"Kata dokter, kadar infeksi dalam tubuhnya sudah melebihi batas normal. Virusnya sudah mulai menyerang kepala." Bik Anti berkata hati-hati sambil mengelus pundak Chilla.
"Bik, apa mama ...." Chilla menghela nafasnya yang terasa sesak , " ... koma?"
"Nggak. Dokter bilang mamamu akan sadar kalau kadar infeksinya sudah turun. Mereka akan memberi suntikan untuk menurunkan kadar infeksinya itu. Kamu yang sabar ya?" Bik Anti terus menepuk-nepuk bahu Chilla pelan.
Tengah malam Kak Dani datang. Ia segera naik kereta setelah mendengar kabar dari Chilla.Â
"Kamu gimana sih di rumah, nggak kasih tau Kakak tentang kondisi mama selama ini."
"Aku nggak tahu, kak. Mama nggak pernah bilang apa-apa."
"Kamu kan harusnya kasih perhatian ke mama. Kakak kan jauh, Chil."
"Maafin aku, Kak." Chilla terguguk.
 "Aku juga salah kurang waktu memantau keadaan di rumah." Dani pun memeluk dan menciumi pipi mama yang terasa panas.
Kedua saudara itu terduduk jatuh. Mereka menangis, seumur hidup baru kali ini seingat Chilla ia dan kakaknya menangis seperti ini. Mama tak pernah membiarkan ada air mata keluar dari cangkang bola mata anak-anaknya. Mama hanya menyuguhkan senyum tawa dan kebahagiaan buat mereka.
Ketika dokter dan rombongan suster datang, mereka disuruh menunggu di luar. Dan di sini lah mereka sekarang.