hidupku terbebas dari kelaparan, meski satu persatu harta kita pinah tempat ke rumah tetangga. Kemiskinan selalu saja membuatmu merasa bersalah karena aku tak bisa kuliah. Mak, itu bukan kesalahan. Aku sudah mengikhlaskan, kan kubayar lewat anak-anakku agar mereka bisa sekolah lebih tinggi, dan dirimu tak merasa bersalah lagi. Tersenyumlah, Mak, kemiskinan yang nyata itu andai aku tak memiliki iu sepertimu!
Kau bahkan begitu tegarnya menantang dunia, tak kau izinkan aku untuk mendendam kala kesalitan mereka kirimkan, "Jadilah pemaaf tapi ingat bukan pecundang!"
Mak, acap kali berjauhan denganmu saat badai menghampiri ingin rasanya aku berlari mencari dirimu yang bumi. Tapi aku tak mau jadi pecundang, yang membawa bendera kalah perang. Aku ingin menjadi pemenang yang selalu memegang erat kebaikan. Aku akan bertahan dan kelak aku ingin anakku mengenang seperti aku padamu.