Chilla dan Dani masih duduk dalam diam. Mereka memandangi ruang putih di hadapan. Orang-orang beberapa kali berlalu lalang. Dua orang perawat sibuk memperhatikan dan mencatat sesuatu di meja depan. Buket bunga berwarna merah terang menghias ujung meja.
"Chil, bantu Mama antar pesanan ke rumah Pak Joko pulang sekolah nanti." Mama memasukkan kue-kue ke dalam stoples.
"Wah, Ma, nggak bisa. Siang ini ada rapat OSIS." Â
Mama memandangi anak gadisnya sebentar. "Selesainya jam berapa?"
"Ng, kurang tahu, Ma. Biasanya sih sore."
 "O, ya sudahlah."
"Ngak apa-apa kan, Ma? Aku wajib datang, sebagai wakil ketua aku harus bertanggung jawab."
 "Loh, bukannya kemarin juga kamu pulang sore?"
"O, itu habis bantu adik-adik kelas."
Mama mengusap-usap dahinya. Ia tak tahu, membantu adik kelas itu bagian dari pelajaran sekolah jugakah?Â
"Memangnya harus ya?" tanya mama kebingungan.
"Iya, harus, Ma. Bantu kerja kelompok kalau ada yang membutuhkan."
"Ya sudah jika begitu," sahut Mama menyembunyikan mata lelahnya setelah membuat kue-kue kering sejak tengah malam untuk dititip di toko Pak Joko.
 "Akhir-akhir ini aku bakalan sibuk di sekolah Ma, mungkin nggak akan sempat antar kue dulu ke toko Pak Joko."
 "Ya sudah. Nggak papa, Nak. Mama rela demi kamu. Supaya kamu berhasil meraih cita-citamu."
"Aku juga nggak bisa bantu mama nyuci-nyuci atau kerja bersih-bersih di rumah dulu. Sibuk banget ini."
Mama menghela nafas panjang.Â
"Nggak papa, Nak. Mama yang akan mengerjakan semuanya. Yang penting kamu bisa berprestasi di sekolah."Â
 "Tenang deh, Ma. Nanti kalau aku sudah lulus dan bekerja, aku akan membahagiakan Mama."
"Ya, Mama dukung saja semua kegiatanmu," jawab mama.
"Makasih, Ma," jawab Chilla menyembunyikan senyum.Â
Chilla tak tahu usia Mama mulai menggerogoti tenaganya. Mama yang letih bekerja siang malam pun tak pernah memberitahukan pula pada Kak Dani.Â
Padahal belakang ini mama sering merasakan sakit kepala yang hebat. Kalau sudah begitu, badannya melemah tiba-tiba. Tapi itu tak pernah ditunjukkannya di hadapan kedua anaknya. Mama harus mencari uang sendiri untuk menghidupi diri dan kedua anaknya.Â
***Â
"Apa? Mama di rumah sakit?"Â
"Ya, Chil," jawab Bik Anti, tetangganya yang menyusul Chilla di sekolah.Â
"Ayuk, Bibik antar kamu ke sana."
Ruangan serba putih itu terlihat sangat ramai oleh orang yang lalu lalang di bangsal luar. Namun hening memenuhi seluruh bagian ruang perawatan.Â
Mama terbaring di salah satu ranjang dengan selang infus di tangan. Sedang tabung oksigen dihubungkan ke bawah lubang hidungnya. Tangis Chilla tak terbendung.Â
"Mama, mengapa tak pernah mengatakan semua ini? Apa artinya prestasiku selama ini kalau mama begini?" bisik Chilla. Diusapnya wajah mama yang selama ini tak pernah ia lakukan. Diciuminya pipi mama berkali-kali. Disisirinya rambut mama dengan jari.
"Mamamu tiba-tiba pingsan. Kami sudah berusaha menolong tapi ia tak sadar juga. Jadi kami membawanya ke rumah sakit."
"Mama, bangunlah Ma, aku tak mau jadi siswa teladan, aku tak mau jadi kebanggan sekolah, aku hanya mau jadi anak mama, kebanggan mama, kesayangan mama." Airmata Chilla terus saja mengalir mengiringi rasa sesal. Ia sibuk sendiri dengan urusan sekolahnya, tanpa memperhatikan kesehatan mama, rasa capek mama, sakit mama. Semua ditanggungnya sendiri tanpa mau melibatkan anak-anaknya. Â
"Kenapa mama masih belum sadar, Bik?"
"Kata dokter, kadar infeksi dalam tubuhnya sudah melebihi batas normal. Virusnya sudah mulai menyerang kepala." Bik Anti berkata hati-hati sambil mengelus pundak Chilla.
"Bik, apa mama ...." Chilla menghela nafasnya yang terasa sesak , " ... koma?"
"Nggak. Dokter bilang mamamu akan sadar kalau kadar infeksinya sudah turun. Mereka akan memberi suntikan untuk menurunkan kadar infeksinya itu. Kamu yang sabar ya?" Bik Anti terus menepuk-nepuk bahu Chilla pelan.
Tengah malam Kak Dani datang. Ia segera naik kereta setelah mendengar kabar dari Chilla.Â
"Kamu gimana sih di rumah, nggak kasih tau Kakak tentang kondisi mama selama ini."
"Aku nggak tahu, kak. Mama nggak pernah bilang apa-apa."
"Kamu kan harusnya kasih perhatian ke mama. Kakak kan jauh, Chil."
"Maafin aku, Kak." Chilla terguguk.
 "Aku juga salah kurang waktu memantau keadaan di rumah." Dani pun memeluk dan menciumi pipi mama yang terasa panas.
Kedua saudara itu terduduk jatuh. Mereka menangis, seumur hidup baru kali ini seingat Chilla ia dan kakaknya menangis seperti ini. Mama tak pernah membiarkan ada air mata keluar dari cangkang bola mata anak-anaknya. Mama hanya menyuguhkan senyum tawa dan kebahagiaan buat mereka.
Ketika dokter dan rombongan suster datang, mereka disuruh menunggu di luar. Dan di sini lah mereka sekarang.
Chilla dan Dani masih duduk dalam diam. Mereka memandangi ruang putih di hadapan mereka. Orang-orang beberapa kali berlalu lalang. Dua orang perawat sibuk memperhatikan dan mencatat sesuatu di meja depan. Buket bunga berwarna merah terang menghias ujung meja.
TAMAT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H