Pendahuluan.
Definisi pragmatisme dan pragmatisme Idham Chalid.
Pragmatisme berasal dari istilah bahasa Inggris Pragmatism dalam bentuk kata benda atau noun dalam kamus oxford mendefiniskan sebagai berikut:
“thingking about solving problems in a practical and sensible way rather than by having fixed ideas and theories.”[1]
Atau : mencari solusi masalah berdasar di luar kerangka fikiran yang baku dan teori yang telah ada.
Dengan penambahan “ism” dibelakang kata yang berarti suatu aliran pemikiran yang mencari pemecahan masalah dengan menggunakan pakem diluar kebiasaan yang ada.
Dalam “Internet Encyclopedia of Phylosofy” digambarkan bahwa makna pragmatisme adalah suatu sikap filosofi yang mencakup klaim bahwa suatu ideologi itu bisa dikatakan benar jika bisa memberikan kepuasan, dengan demikian gagasan gagasan yang tak bisa bisa dipraktekkan untuk memenuhi kepuasan itu tak masuk dalam kategori pragmatisme.[2]
Pragmatisme dalam tulisan ini diasosiasikan kepada politik yang dilakukan secara khusus oleh KH. Idham Chalid sehingga dengan kapasitasnya yang mumpuni mampu bertahan di pemerintahan dari masa Sukarno yang otoriter sampai Suharto yang diktator dan dalam waktu yang hampir bersamaan memimpin PBNU selama 28 tahun.
Arti terminologi Pragmatisme KH.Idham Chalid menjadi lebih jelas sebagaimana yang pernah disampaikan dalam beberapa majlis.[3]
Bahwa, beliau berpendapat, “politisi yang baik mesti memahami filosofi air[4] yang apabila dimasukkan dimasukkan dalam gelas, ia akan berbentuk gelas; bila dimasukkan dalam ember, ia akan berbentuk ember; bila dibelah dengan benda tajam, ia akan terputus sesaat dan cepat kembali ke bentuk aslinya. Air juga selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah. Jika disumbat atau dibendung, ia bisa bertahan,bergerak elastis mencari resapan. Bila dibuatkan kanal, ia mampu menghasilkan tenaga penggerak turbin listrik serta mengairi sawah dan tanaman sehingga berguna bagi kehidupan makhluk di dunia.”[5]
Apa yang beliau sampaikan ini, saya kira sudah cukup bisa merepresentasikan apa itu Pragmatisme Idham Chalid dalam artikel saya ini.
Latar belakang .
Keterlibatan NU Nahdhatul Ulama , organisasi keagamaan yang didirikan di Surabaya pada tanggal 16 Rajab 1344 Hijirah atau bertepatan dengan 31 Januari 1926 Masehi oleh Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asyary [6],dalam kehidupan bernegara sejak masih menjadi “kekuatan kultural “ yakni ketika memiliki persamaan pemahaman dan tradisi keagamaan sampai kemudian berubah menjadi “kekuatan struktural” di pemerintahan bukanlah pragmatisme alias oportunisme karna keterlibatannya NU berproses bukan tiba tiba muncul ada di pemerintahan .Keterlibatannya yang tak terhitung secara materi pada masa masa sebelum kemerdekaan dengan tak pernah absen dalam perlawanan melawan kolonialisme. Ketika kemerdekaan negara diproklamirkan pada 17 agustus 1945 NU terlibat langsung membentuk undang undang dan asas negara yang banyak diilhami oleh pemikiran brilian KH. Achmad Shiddiq[7] yang mengukuhkan Pancasila sebagai dasar negara sebagai keputusan final dan mengikat Muslim Nusantara. Keterlibatan NU di masa masa awal setelah kemerdekaan adalah menggelorakan jihad melawan sekutu yang dipimpin langsung oleh pendirinya Hadratus Syaikh[8] KH.Hasyim Asyari[9] . Jadi , hubungan ini adalah simbiosis mutualisme atau hubungan yang saling menguntungkan antara dua belak fihak ; negara dan NU.
Meski bukan “ pragmatisme” berdasarkan review di atas dan bahkan dalam ulasan perjalanan NU berikutnya , namun saya memilih istilah ini untuk mengulas secara khusus interaksi ini dan implikasinya terhadap kebijakan negara terkait dengan issue issue pemberontakan di masa lalu dan terorisme di masa terkini. Pemilihan kata ini tak bermaksud untuk mendiskretkan siapapun namun untuk memudahkan pembaca dalam memahami realita unik ini di NU.
Pragmatisme KH. Idham Chalid: NU Romantis Dengan Negara Karna Sama Sama Sulit.
Posisi NU yang mesra dengan kekuasaan seperti sekarang ini dapat kita tarik benang merahnya ke belakang di masa masa KH. Idham Chalid memegang tampuk pimpinan NU sejak muktamar NU yang ke 21 di Medan pada Desember 1955. Amanah ini dipegangnya sampai tahun 1984 yakni 28 tahun lamanya menjadikan KH. Idham Chalid orang nomor satu di organisasi ini yang tidak terlampaui oleh pendahulunya KH. Hasan Gipo dan penerusnya sampai sekarang.
Sepuluh tahun selepas kemerdekaan adalah masa masa yang sangat labil dan krisis kepercayaan terhadap pemerintahan Sukarno sangat terlihat dari banyaknya pemberontakan separatis dari DI/TI , RMS dan PRRI. Momen ini dimanfaatkan dengan baik oleh KH. Idham Chalid untuk mengambil hati Pemerintahan Sukarno yang sedang membutuhkan suport legitimasi dengan memberikan “Taskhikh Alfiqhy” ;
Waliyyul’ amri addhorury bi assyaukah
Pemerintahan darurat yang sah berkuasa dengan kekuatan.
Fatwa ini memberikan kekuatan kepada pemerintahan Sukarno untuk bertahan menghadapi krisis kepercayaan dalam masa setelah kemerdekaan yang sungguh sulit sekaligus meneguhkan hubungan simbiosis mutualisme antara NU dan Negara. Dalam hal asas negara, NU sedari awal kukuh memperjuangkan Pancasila sebagai dasar negara yang final dan mengikat semua muslim yanga ada di bumi NUsantara ini. Meskipun dari awal memperjuangkan Pancasila, untuk meyakini bahwa tak ada pertentangan antara Pancasila dan Islam dibutuhkan waktu umur nabi atau 40 tahun lamanya.
Pada definisi separatisme di atas, NU di bawah KH. Idham Chalid memberikan istilah fiqh “bughot” atau pemberontak. Berkat definisi ini, Presiden Sukarno dapat menggunakan kekuatan senjata dalam menumpas pemberontakan demi pemberontakan. Ekses dari jalan pedang yang direstui NU ini menjadikan osisi NU jauh dari partai Islam, Masyumi serta simpatisannya namun lebih mesra dengan pemerintah. KH. Idham Chalid berpendapat bahwa menerima pemerintah tanpa protes lebih selamat dari pada menggunakan kekerasan untuk melawan pemerintah karna NU tak akan menang menghadapi pemerintah yang di dukung oleh militer. Jadi perlawanan terhadap pemerintah Sukarno akan membahayakan NU secara organisasi dan para pengikutnya dalam arti NU sedang mengejawantahkan kaidah ushul fiqh:
“ dar’ul mafaasid muqoddamun ala jalbil masholikh.”
Mencegah kerusakan didahulukan dari pada mengambil maslahat.[10]
Ketika Sukarno melemah di pertengahan dekade 60 an, KH. Idham Chalid dengan tangkas memainkan kartunya untuk mempersiapkan gerbong NU pindah haluan ke calon penguasa pasca Sukarno yakni Suharto. Terjadi perdebatan sengit di internal NU dalam posisi “pragmatis oportunis” pasca jatuhnya Sukarno, namun KH. Idham Chalid sekali lagi dengan kelihaiannya dapat meyakinkan koleganya di internal NU untuk tetap bersama pemerintah yang mempunyai kekuatan militer dalam rangka mengimbangi PKI yang menjadi sangat kuat di masa masa akhir Sukarno. Pilihan KH. Idham Chalid ini ternyata sangat jitu yang mengantarkan terbentuknya aliansi antara TNI dan Banser untuk bersama sama menumpas PKI yang secara fiqh telah difatwakan sebagai “bughot” sebagaimana sebelumnya di orde Sukarno.
Kondisi dan situasi pada waktu itu pada level “to kill or to be killed” karna PKI bukan saja Radikalis ekstrimis bersenjata namun lebih dari itu sadis dan bengis terhadap musuh politiknya dan telah jauh merasuki tubuh militer. Kaidah Ushul Fiqh yang berlaku pada kasus pemberantasan PKI adalah mencegah kudeta yang berakibat terancamnya keselamatan seluruh NKRI :
Yakhtamilu Addhororu AlKhossu lidaf’i adhhorori al Ammy
Ditangguhkan bahaya khusus demi menolak bahaya umum.[11]
Karna itu pemerintah siapapun setelah Suharto, dengan dalih Ham-pun jikalau menyalahkan penumpasan peristiwa PKI oleh TNI dan Banser ini maka itu sama saja dengan menyalahkan Negara dan NU yang pada waktu itu hanya selangkah saja menuju suksesnya kudeta PKI terhadap negara. Jika kudeta itu berjalan sukses maka adalah mungkin seluruh Muslim Indonesia termasuk NU akan dimusnahkan oleh PKI yang didukung militer pro PKI dan tidak akan kita saksikan kebebasan beragama seperti yang kita lihat sekarang ini.
Diakui atau tidak pragmatisme NU di masa pasca KH. Idham Chalid adalah warisan dari kepemimpinan KH. Idham Chalid meski dalam bungkus yang berbeda karna perubahan generasi dan masa . Perlu digarisbawahi di sini bahwa pragmatisme KH. Idham Chalid boleh jadi, tapi penulis tak mengatakan pasti, menjadi salah satu faktor eksis dan berkembang pesatnya NU di masa kini sebagaimana pergerakan pergerakan lain yang memilih konfrontasi dengan pemerintahan yang mengalami kehancuran.
Illustrasi perbedaan Pragmatisme KH.Idham Chalid dan Pasca KH.Idham Chalid.
[caption caption="Ilustrasi"][/caption]
Pragmatisme NU pasca KH. Idham Chalid: Definisi Terminologi Terorisme Ala Ibnu Muljam, Kenapa Abu Lu’lu’ Tidak? Ada Apa?
Sejak perang terhadap terorisme yang diusung oleh Amerika dan sekutunya membakar dunia Islam yang pada awalnya berdalih mengejar pelaku pemboman WTC kembar di Newyork. Segala upaya dan daya dilakukan oleh Paman Sam untuk melampiaskan dendam pemboman WTC ini di negara negara Islam walapun lokasi persembuyian Osama Bin Laden yang dulunya adalah didikan dari Amerika ini berada di Afghanistan .
Iraqpun menjadi sasaran kemarahan Amerika dan sekutunya sehingga Saddam Husein berhasil di eksekusi oleh pasukan aliansi pimpinan Amerika.
Sentimen perang terhadap terorisme yang diusung oleh Amerika dan aliansinya meluas di hampir seluruh negara Islam termasuk Indonesia sendiri setelah “munculnya” momen pengeboman di Bali dan beberapa tempat strategis di Indonesia.[12] Menyusul ancaman terhadap gereja gereja saat Natal memberikan kredit bagi Banser untuk memposisikan statusnya terhadap pemerintah dengan memberikan pengamanan yang luar biasa pada tempat ibadah ummat Kristiani ini. Momen yang tepat untuk memulai babak baru “pragmatisme” pasca KH. Idham Chalid.
Dalam beberapa momen, PBNU KH.Said Aqil Siradj[13] menegaskan bahwa terorisme ber-embrio dari orang yang mempunyai ciri ciri pribadi seperti ibnu Muljam[14] . Ibnu Muljam, adalah seorang yang alim, taat beribadah, taat puasa, ahli tahajjud dan ahli Al Quran namun membunuh Khalifah Khulafaurrasyidin yang ke empat Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu. Kasus terorisme yang bersifat negara yang majmuk dari berbagai latar agama, Suku dan golongan atau plural dengan simpel direfleksikan kepada sosok Ibnu Muljam yang Muslim, taat beribadah, tekun puasa di siang hari dan tahajjud di malam hari, ahli Al Quran dan Masjid di sini saja telah terjadi Inkonsistensi karna ini adalah “sebab yang khusus” tidak bisa dijadikan “allafdhu al Ammu”. Terminologi terorisme ala ibnu Muljam ini perlu dikritisi setidaknya dengan empat prinsip Rasulullah yagn direkomendasikan NU kepada negara dalam hubungannya dengan rakyatnya:[15]
- Assyuuro atau musyawarah. Untuk mengeluarkan statemen yang sedemikian penting ini apakah sudah melibatkan semua fihak di internal NU ataupun di luar untuk sampai kesimpulan Ibnu Muljam ini baik dengan sistem langsung maupun keterwakilan.
- Al Musaawat atau equality ; Apakah definisi terorisme ala ibnu Muljam ini tidak mencederai pandangan bahwa setiap orang mempunyi hak kedudukan yang sama tanpa adanya diskriminasi karena ras, agama, jenis kelamin, kedudukan , kelas sosial dll?
- Al Adaalah/justice: Apakah definisi terorisme ala ibnu Muljam ini tidak menyelisihi penetapan suatu keputusan yang berupa hukum, peraturan dan kebijakan sesuai dengan hakikan kebenaran objektif tanpa didasari pandangan subjektif dan tidak bertentangan dengan “Al Mabaadiul AlKhomsah “ Pancasila???
- Al Khurriyah (freedom/kebebasan); apakah definisi terorisme ala Ibnu Muljam ini tidak mencurangi jaminan bagi setiap orang untuk menyampaikan pendapatnya dengan cara baik , bertanggung jawab dan berakhlaqul kariimah??
Tersisa tanda tanya cukup besar juga kenapa memilih sampel “Ibnu Muljam” ansich?. Kenapa tidak juga mengangkat “Abu Lu’lu”[16] yang membunuh Khalifah Umar Bin Khottob? Apakah karna Abu Lu’lu’ pahlawan bagi Syiah sehingga tak dijadikan contoh?. Apakah karna Ibnu Muljam Membunuh Ali.Ra lantas kita meminta darah dari kaum Muslimin karna kesalahan Ibnu Muljam??. Sungguh kita harus bertanya kenapa sampel Ibnu Muljam saja dan tidak Abu Lu’luk yang Non Muslim dan Zindiq. Bagaimana jika yang membunuh Ali Ra adalah Abu Lu’lu yang Non Muslim? Maka bagaimana nantinya bunyi terminologi ala Abu Lu’lu?
Tambahan dari pada itu , peristiwa pembunuhan ini adalah 1400-an tahun yang lalu artinya jauh sebelum isu terorisme modern yang dihembuskan oleh Amerika dan sekutunya kepada dunia Islam. Maka tidak lah relevan jika kejadian yang bersifat “khusushy Araby” untuk dijadikan dasar kejadian yang bersifat “Umumy Alamy al Asry” dalam kontek terorisme ini. Motif pemilihan sampel Ibnu Muljam an sich[17] dari Abu Lu’lu menguak siapa sebenarnya yang mengusungnya.
Terminologi terorisme ala “Ibnu Muljam” dari PBNU KH. Said Aqil Siradj ini didengarkan dengan baik oleh negara atau negara telah menerima sebagai fatwa sebagaimana fatwa bughot di zaman kepemimpnan KH. Idham Chalid terhadap para pemberontak di zaman Sukarno dan PKI yang saya sebutkan di atas sehingga negara tanpa ragu membentuk detasemen khusus “densus 88” yang punya kewenangan untuk menggunakan kekuatan senjata ataupun kekerasan dalam menumpas pelaku teror dengan parameter “Ibnu Muljam” . “presumtion of innocent “[18] , dilangkahi oleh Densus 88 yang bertindak sebagai proxy negara dalam memberantas terorisme.
Pelaku teror meski dengan tingkat terorisme yang lebih merusak sekalipun dan korban jiwa lebih banyak sekalipun jikalau tak memenuhi syarat “ Ibnu Muljam” yang : Islam, alim, taat beribadah, ahli Alquran dan masjid maka tak ada Densus 88 yang dideploitasi. Efek lebih jauh, media pun “ketakutan” menggunakan kata “teroris” dan memilih kata semacam rusuh, kerusuhan dan pelaku kerusuhan bagi pelakunya untuk menghindari ancaman golongan tertentu.
Akar dari kenapa pelaku teror dari Non Muslim “tak terbaca“ oleh Densus 88 sebagai proxy[19] negara dalam memberantas terorisme adalah berawal dari adopsi membabi buta terminologi terorisme ala “Ibnu Muljam”. Berbeda dengan fatwa ” bughot” NU di masa KH. Idham Chalid dengan semangat kebangsaan dan semangat mempertahankan Pancasila yang tak membedakan Ras,agama dan golongan terhadap para pelaku pemberontakan dari DI /TII yang muslim, RMS Ambon yang mayoritas Kristen, dan terfenomenal adalah PkI yang di dalamnya ada Muslim dan Non Muslim meski mengaku Ateis.
Menguji dua pragmatisme di atas dengan nilai nilai ASWAJA ahlussunnah wal jamaah [20]yang dapat saya jelaskan sebagai berikut:
- Tawassut dan i’tidal: “yakni suatu sikap tengah yang berintikan pada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah tengah kehidupan bersama.
NU dengan sikap dasar ini seharusnya bisa menjadi tauladan dan paNUtan yang bersikap dan bertindak lurus dan selalu bersifat membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatharruf atau ekstrim baik kiri maupun kanan.”[21]
- Pragmatisme KH. Idham Chalid: dalam kenyataannya seluruh warga negara terhadap pancasila adalah sama jika memberontak dan tidak mengakui Pancasila akan berhadapan dengan TNI sebagai proxy negara. “Bughot”[22] tidak hanya disematkan pada Muslim saja tapi juga Non Muslim yang meliputi Kristen dan Atheis, kita semua bisa membuka lembaran sejarah bagaimana Pemerintah menumpas DI/TII yang Muslim juga bagaimana pemerintah menumpas RMS dan terakhir bagaimana TNI bersama Banser sebagai proxy NU menumpas PKI. Sekaligus sikap ini juga berarti tidak tathorruf kanan atau terlalu mesra dengan kekuasaan dan tidak juga NU mengikuti Masyumi yang ingin formalisasi Islam yang berarti ekstrim kiri.
- Pragmatisme pasca KH. Idham Chalid: kita semua tahu dengan terang benderang dengan parameter “Ibnu Muljam” , hanya orang yang memenuhi syarat terminologi ‘Ibnu Muljam’ yang akan diidentifikasi sebagai pelaku teror dalam aksi terorisme. Densus 88 tak akan dapat mengidentifikasi kasus terorisme dari Non Muslim sebagaimana Iedul Fitri Ambon [23]dan Idul FitriTolikara yang dengan lebih jelas di depan mata peristiwa terorisme terjadi namun hanya disebut kerusuhan dan pelakunya disebut pelaku kerusuhan. Jadi terminologi terorisme “Ibnu Muljam” atau yang sejenisnya sangat tidak selaras dengan sikap tawassut dan i’tidal karna berdiri dengan tidak adil kepada seluruh warga negara .
- Sikap Tasaamuh: “yakni sikap toleran dan menghargai terhadap perbedaan pandang baik dalam masalah keagamaan terutama dalam hal hal yang bersifat furu’ atau menjadi masalah khilafiah serta dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan.”[24]
- Pragmatisme KH. Idham Chalid: Ketika KH. Idham Chalid dan Buya Hamka[25] dalam perjalanan menjalankan ibadah haji dengan menggunakan kapal laut, KH. Idham Chalid menjadi imam sholat shubuh dan Buya Hamka menjadi salah satu makmumnya. KH. Idham Chalid tidak berqunut shubuh sehingga para makmum menjadi heran karnanya. Dalam kesempatan yang lain di tempat yang sama Buya Hamka juga melakukan hal yang sebaliknya yakni mengimami sholat Shubuh dengan berqunut ketika salah satu makmumnya adalah KH. Idham Chalid. Ini adalah teladan langsung tentang tasaamuh dalam hal furu’.[26]
- Pragmatisme pasca KH. Idham Chalid: NU justru ada suatu kesan digiring untuk toleran terhadap perbedaan ushul namun tidak untuk furu’. NU sangat kelihatan mesra dengan Syiah yang berada di luar ASWAJA dan juga minoritas Kristen dengan alasan rahmatan lil aalamin atau ukhuwwah basyariah yang sebenarnya dengan kecondongan ini adalah inkonsistensi terhadap penerapan ukhuwwah Islamiyyah dan Ukhuwwah basyariah harus bersama sama diterapkan dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Walaupun ada serangan wahabisme yang didengungkan namun tidak boleh membuat NU berpaling ke Syiah ataupun minoritas Kristen karna itu bukan saja tak sejalan asas qonuny Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asyary sebagai pendiri NU yang menolak Syiah dan Wahaby tapi harus tetap berada di tengah tengah semua posisi itu sehingga bisa secara adil dalam menerapkan toleransi.
- Sikap Tawaazun: “Yakni sikap seimbang dalam berkhidmah. Dalam hal ini adalah sikap menyerasikan antara khIdmah kepada Allah, sesama manusia dan lingkungan hidup. Menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini dan masa mendatang.”[27]
- Pragmatisme KH. Idham Chalid: NU di bawah KH. Idham Chalid menurut keterangan KH. Hasyim Muzadi dan dikuatkan dalam makalah Ahmad Fahir tidak pernah mengalami gejolak internal selama 28 tahun. Dalam masa itu bukan dikatakan lebih mudah dari keadaan sekarang karna di dalam negri terjadi gejolak dalam wujud pembangkangan dan pembrontakan di mana mana yang hebat sampai dengan tahun 1965. “Orang yang mengerti Pak KH. Idham Chalid menyatakan beliau ini orang yang istiqomah dalam berbagai situasi tetapi orang yang tidak cocok dengan KH. Idham Chalid akan mengatakannya sebagai oportunis karna dari masa ke masa selalu mendapatkan tempat .”[28] jelas KH. Hasyim Muzadi. Istiqomahnya KH. Idham Chalid ini menjadi ujung tombak tawazun dalam mengabdi kepada Allah, negara dengan selalu mengedapankan Pancasila sebagai asas negara yang tak tergantikan dan tazwaazun lingkungan dengan upaya KH. Idham Chalid menghilangkan dichotomi jawa dan non jawa di NU membuat organisasi ini mengalamai kontraksi penguatan di luar Jawa dengan demikian NU tidak hanya kuat di lokal pulau Jawa namun dalam lingkup Nasional NKRI.
- Pragmatisme pasca KH. Idham Chalid: telah terjadi ketimpangan dalam berkhidmah kepada sesama anak bangsa dan negara sekaligus kurangnya keseimbangan kehidupan antar maNUsia dalam lingkup nasional . Ini terjadi dari muara yang satu yakni terminologi teroris ala Ibnu Muljam diatas yang mengabaikan “al musaawat amaamal khukm “ atau “equality before the law” yang dengannya tidak semua warga negara bisa bergelar teroris meski melakukan tindak terorisme. Sekarang ini bukan terlambat, NU bersama Nahdiyyin harus segera melakukan revolusi agar terminologi terorisme ala Ibnu Muljam ini dicabut dan digantikan dengan definisi yang lebih tawaazun dan i’tidal.
- Amar makruf Nahi Mungkar : “yakni sikap selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan yang baik, berguna dan bermanfaat bagi kehidupan bersama dan mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai nilai kehidupan.”[29]
Saya kita untuk kedua dikotomi[30] unik diatas tidak diragukan dalam melakukan amar makruf nahi Mungkar. Kalaupun ada perbedaan hanyalah masalah intepretasi dan berbeda cara pandang akan ilmu Allah yang sangat luas ini.
Karna amar makruf nahi mungkar ini, kita harus merevitalisasi pragmatisme ini menuju yang lebih baik dengan tetap memegang teguh hal hal lama yang bermanfaat sesuai dengan asas :
Al mukhaafadhatu alal qodiimissholikh wal akhdu bil jadiidi aslah.
Menjaga hal lama yang maslakhah dan mengadopsi hal baru yang lebih maslahah.
Merevitalisasi Pragmatisme NU untuk keutuhan NKRI di masa mendatang.
Mengingat kontribusi NU di masa lalu dalam menjaga NKRI sedemikian nyata maka tidaklah salah NU merevitalisasi kembali pragmatismenya di era millenium post Modernisme di mana perubahan begitu cepat terjadi yang berbanding lurus dengan tantangan tantangan karna berputarnya roda zaman .
Revitalisasi harus menuju yang konstruktif, tawaazun, tawassuth dan disertai mengembalikan NU ke rel yang digariskan oleh pendiri Hadratus Syekh KH. Hasyim Asyary.
Dengan kaidah ushul fiqh Al mukhaafadhatu alal qodiimissholikh wal akhdu bil jadiidi aslah , salah satu contoh kalau menjaga rumah ibadah bagi minoritas adalah “maslakhah” maka hendaknya dilakukan dengan tanpa standar ganda[31] untuk menjadi “aslakh”. Di Jawa minoritasnyanya adalah Non Muslim namun juga ada beberapa tempat yang Muslim minoritas sedang diluar Jawa di wilayah Indonesia Timur Islam menjadi minoritas. Berarti Banser jaga gereja di Jawa adalah maslakhah dan jaga Masjid di (dalam / luar) Jawa di mana muslim minoritas adalah “Aslakh” [32]atau lebih bermanfaat yang harus segera diambil sebagai pedoman pengamanan masjid masjid karna selama ini masjid tidak pernah dijaga sebagaimana dijaganya gereja gereja padahal. Ini adalah sikap Ahlussunnah wal Jamaah “al-musaawat” atau “equality” atau persamaan dalam memandang objek tanpa subyektifitas bengkok di atas bingkai “Rahmatan Lil Aalamin.
Inilah salah satu bentuk revitalisasi pragmatisme NU di era isu terorisme dan tidak menutup kemungkinan dalam bentuk bentuk yang yang lebih kontemporer “khadhory”.
Penutup.
Kiranya tulisan yang penuh dengan kekurangan ini bisa memberikan manfaat kepada NU dan Nahdhiyyin baik yang duduk di struktural maupun yang berada di akar rumput atau kultural khususnya dan kepada kaum Muslimin umumnya.
Nafaana wa iyyakum bi uluumihim wakaramaatihim wa bibarkatimim yarfaillahu darojaatina, waYanshurona Nasron aziizan.
Al ‘abdu alfaqiirbima anzalallohu ilaiya.
Nur Kholis Ghufron.[33]
[1] Oxford Learner Dictionaries
[2] Internet Encyclopedia of Phylosophy, paragraf satu.
[3] Bahasa arab dari akar jalasa yang artinya tempat duduk atau forum.
[4] Idham Chalid : Guru politik orang Nu karya Ahmad Muhajir
[5] Historia: Politisi air yang tak lagi mengalir by Hendri F.Isnaeni.
[6] Wikipedia, Nahdhatul Ulama
[7] Wikipedia :Beliau lahir di Jember pada tanggal 24 January meninggal 23 Januari 1991
[8] Wikipedia : Hadrotus Syaikh adalah julukan KH.Hasyim Asy’ary yang berarti Maha Guru.
[9] Wikipedia: Hadrotus Syaikh Hasyim Asy’ary lahir pada 10 april 1875 di desa Gedang Diwek Jombang Jatim wafat pada 7 September 1947 di makamkan di Tebuireng Jombang/
[10] Kumpulan Kaidah Ushul Fiqh : Isni Center.
[11] Kumpulan Kaidah Ushul Fiqh : Isni Center.
[12] Bom bali 2002 yang menelan korban 202 jiwa dan 209 luka luka.
[13] PBNU terpilih periode 2010-2015 dari Cirebon Jawa barat.
[14] bernama lengkap Abd Ibnu Muljam al Muradi yang membunuh Ali bin Abi Thalib pada 19 Ramadhan 40 Hijriah
[15] Pemikiran Politik Idham Chalid tentang Islam dan Negara: Antasari
[16] Wikipedia English: Abu Lulu adalah seorang Non Muslim Majusi Zindiq dari Persia. Nama persianya adalah Piruz Nahavandi. Dia membunuh Umar. Ra pada waktu sholat Shubu di tahun 23 Hijriah
[17] Wikipedia:Dari bahasa Jerman yang berarti benda dalam dirinya sendiri
[18] Asas praduga tak bersalah.
[19] Oxford Dictionary :The authority to represent someone else. Otoritas yang bertindak untuk pihak lain.
[20] Marzuki Wahid dan abdul Muqsith Ghazali : Relasi agama dan negara: Perspektif pemikiran Nahdhatul Ulama (tt:tp:npb 2010) hal 471
[21] Pemikiran Politik Idham Chalid tentang Islam dan Negara: Antasari. Hal 195-196
[22] Bentuk plural dari baaghy yang artinya pemberontak.
[23] Hereservice: Idul Fitri berdarah terjadi 19 Januari 1999 /1 Syawwal 1419 H
[24] Pemikiran Politik Idham Chalid tentang Islam dan Negara: Antasari. Hal 195-196
[25] Wikipedia : Hamka adalah singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Lahir pada 17 feb 1908 dan wafat pada 24 juli 1981.
[26] Muslim media News : Kisah Buya Hamka membaca qunut Shubuh dan Idham Chalid yang tidak membaca qunut Shubuh.
[27] Pemikiran Politik Idham Chalid tentang Islam dan Negara: Antasari. Hal 195-196
[28] Kyai Idham Chalid, Pemimpin Besar dari Amuntai, Ahmad Fahir. Situs Nahdhatul Ulama
[29] Pemikiran Politik Idham Chalid tentang Islam dan Negara: Antasari. Hal 195-196
[30] Wikipedia Dari asal kata dichotomy yang berarti partition of whoe into two parts.
[31] Wikipedia: standar ganda adalah ukuran standar penilaian yang dikenakan secara tidak sama kepada subyek yang berbeda dalam suatu kejadian yagn serupa yang terkesan tidak adil.
[32] Ashlakh bentuk superlative dari sholakha yang artinya lebih mashlakhah atau lebih berguna.
[33] Penulis adalah alumni MI Darussalam Padar, Mts Darussalam Ngoro, Gontor Darussalam Ponorogo, Universitas Darul Ulum Jombang Hubungan Internasional Semester 1 thok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H