Aku menangis, Mak. Mengingat kebaikanmu dan kenakalanku. Benar kata bu guru, kelak aku akan menjadi ibu dan merindukan sosok dirimu.
Kau masih ingat, Mak? Jawabanku saat kau menyanyikan lagu itu menjelang tidurku?
"Aku bukan Beta, dan ibuku bukan Matahari!"
Dan kau tetap saja menyenandungkan lagu itu sambil tersenyum dan mengusap kepalaku dengan kasih, hingga aku terlelap berteman mimpi.
Telah kita lalui hari-hari melelahkan, telah panjang langkah menempuhi kekeringan, telah beribu sedih kita seberangi, hingga  lautan air mata adalah penguat asa.Tulari aku, mak sedikit saja ketulusan yang kau punya!
Mak, dirimu masih perempuan tangguh yang sama dari waktu ke waktu, dengan tangan cekatan yang membuat rimbun hijau halaman rumah kecil kita. Masih perempuan kuat yang sama yang menjadii matahari dan selalu berapi menghadapi karang hidup, masih perempuan yang sama yang memunnguti rupiah tapi tak lupa bersedekah.
Masih kudapati pohon sawi, strawberry, ikam-ikan kecil dan pohon mangga juga sukun yang buahnya selalau melebat, yang selalu menyapaku, bahwa aku tak beranjak menjadi orang lain meski aku kini hidap di perantauan jauh darimu
Aku bukan dirimu, ingin sekali menjadi orang sepertimu, perempuan yang menjadi payung dengan nasihat bijak, petempuan yang menjadi danau menampung segala kurang dan salah dan membasuhnya dengan dia dan kemaafan.
Mak, kau benar ada yang luka di hatimu karena kerap aku tak berbagi kabar. Bukan maksudku untuk ingkar, tetapi hanya tak ingin membuatmu lelah jika kabar yang kubagi hanya kesah. Aku hanya ingin tangguh sepertimu dengan caraku sendiri. Maaf jika aku hanya berbagi kabar bahagia saja dan selalu berpura bahwa aku baik-baik saja dan bahagia.
Mak, aku tidak tahu sebegitu beruntungnya aku menjadi anakmu. Seberuntungnya aku menjadi ibu ketiga anakku. Kau emakku, perempuan nomor satu di dadaku, dan ketiga anakku adalah hadiah terbaik dalam aku menempuhi hidup di dunia ini, aku hanya berusaha mewariskan semua yang kau ajarkan kepada mereka. Meski dulu aku sendiri kerap melanggar da tak mengacuhkannya.
Mak, dirimu itu terlalu sederhana buat ukuran seseorang yang menanam saham. Uang setengah juta kemarin yang aku selipkan saat kita bersalaman sudah membuat air matamu berderai lalu membanjir. Kenapa Mak? Kau bahkan berhak lebih dari itu atas semua yang kauberi. Bahkan engkau yang sampai usiaku matang begini masih saja mengalirkan doa tanpa henti.