Bukan cuma menanggung beban sosial, tapi juga mental dan jiwa . Bukan hanya untuk Bapak, tapi juga anak dan sanak saudara. Jelas saja Mora tidak setuju. Istilahnya pusara Emak belum kering, Bapak udah bawa masuk Emak baru. Siapa pun pasti akan terguncang dua kali.Â
Aku yang bukan siapa-siapa saja merasa begitu teriris. Apalagi Mora?
"Mora..." Kataku.Â
"Kuburan Emak ku belum kering, dia sudah menabur ranting kering. Sakit. Sakit khof. Aku tau kalo dari dulu dia tak cinta dengan Emak ku. Tapi bukan begini caranya. Bajingan itu tidak tau malu. Aku tau kalo bajingan itu menunggu ajal Emak ku. Dasar bajingan keparat ! Kenapa bukan dia saja yang mati...."Â
Begitu berapi-api Mora menyuarakan suara hati yang sudah dia pendam sejak lama.Â
"Jaga bicaramu Mora. Bagaimana pun dia tetap Ayahmu."Â
"Aku tak punya ayah yang menunggu kematian istrinya. Dia brengsek! "Â
"Mora!" Sekarang aku yang berteriak menyamakan suara emosi nya.
"Manusia memang hanya bisa menunggu kematian yang sudah di garis kan untuknya. Ini bukan salah Ayahmu. Dia juga pasti terpukul melebihi kau. Teman hidupnya telah tiada. Sungguh kau pun tau bagaimana duka Ayahmu."Â
"Aku tak menyalahkan Ayah ku atas meninggalnya Emak. Tapi aku sangat benci dia yang hendak menikah lagi. Perbuatannya sepeninggal Emak Khof yang ku sesalkan padanya."Â
"Mengertilah Mor, dia juga terpukul melebihi kau!" Kataku.