Padahal belakang ini mama sering merasakan sakit kepala yang hebat. Kalau sudah begitu, badannya melemah tiba-tiba. Tapi itu tak pernah ditunjukkannya di hadapan kedua anaknya. Mama harus mencari uang sendiri untuk menghidupi diri dan kedua anaknya.Â
***Â
"Apa? Mama di rumah sakit?"Â
"Ya, Chil," jawab Bik Anti, tetangganya yang menyusul Chilla di sekolah.Â
"Ayuk, Bibik antar kamu ke sana."
Ruangan serba putih itu terlihat sangat ramai oleh orang yang lalu lalang di bangsal luar. Namun hening memenuhi seluruh bagian ruang perawatan.Â
Mama terbaring di salah satu ranjang dengan selang infus di tangan. Sedang tabung oksigen dihubungkan ke bawah lubang hidungnya. Tangis Chilla tak terbendung.Â
"Mama, mengapa tak pernah mengatakan semua ini? Apa artinya prestasiku selama ini kalau mama begini?" bisik Chilla. Diusapnya wajah mama yang selama ini tak pernah ia lakukan. Diciuminya pipi mama berkali-kali. Disisirinya rambut mama dengan jari.
"Mamamu tiba-tiba pingsan. Kami sudah berusaha menolong tapi ia tak sadar juga. Jadi kami membawanya ke rumah sakit."
"Mama, bangunlah Ma, aku tak mau jadi siswa teladan, aku tak mau jadi kebanggan sekolah, aku hanya mau jadi anak mama, kebanggan mama, kesayangan mama." Airmata Chilla terus saja mengalir mengiringi rasa sesal. Ia sibuk sendiri dengan urusan sekolahnya, tanpa memperhatikan kesehatan mama, rasa capek mama, sakit mama. Semua ditanggungnya sendiri tanpa mau melibatkan anak-anaknya. Â
"Kenapa mama masih belum sadar, Bik?"