Mohon tunggu...
Nur Jannah
Nur Jannah Mohon Tunggu... Guru - Guru Penulis

Hobi membaca fenomena dan menulis alam, memasak, travelling dan merencanakan masa depan anak negeri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Anak Laut

24 Maret 2023   00:38 Diperbarui: 24 Maret 2023   00:48 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

#cernak

Namaku Zabir Amirfaros, ayah ibuku berasal dari Sulawesi Selatan. Kami suku Bugis yang tinggal di ujung Utara Jakarta tepatnya kota kecil bernama Cilincing. Di daerah ini mata pencaharian utama warganya adalah mencari ikan di laut. 

Aku anak tunggal tak memiliki kakak maupun adik. Untung temanku banyak sehingga hidupku tak kesepian. Ada Rizki Barok, Arabiyansyah alias Si Biyan yang gendut, Gilang, Arya, Finza, Vino, Salsa, Dinda, Layla dan lain-lain

Wilayah rumahku dibatasi oleh perairan teluk Jakarta. Kalau ditelusuri, pantaiku bisa sampai ke pantai Taman Impian Jaya Ancol.

Banyak orang yang memiliki perahu di sini. Nantinya digunakan oleh para nelayan untuk melaut.

Kalau kamu ingin menikmati ikan, udang, cumi dan ketam yang segar, datang saja ke tempatku. Akan kusajikan semua itu. Rasanya sungguh mantap dan gizinya sangat banyak.

Kata bundaku, ikan hasil tangkapan langsung dari laut lebih segar dan menyehatkan dari pada yang sudah dijual di pasar. Pada umumnya di pasar sudah ditambahkan es batu untuk menjaga kesegarannya. Tetapi ikan yang baru datang dari laut jauh lebih segar.

"Zabir! Main yuk!"

Ha, itu suara Biyan temanku yang baik hati. Dia pun sama sepertiku. Anak suku Bugis yang lahir dan tinggal di Jakarta sejak kecil.

"Main apa, Biyan?" tanyaku.

"Kita mencari anak kepiting," sahut Biyan menunjukkan pancingan ketam.

Alat itu sangat sederhana. Hanya dibuat dari kayu kecil sepanjang sekitar setengah meter yang ujungnya diikatkan tali. Nah talinitulah nanti yang kami buat melingkar untuk menjerat kaki anak kepiting dari lubang pasir.

"Ayo, aku pamit pada Bunda dulu ya," sahutku kemudian sambil membawa pancingan ketam milikku.

Aku dan Biyan menggowes sepeda untuk pergi ke tepi pantai. Kami melewati rumah beberapa teman. Salah satunya rumah Salsa. 

Saat kami lewat ia tengah menjemur ikan bersama bibinya. 

"Hai, Salsa!" sapaku.

"Hai, Zabir, Biyan! Kalian mau ke mana?" teriaknya dari kejauhan.

"Biasa," sahut kami sambil mengangkat pancingan kepiting masing-masing.

"Hati-hati," teriaknya sambil tersenyum dan melambaikan tangannya.

"Ya!" sahut aku dan Biyan berbarengan.

Salsa adalah temanku yang baik hati. Ia sangat rajin membantu bibinya menjemur ikan asin untuk dijual di pasar.

Sebelum sampai pantai kami juga melewati rumah Arya. Ayah Arya memiliki perahu untuk dipakai melaut. Perahu ayah Arya sangat kokoh dan indah. Terbuat dari kayu mahoni yang dibentuk dan dihias dengan cat berwarna-warni.

"Hai, Arya!" teriakku.

Arya sedang membantu ayahnya membersihkan perahu. Ia menoleh ke arah kami.

"Hai, mau ke mana kalian?" tanyanya sambil mengelap sisi perahu yang indah itu.

"Macing kepiting yuk," ajak Biyan.

"Aku ingin ikut, tapi sekarang sedang membantu ayahku, nanti sore ayahku akan turun mencari ikan lagi. Lain kali saja ya," sahut Arya.

"Oh ya sudah kalau begitu," sahutku.

Kami pun meneruskan perjalanan.

Sampai di tepi laut Cilincing kami menyandarkan sepeda dan mengikatnya pada sebatang pohon palem yang banyak berjejer di sepanjang dam. 

Pantai Cilincing saat ini sebagian sudah diberi dam setinggi kira-kira sepuluh meter. Padahal kata bunda, dulu pantai Cilincing berpasir putih. Tak kalah indah dengan Pantai Anyer atau Pangandaran. 

"Aduh ... aduh ...." 

Tiba-tiba kudengar suara Biyan meringis kesakitan.

Seekor kepiting kecil berhasil dijeratnya tetapi anak kepiting itu berhasil lari dan mencapit jari Biyan saat temanku itu akan menaruhnya di kaleng. 

Sesaat kemudian Biyan tertawa terbahak-bahak. Dicapit anak kepiting memang sakitnya hanya sebentar. Tadi Biyan hanya kaget saja. Ia menertawakan dirinya sendiri saat tadi meringis kesakitan. Aku pun jadi tertawa dibuatnya.

Setelah beberapa saat, kami berhasil mengumpulkan beberapa anak kepiting. Kami pun pulang dan aku lantas menyerahkannya pada bunda. Biasanya anak kepiting akan dikukus begitu saja di atas dandang. Setelah matang dapat dijadikan lauk dengan dibumbui saos sambal.

Aku bahagia menjadi anak Cilincing. Desa kecil di pinggiran Teluk Jakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun