Sederhananya, kunci keberhasilan pemasaran kode QR - atau hampir semua kampanye pemasaran dalam hal ini - adalah untuk mengetahui apa yang diinginkan pengguna dan memberikannya kepada mereka.Â
Tetapi pertama-tama, harus dipahami alasan mengapa orang mengadopsi teknologi baru tertentu sambil menolak atau mengabaikan orang lain. Penelitian ini mengusulkan adaptasi dari Theory of Planned Behavior (TPB; Â Ajzen, 1991) dan Model Penerimaan Teknologi (TAM; Davis, 1989) yang terdiri dari kualitas informasi yang dirasakan, kualitas sistem, interaktivitas dan Norma Subyektif (SN), bersama dengan komponen tradisional dari teori-teori ini.Â
Dalam menerapkan model terintegrasi ini ke lingkungan berbasis teknologi, variabel TAM klasik diposisikan sebagai pendorong utama sikap, dan model mengintegrasikan pendorong utama tambahan dalam pertimbangan TPB. Model yang diusulkan memasukkan kegunaan dan kemudahan penggunaan sebagai anteseden sikap. SN diusulkan sebagai faktor yang mempengaruhi niat. Kontrol perilaku yang dirasakan diganti dengan yang dirasakan interaktivitas (PI) karena merupakan bagian integral jika karakterisasi kode QR.
Menurut Shin (2010), kegunaan mempertimbangkan model yang dimodifikasi berasal dari fakta bahwa kode QR berbasis teknologi, serta berbasis pengguna.Â
Model ini sangat cocok untuk mencerminkan tingkat kode QR karena model tersebut mewujudkan evolusi evolusi kode QR untuk menjadi lebih partisipatif, interaktif dan mudah diakses. Mengingat penerapan TPB / TAM yang luas dalam teknologi yang muncul, diharapkan bahwa kausalitas yang ditemukan dalam teori juga berlaku untuk kode QR. Secara khusus, hubungan antara sikap dan niat di media interaktif dan perangkat pintar telah dikonfirmasi secara luas.
Dalam makalahnya pada tahun 2002,  Davidson  menyatakan bahwa salah satu dari tujuh dosa  mematikan  dalam ilmu syaraf kognitif adalah mengasumsikan emosi dan kognisi tidak saling bergantung. Dalam paparan berikut ini digambarkan dari hasil bebrapa penelitian yang telah menyelidiki pengaruh afek pada kognisi.
Emosi dan persepsi
Beberapa studi telah menemukan suatu keterkaiatan antara emosi dan persepsi. Â Contohnya Reiner, Stefanucci, Proffitt, dan Clore (2003) menemukan bahwa peserta yang mendengarkan musik sedih ketika mereka berdiri di kaki suatu bukit lebih mungkin memperkirakan secara berkelebihan kecuraman bukit tersebut. Â
Persepsi rasa sakit juga tampak berkaitan dengan suasana hati - para pasien melaporkan tigkat rasa sakit yang lebih rendah setelah diberi antidepresan (Blumer, Zorick, Heilbronn & Roth, 1982). Â Adalah mungkin bahwa rasa sakit dan depresi saling berhubungan-Weisenberg, Raz dan Hener (1998) menemukan bahwa para peserta yang baru saja menonton film lucu mengalami peningkatan daya tahan terhadap pilek.
Emosi dan atensi
Kesulitan-kesulitan kosentrasi di antara orang-orang yang mengalami depresi telah didokumentasikan secara luas (misalnya, Weingartner, Cohen, Murphy, Martello & Gerdt, 1981).  Sebagai contoh, seiring meningkatnya depresi yang dialami seseorang, ia akan lebih sedikit  terlibat dalam proses yang membutuhkan atensi (Hartlage, Alloy, Vazquez & Dykman, 1993).  Farrin, Hull, Wykes, dan David (2003) menemukan bahwa para peserta yang mengalami depresi melakukan lebih banyak kesalahan ketimbang peserta nondepresi dalam suatu tes atensi terus-menerus serta menunjukkan peningkatan waktu reaksi sesudahnya,  yang oleh Farrin dkk, diinterpretasikan sebagai suatu bentuk reaksi katastropik terhadap kegagalan.