Diklat Penguatan Kompetensi Kepala Sekolah adalah upaya yang sangat strategis untuk mewujudkan kepala sekolah yang memiliki kompetensi dan kapasitas sebagai kepala satuan pendidikan ditugaskan untuk mewujudkan generasi yang dituntut sangat berat yaitu menjamin lahirnya peserta didik yang memiliki karakter yang unggul sebagai bangsa yang hebat, memiliki ketrampilan 4C agar siap bersaing di kancah global dan berliterasi 6 bidang salah satunya literasi digital.
Hasil diklat Penguatan Kepala Sekolah sesuai Permendikbud No 6 Tahun 2018 ditujukan agar peran Kepala Sekolah semakin profesional menghadapi tuntutan keprofesian yang semakin kompetitif dengan tugas manajerial, supervisi dan pengembangan kewirausahaan sekolah. Oleh karena itu kepala sekolah sangat dituntut berpikir kritis karena dihadapkan dinamika lingkungan sekolah baik external dan internal yang semakin kompleks. Sumberdaya penunjang kegiatan sekolah yang semakin terbatas.
Interaksi sesama institusi sekolah maupun sesama kepala sekolah maupun stakeholder yang lain berjalan seadanya tergantung kesediaan waktu yang sangat terbatas. Hal ini berpengaruh pada terbatasnya saling bekerjasama untuk kemajuan bersama. Kapasitas kepala sekolah dalam merumuskan agenda perubahan kondisi sekolahnya sangat ditentukan ketrampilan berpikir kritis kepala sekolah tersebut.
Berbagai strategi diklat untuk memfasilitasi terbentuknya ketrampilan berpikir kritis kepala sekolah dilakukan dari metode ceramah, diskusi, paparan, simulasi, studi kasus, role play, kaji dokumen dan latihan serta praktek. Namun dari hasil akhir diklat maupun saat diklat masih menunjukkan hasil yang belum optimal serta saat berdiskusi hanya didominasi beberapa peserta.
Hal ini diduga perlunya media pembelajaran yang perlu bervariasi misalnya menggunakan smartphone mengingat semua peserta diklat telah memiliki namun masih terbatas pemanfaatannya sebatas untuk berkomunikasi pada umumnya.
Evans (2018) menjelaskan berdasarkan hasil penelitiannya tentang pemanfaatan mobil learning di Amerika Serikat menunjukkan bahwa keterlibatan siswa menengah dapat meningkatkan keterlibatan dalam belajar di kelas berupa membuat video atau pemanfaatan aplikasi media sosial yang tersedia di smartphone mereka.
Salah satu pemanfaatan menu aplikasi pada smartphone yang terbaru saat ini adalah kode QR, kode bar 2-D yang diciptakan oleh Google dan aplikasi untuk pengscan kode QR tersebut telah dimanfaatkan untuk dunia industri yaitu bagian dari strategi pemasaran produk agar menjamin ketertarikan costumer untuk mencoba produk yang ditawarkan. Hal ini dimungkinkan karena dibalik kode QR bisa berupa informasi, gambar teks dan data lainnya yang bisa menimbulkan persepsi kognitif yang berujung pada perilaku kostumer tersebut terhadap produk yang dihasilkan.
Dalam konteks diklat upaya untuk meningkatkan keterlibatan peserta telah diuji cobakan dengan pemanfaatan teknologi aplikasi kode QR telah dilakukan sehingga bisa menjadi salah satu alternatif strategi diklat yang inovatif.
Rumusan masalah
- Masalah dalam best practice ini adalah :
- Bagaimana kode QR dapat meningkatkan kolaborasi peserta diklat untuk terlibat aktif selama pembelajaran?
- Adakah keterkaitan kode QR dengan peningkatan ketrampilan berpikir kritis peserta diklat?
Tujuan
- Tujuan dari best practice ini adalah :
- Memperoleh gambaran bagaimana kode QR dapat meningkatkan kolaborasi perserta diklat selama pembelajaran.
- Mengeksplorasi keterkaitan kode QR dengan peningkatan ketrampilan berpikir kritis peserta diklat
Manfaat
Manfaat best practice ini adalah :
- Menjadi bahan acuan bagi penyusun dalam memfasilitasi kegiatan pembelajaran pada diklat kepala sekolah.
- Menjadi pertimbangan bagi tim pengembang diklat di lembaga LPPKS dalam merumuskan model diklat yang akan datang.
- Menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya pembelajaran orang dewasa dan mobil learning.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
E-learning
Perkembangan teknologi infromasi sangat berkembang pesat dari waktu ke waktu sehingga memungkinkan semua orang dapat mengakses semua infromasi yang tersebar. Seiring dengan mudahnya penggunaan fasilitas internet yang membuat budaya media sosial semakin meluas ke semua kalangan, sehingga penyebaran informasi tidak dibatasi dengan ruang dan waktu.
Pada saat ini, teknologi informasi sudah menjangkau di bidang pendidikan yaitu dengan adanya perubahan paradigma pembelajaran yang awalnya hanya berpusat kepada guru/pengajar/dosen. Kini, paradigma tersebut sudah berubah menjadi pembelajaran yang berpusat pada peserta didik dengan menggunakan teknologi informasi yang dikenal dengan E-learning.
Metode pembelajaran baru yang menggunakan media jaringan komputer dan internet,
- Pembelajaran yang bahan ajarnya (kontennya) disampaikan melalui elektronk. Dalam hal ini , bahan ajarnya berupa konten digital.
- Pembelajaran yang prosesnya didukung oleh sebuah sistem dan aplikasi elektronik.
Perubahan paradigma strategi pembelajaran yang dikembangkan dari pembelajaran yang dikembangkan dari pembelajaran berpusat kepada guru/pengajar (teacher centered) menjadi pembelajaran berpusat kepada peserta didik/peserta didik (student centered) dilakukan seiring dengan perkembangan teknologi informasi yang dikenal dengan istilah E-learning (Electronic Learning).
Pertimbangan pertimbangan perlunya pengembangan E-learning adalah (FAO, 2011) :
- Kondisi geografis: siswa/peserta didik tersebar secara geografis, sehingga memiliki kendala dalam waktu dan sumber daya dalam melakukan perjalanan.
- Siswa/peserta didik memiliki kesibukan bekerja dan komitemen dengan keluarga.
- Siswa/peserta didik berada dalam area konflik atau pasca konflik sehingga mobilitasnya terbatas dengan alasan keamanan.
- Siswa/peserta didik kesulitan berkomunikasi secara real-time.
- Siswa/peserta didik memiliki keterbatasan/kendala ketika berpartisipasi dalam kelas tatatp muka (agama/budaya).
Pengembangan E-learning menjadi pilihan terbaik (FAO, 2011) :
- Terdapat sejumlah konten signifikan yang harus disampaikan kepada sejumlah besar peserta didik.
- Peserta didik berasal dari area/lokasi geografis yang tersebar
- Peserta didik memiliki keterbatasan/kendala dalam hal mobiltas dan waktu untuk belajar secara terjadwal.
- Peserta didik tidak memiliki kecakapan mendengar dan membaca efektif.
- Peserta didik memiliki kecakapan dasar komputer dan internet
- Peserta didik memiliki motivasi yang tinggi untuk belajar.
- Terdapat tiga macam kecakapan yang dapat dikembangkan pada E-learning adalah :
- Kecakapan kognitif : kecakapan berpikir, meliputi pengetahuan, pemahaman, prosedural dan prinsip.
- Kecakapan interpersonal : kemampuan mendengarkan dengan aktif, presentasi, dan negosiasi.
- Kecakapan psikotorik : meliputi akusisi persepsi dan pergerakam fisik (misal olahraga, mengendarai mobil dan lain-lain).
- Komponene E-learning
- E-learning merupakan pembelajaran dengan menggunakan teknologi informasi sebagai media komunikasi antar peserta didik atau antara pendidik dengan peserta didik. E-learning dapat berfungsi dengan baik memiliki komponen-komponen (Fee, 2009) , antara lain :
- Teknologi
- Konten/materi belajar
- Desain pembelajaran
- Teknologi
- Teknologi adalah sekumpulan pengetahuan ilmiah, mesin, perkakas, serta kemampuan organisasi produksi yang dikelela secara sistematik dan efektif. Perkembangan teknologi yang memfasilitasi manusia dari tahun ke tahun semakin pesat, sebagaimana perkembangan teknologi internet :
- Lingkungan belajar maya (Virtual Learning Environment (VLE)): Learning management System (LMS), Learning Content Management System (LMS), Virtual Classroom
- Perangkat authoring : Bahasa pemograman, Adobe Flash, Lectora, Articulate, Adobe Captivate.
- Perangkat kolaboratif : Wiki, blog, forum, diskusi, Live chat
- Perangkat asesmen : Teknologi/software asesmen dari yang sederhana (pilihan berganda, benar/salah), sampai dengan yang cukup kompleks, seperti Adobe Captivate.
- Software khusus (specialist software) : simulasi, game, dan lain-lain yang bertujuan meningkatkan pengalaman belajar.
- Materi Belajar
- Materi belajar atau konten belajar dalam e-Learning merupakan bahan ajar yang ada dalam sistem yang disebut dengan Leraning Management System (LMS). Materi be;ajar dalam LMS bisa berupa Multimedia Based Content (materi berbentuk multimedia interaktif) atau Text Based Content (materi berbentuk teks). LMS merupakan software aplikasi yang digunkan untuk membantu dalam proses belajar menagajar secara e-learning. Dengan adanya paradigma pembelajaran yan terpusat pada siswa/peserta didik (Student Centre Learning) maka pengelola pendidikan dan guru atau pengajar) sehingga sangat diperlukan fitur-fitur yang harus dipenuhi oleh oleh LMS antara lain :
- Fitur proses pembelajaran
- Meliputi daftar mata kuliah, silabus mata kuliah, materi mata kuliah, daftar referensi, dan kelengapan lainnya.
- Fitur diskusi dan komunikasi
- Live Chat sebagai tempat untuk berkomunikasi ,forum diskusi, fitur pengumuman, fitur sharing file (up load maupun download materi), mailing list dan lain sebagainya.
- Fitur Tugas dan Ujian
- Fitur ini berisi ujian on line yaitu tengah semester maupun ujian akhir, kuis, tugas mandri, nilai dan lain sebagainya.
- Terdapat dua jenis LMS yaitu LMS bersifat proprietary dan LMS yang bersifat open source . Contoh LSM proprietory : Apex Leeaning, Blackboard, IntraLearn, SAP Enterprise Learning, Saba Software, dan lain sebagainya. Contoh LSM open source : A Tutor, Open ACS, Open USS, LON-CAPA, Freestyle Learning, dotLRN, ILIAS, Moodle, dan lain sebagainya.
- Desain pembelajaran
Menetapkan metode pembelajaran yang optimal guna memperoleh hasil yang diinginkan dengan langah-langkah :
Analisis tujuan dan karakteristik mata kuliah
Analisis sumber belajar (kendala)
Analisis karakteristik mahasiswa/pembelajar
Menetapkan tujuan belajar dan isi pembelajaran
Menetapkan strategi pengorganisasian isi pembelajaran
Menetapkan strategi penyampaian isi pembelajaran
Menetapkan strategi pengelolaan pembelajaran
Pengembangan prosedur pengukuran hasil pembelajaran.
Mobile Learning
Terdapat beberapa definisi tentang pembelajaran mobile atau mobile learning (M-learning) di dunia pendidikan dan pelatihan. Definisi M-learning menurut Farley, dkk. (2013) ada yang cenderung inklusif yaitu hampir semua aktvitas E-learning bisa diklasifikasikan sebagai contoh pembelajaran mobile.
Sedangkan M-learning yang cenderung eksklusif, hanya mengizinkan masuknya kegiatan belajar yang dimediasi melalui perangkat mobile yang sangat khusus.
Quin (2000) mendefiniskan M-learning sebagai interaksi komputasi mobile dan E-learning, dapat mengakses sumber belajar atau informasi di manapun peserta didik/pengguna berada, memiliki kapabilitas pencarian yang kuat/cepat, kaya interaksi, dukungan yang kuat untuk peserta didik yang efektif, dan assesmen berbasis kinerja.
Sementara itu, Haag (2011) mendefiniskan M- learning sebagai pengguna/pemakai perangkat komputasi yang dikendalikan oleh tangan (handheld computing device) guna mengakses konten belajar atau sumber-sumber informasi. Beberapa tipe perangkat mobile yang mendukung M-learning adalah Standard Phone, Smartphone ( termasuk BlackBerry dan Iphone), Tablet (termasuk iPad, Android, dan Kindle Fire)
Pertumbuhan penggunaan teknologi tanpa kabel (wireless technology) dan perangkat bergerak/mobile (mobile devices) dewasa ini menyebabkan semakin banyaknya pengembangan aplikasi-aplikasi berbasis mobile di berbagai bidang, antara lain pada bidang e-commerce, pemasaran, dan pendidikan atau pelatihan.
Dalam dunia pendidkan atau pelathan, dengan pertumbuhan dan perkembangan tersebut, akan terjadi peningkatan jumlah pengguna peserta didik/diklat yang memerlukan pembelajaran/pelatihan yang dapat diakses di luar sekolah/kantor dengan mudah dan relatif cepat (just-in-time) ketika diperlukan.
Sebagai implikasi, para pendidik/pelatih maupun pembuat konten M-learning tentunya perlu membekali diri dengan pengetahuan bagaimana merancang materi belajar yang sesuai dengan prinip-prinsip pembelajaran yang efektif, yang berpusat pada peserta diklat/diidk dan dirancang khusus untuk perangkat mobile (Rusli., dkk., 2017)
Terkait dengan hal tersebut, Ally (2004) menyampaikan prinsip-prinsip belajar dalam merancang materi M-learning , yaitu
Karena kapasitas display perangkat mobile yang terbatas, perancang diharapkan mampu menerapkan strategi presentasi sedemikan rupa sehingga peserta didik/diklat dapat memproses belajarnya secara effisien.
Karena kapasitas memori kerja yang terbatas, konten/materi sebaiknya diorganisasi,dibagi-bagi atau dipotong-potong (chunked) menjadi unit-unit materi dengan ukuran yang lebih kecil/sesuai, dan diurutkan secara bermakna untuk memfasilitasi/memudahkan proses pelajar.
Materi pembelajaran sebaiknya di organisasi dalam bentuk sebuah peta konsep atau sebuah jaringan (network) yang menunjukkan konsep-konsep penting dan relasi di antara konsep. Peta konsep menunjukkan hierarki struktur materi. Network dapat digunakan untuk mempresentasikan informasi spasial hingga peserta diklat dapat melihat ide atau gagasan utama dan relasi diantaranya.
Perlunya penerapan strategi pembelajaran awal (pre-instructional strategies) agar peserta diklat dapat menyimpan kerangka pelajaran. Kondisi ini akan membantu peserta diklat dalam menggabungkan detil pelajaran/materi dan mencegah beban memori berlebih.
Antar muka (interface) M-learning harus dirancang dengan baik menyesuaikan dengan ukuran display/screen yang kecil. Antar muka harus grafis dan menyajikan 5 sampai 9 potongan materi /informasi di screen guna mencegah memori berlebih.
Materi belajar sebaiknya dirancang dalam bentuk objek-objek belajar guna mengakomodasi karakteristik dan gaya belajar peserta diklat yang berbeda.
Kode QR
Dalam era industri saat ini telah banyak diaplikasikan kode QR (kode Respon Cepat) untuk menjaring perilaku motivasi dan minat calon customer.
Kode QR adalah jenis kode matriks atau kode dua dimensi yang untuk dibaca oleh smartphone. Kode terdiri dari modul hitam yang disusun dalam pola persegi pada latar belakang putih. Informasi yang disandikan mungkin berupa teks, URL, atau data lainnya (Shin, et. al , 2012).
Dibuat oleh anak perusahaan Toyota Denso Wave pada tahun 1994, kode QR adalah salah satu jenis kode batang dua dimensi yang paling populer. Kode QR dirancang untuk memungkinkan isinya diterjemahkan dengan kecepatan tinggi (Jupiter, 2011). Popularitas kode QR berkembang pesat di seluruh dunia, terutama di Korea, Jepang, dan AS.
Menurut Canadi, dkk., (2010) berpendapat bahwa sementara awalnya digunakan untuk melacak bagian-bagian dalam pembuatan kendaraan, kode QR sekarang digunakan dalam konteks yang jauh lebih luas.
Penggunaan sekarang meluas dari pelacakan komersial ke hiburan dan dari pemasaran produk ke label produk di dalam toko. Banyak dari aplikasi ini (disebut penandaan seluler) ditujukan untuk pengguna ponsel cerdas.
Pengguna dapat menerima teks, menambahkan kontak vCard ke perangkat mereka, membuka Uniform Resource Identifier atau menulis email atau pesan teks setelah memindai kode QR. Mereka dapat membuat dan mencetak kode QR mereka sendiri untuk dipindai dan digunakan orang lain dengan mengunjungi salah satu dari beberapa situs atau aplikasi penghasil kode QR yang dibayar dan gratis.
Gambar 1. QR Code
Google memiliki Antarmuka Program Aplikasi populer untuk menghasilkan kode QR, dan aplikasi untuk memindai kode QR dapat ditemukan di hampir semua perangkat ponsel cerdas (Louho, Kallioja, & Oittinen, 2006). Kode QR dengan cepat mendapatkan tingkat penerimaan yang tinggi berkat difusi smartphone yang luas.
Studi Comscore (2011) menemukan bahwa pada Juni 2011, 14 juta pengguna smartphone di AS, mewakili 6,2% dari total pemirsa seluler, telah memindai QR atau kode batang pada perangkat pintar mereka. Studi ini melaporkan bahwa pengguna paling mungkin memindai kode yang ditemukan di koran, majalah, dan pada kemasan produk, dan mereka melakukannya dengan harapan mereka merespons iklan, kupon diskon, atau mencari informasi tentang produk.
Mungkin salah satu kunci untuk memahami perilaku konsumen dan kode QR terletak pada psikologi dan perilaku. Dengan melihat bagaimana orang bertindak dan bereaksi terhadap kode QR, industri bisa lebih baik membuat kampanye yang lebih tepat disesuaikan dengan preferensi pelanggan.
Sederhananya, kunci keberhasilan pemasaran kode QR - atau hampir semua kampanye pemasaran dalam hal ini - adalah untuk mengetahui apa yang diinginkan pengguna dan memberikannya kepada mereka.
Tetapi pertama-tama, harus dipahami alasan mengapa orang mengadopsi teknologi baru tertentu sambil menolak atau mengabaikan orang lain. Penelitian ini mengusulkan adaptasi dari Theory of Planned Behavior (TPB; Ajzen, 1991) dan Model Penerimaan Teknologi (TAM; Davis, 1989) yang terdiri dari kualitas informasi yang dirasakan, kualitas sistem, interaktivitas dan Norma Subyektif (SN), bersama dengan komponen tradisional dari teori-teori ini.
Dalam menerapkan model terintegrasi ini ke lingkungan berbasis teknologi, variabel TAM klasik diposisikan sebagai pendorong utama sikap, dan model mengintegrasikan pendorong utama tambahan dalam pertimbangan TPB. Model yang diusulkan memasukkan kegunaan dan kemudahan penggunaan sebagai anteseden sikap. SN diusulkan sebagai faktor yang mempengaruhi niat. Kontrol perilaku yang dirasakan diganti dengan yang dirasakan interaktivitas (PI) karena merupakan bagian integral jika karakterisasi kode QR.
Menurut Shin (2010), kegunaan mempertimbangkan model yang dimodifikasi berasal dari fakta bahwa kode QR berbasis teknologi, serta berbasis pengguna.
Model ini sangat cocok untuk mencerminkan tingkat kode QR karena model tersebut mewujudkan evolusi evolusi kode QR untuk menjadi lebih partisipatif, interaktif dan mudah diakses. Mengingat penerapan TPB / TAM yang luas dalam teknologi yang muncul, diharapkan bahwa kausalitas yang ditemukan dalam teori juga berlaku untuk kode QR. Secara khusus, hubungan antara sikap dan niat di media interaktif dan perangkat pintar telah dikonfirmasi secara luas.
Dalam makalahnya pada tahun 2002, Davidson menyatakan bahwa salah satu dari tujuh dosa mematikan dalam ilmu syaraf kognitif adalah mengasumsikan emosi dan kognisi tidak saling bergantung. Dalam paparan berikut ini digambarkan dari hasil bebrapa penelitian yang telah menyelidiki pengaruh afek pada kognisi.
Emosi dan persepsi
Beberapa studi telah menemukan suatu keterkaiatan antara emosi dan persepsi. Contohnya Reiner, Stefanucci, Proffitt, dan Clore (2003) menemukan bahwa peserta yang mendengarkan musik sedih ketika mereka berdiri di kaki suatu bukit lebih mungkin memperkirakan secara berkelebihan kecuraman bukit tersebut.
Persepsi rasa sakit juga tampak berkaitan dengan suasana hati - para pasien melaporkan tigkat rasa sakit yang lebih rendah setelah diberi antidepresan (Blumer, Zorick, Heilbronn & Roth, 1982). Adalah mungkin bahwa rasa sakit dan depresi saling berhubungan-Weisenberg, Raz dan Hener (1998) menemukan bahwa para peserta yang baru saja menonton film lucu mengalami peningkatan daya tahan terhadap pilek.
Emosi dan atensi
Kesulitan-kesulitan kosentrasi di antara orang-orang yang mengalami depresi telah didokumentasikan secara luas (misalnya, Weingartner, Cohen, Murphy, Martello & Gerdt, 1981). Sebagai contoh, seiring meningkatnya depresi yang dialami seseorang, ia akan lebih sedikit terlibat dalam proses yang membutuhkan atensi (Hartlage, Alloy, Vazquez & Dykman, 1993). Farrin, Hull, Wykes, dan David (2003) menemukan bahwa para peserta yang mengalami depresi melakukan lebih banyak kesalahan ketimbang peserta nondepresi dalam suatu tes atensi terus-menerus serta menunjukkan peningkatan waktu reaksi sesudahnya, yang oleh Farrin dkk, diinterpretasikan sebagai suatu bentuk reaksi katastropik terhadap kegagalan.
Pencarian visual Ohman
Beberapa studi pencarian visual telah mengamati bahwa stimuli emosional dideteksi lebih cepat ketimbang yang netral. Ohman dan Mineka (2001) berpendapat bahwa ini karena ada suatu jalur rasa takut dalam otak yang berkembang secara spesifik untuk mengarahkan perhatian ke situasi-situasi yang secara potensial mengancam nyawa dengan memfasilitasi persepsi stimuli yang mengancam. Efek ini lebih kuat pada stimuli negatif, seperti wajah merah, ketimbang pada stimuli positif (misalnya, Eastwood, Smilek & Merikle, 2001).
Emosi dan penyelesaian masalah
Dalam salah satu dari sedikit studi yang menguji pengaruh emosi positif dan negatif terhadap penyelesaian masalah, Gasper (2003) meminta para peserta untuk membentuk kata-kata yang terdiri dari 4 atau 5 huruf yang diambil dari sederet huruf. Ia menemukan bahwa para peserta yang diminta untuk menulis tentang peristiwa bahagia lebih fleksibel dalam penalaran mereka ketimbang mereka yang menulis tentang peristiwa menyedihkan.
Meski demikian, kelompok “sedih” lebih mungkin mengubah respons mereka untuk menggunakan strategi-strategi baru bila ada bukti yang menunjukkan bahwa strategi mereka saat ini tidak berhasil, sedangkan kelompok bahagia lebih mungkin untuk mengubah strategi secara spontan. Sejalan dengan itu, Isen, Daubman, dan Nowicki (1987) menemukan bahwa suasana hati sedih mendorong atensi lebih besar pada data ketimbnag suasana hati bahagia.
Berdasarkan uraian di atas model yang diusulkan dari best practice ini adalah :
Gambar 2. Model yang diusulkan
Penerapan aplikasi kode QR telah diterapkan di dunia pendidikan dengan hasil secara ringkat dapat dirinci di bawah tabel berikut ini :
Tabel 1. Riset Aplikasi Kode QR pada dunia pendidikan
No
Judul
Tahun
Peneliti
1
Penggunaan Kode QR untuk Meningkatkan Keterlibatan Penggunaan di Ruang Museum
2015
http://dx.doi.org/10.1016/j.chb.2016.02.012
Mar Perez-Sanagustin, Dennis Parra, Renato Verdugo, Gonzalo-Gallegueillos
2
Penelitian Adaptasi Kode QR oleh Siswa Perbaikan Otomatis di sekolah Kejuruan
2014
http://dx.doi.org/10.4236/jss.2014.25008
Chun-Hsin Chang
3
M-learning : Praktek Kolaborasi Menggunakan Kode QR
2014
Monguillot, M., González, C., Guitert, M. & Zurita, C
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN
Metode dan Pelaksanaan
Pelaksanaan best practice ini didasarkan pada metode multi kasus yaitu pada diklat Penguatan Kompetensi Kepala Sekolah dari jenjang SMA, SMP dan SD dari Dinas Pendidikan Kota Surabaya, Yayasan Pendidikan Muhamdiyah Ranting Solo, Dinas Pendidikan Kabupuaten Musi Rawas dan Yaysan Pendidikan Al Islam Cabang Surakarta dari bulan Januari s.d Mei 2019.
Hasil dan Pembahasan Masalah
Di era revolusi industri 4.0 ilmu pengetahuan fakta sangat mudah di peroleh dengan aplikasi teknologi informasi dan komunikasi yang semakin berkembang. Pendekatan pembelajaran seharusnya segera beralih pada level yang lebih tinggi yaitu evaluasi dan kreatif serta kollaborasi. Hal ini sangat mudah dipahami karena kemampuan berkolaborasi dan berpikir kritis merupakan dasar untuk bisa mengoptimalkan sumber daya yang ada untuk kesejahteraan yang makin dituntut semakin tinggi tingkatannya.
Pada diklat Penguatan Kompetensi Kepala Sekolah, latar belakang dari aspek pendidikannya , pengalaman kerja, tingkat inovasi dan ketangguhan mengatasi permasalahan yang dihadapi merupakan sumber daya bagi sesama kepala sekolah untuk saling berukar informasi, pengetahuan dan best practice yang sesungguhnya adalah sumber daya bagi organisasi satuan pendidikan bagi masing-masing peserta diklat.
Strategi pelatihan pada diklat penguatan kompetensi kepala sekolah oleh karena itu diupayakan memfasilitasi meningkatnya saling bekerjasama dan berpikir kritis menghadapi suatu kajian agar diperoleh tingkat analisis dan pengambilan keputusan yang strategis di lapangan setelah mengikuti diklat.
Pemanfaatan aplikasi kode QR sangat membantu mengawali semangat bekerjasama karena untuk dapat mengakses informasi yang ada dibalik kode QR pun membutuhkan motivasi saling membantu.
Hal ini dikarenakan kemampuan smartphone yang beragam, kemampuan mengeksplorasi smartphone peserta diklat yang beragam pula bahkan bagaimana menginstal aplikasi pembaca kode QR pun tidak sama. Kegiatan awal ini menuntut tidak hanya saling berkerjasama namun sekaligus menunjukkan tingkat literasi digital dan kegigihan dalam mengembangkan budaya inovasi pada satuan pendidikan di masing-masing peserta diklat.
Selama kegiatan diklat, peserta diklat diharapkan mampu mengeksplorasi aplikasi yang mendukung kerja berkolaborasi misalnya google docs, google slide dan google drive secara terintegrasi. File yang menjadi rujukan sumber belajar diakses dengan cara yang baru membuat peserta diklat meningkat antusiasnya bahkan setelah mendapat kan informasi dalam bentuk lembar kerja menjadikan semangat untuk berkerjasama mengerjakannya.
Aplikasi google docs bisa dikerjakan secara bersama dalam 1 kelompok bahkan bisa dicermati oleh kelompok lain dengan syarat mereka mendapat link yang dibuat oleh kelompo tersebut dalam bentuk kode QR. Hadiah atas kinerja kelompok pun diwujudkan dalam bentuk kode QR. Kelas yang sangat inspiratif akan terjadi sehingga kolaborasi sesama anggota belajar akan tercapai untuk mewujudkkan indikator belajar.
BAB IV SIMPULAN DAN REKOMENDASI
Simpulan
Pemanfaatan aplikasi kode QR sangat menunjang kolaborasi dan ketrampilan berpikir kritis pada peserta diklat penguatan kompetensi kepala sekolah.
Rekomendasi
Perlunya pengintegrasian TIK pada diklat penguatan kompetensi kepala sekolah pada komponen lainnya misalnya mengenalkan ebook pada modul-modul yang digunakan atau mengenalkan virtual class yang dapat menginpirasi kepala sekolah untuk mengembangkan kultur literasi digital yang dapat menjadikan semua warga sekolah megambil manfaat dari TIK.
Daftar Pustaka
Ajzen, I. 1991. The theory of planned behavior. Organizational Behavior and Human Decision Processes, 50(2), 179–211.
Ally, M. 2004. “Using Learning Theory to Design Instruction for Mobile Learning Devices”. In Attewell, J. & Smith, C.S., (Ed), Mobile Learning Anytime Everiwhere : A Book of Papaers from MLEARIN 2004. Learning and Skills Development Agency. London : UK.
Canadi, M., Hopken, W., & Fuchs, M. (2010). Application of QR Codes in online travel distribution. Information and Communication Technologies in Tourism. In Proceedings of the international conference in Lugano, Switzerland. February 10– 12, 2010. Springer Vienna 2010. p. 137–148.
Comscore . 2011. A survey of QR Code. Comscore Report. .
Davis, FD. 1989. Perceived usefulness, perceived ease of use, and user acceptance of information technology. MIS Quarterly, 13(3), 319–340.
Davidson, P.S.R., & Gilsky, E.L. 2002. Is flashbulb memory special instance of source memory? Evidence from older adults Memory.10, 99-100.`
Evans, J. A. 2018. From Engagement to Empowerment : The Evolution of Mobil Learning in The United States. Second Handbook of Information Technology in Primary and Secondary Education. J. Voogt et.al (eds). Springer International Handbooks of Education, https://doi.org/10.1007/978-3-319-71054-9_42
Farley, H., Murphy, A. & Rees, S. 2013. Revisting The Definition of Mobile Learning. 30th ascillite Conference. Sidney : Macquarie University.
Haag, J. 2011. From eLearning to mLearning : The Effectiveness of Mobile Course Delivery. Interservice/Industry Training. Simulation, and Education Conference (I/ITSEC); 1-13.
Hartley, D.E. 2001. Selling E-Learning. Alexandaria, USA : ASTD.
FAO. 2011. E-learning Methodologies : A Guide for Designing and Developing Elearning Course. Rome : Food and Agriculture Organization of The United Nations.
Farley, H. Murphy, A. & Rees, S. 2013. Revisting The Definition of Mobile Learning. 30th ascillite Conference. Sidney : Macquarie University.
Fee, K. 2009. Delivering E-learning : A complete Strategy for Desgn , Application and Assesment. Philadelphia-USA: Kogan Page Limited.
Haag, J. 2011. From elearning to mlearning : The Effectiviness of Mobile Course Delivery. Interservice/Industry Training, Simulation, and Education Conference (I/ITSEC) ; 1-13.
Isen, A. M., Daubman, K.A., & Nowicki, G.P. 1987. Positive eff
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H