Mohon tunggu...
Nur Janah Alsharafi
Nur Janah Alsharafi Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang ibu yang menyulam kata dan rasa dalam cerita

ibu 4 anak dengan sejumlah aktivitas . Tulisan-tulisan ini didokumentasikan di blog saya : nurjanahpsikodista.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

The "Delapan Puluh Juta" (A Psycho-Story)

8 Januari 2019   02:21 Diperbarui: 24 Oktober 2020   00:51 433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1

Uang adalah sebuah kesepakatan saja. Kertas berwarna yang dicetak dengan sederet angka dan kemudian disepakati untuk punya 'nilai' yang diterima bersama. Uang bukanlah emas atau perak yang apabila dicincang dan ditimbang tetap memiliki makna. Uang benar-benar hanya sebuah kertas, yang apabila kita bagi rata menjadi dua, tiga dan seterusnya secara fisik maka makna uang itu sendiri menjadi tak ada. Apalah artinya guntingan kertas kecil-kecil yang kita sebar di sudut-sudut yang berbeda. Saat itu uang akan terjun bebas menjadi kertas sebenar-benarnya. Hanya kertas, benar dan-benar kertas  . Kali ini tentang uang, tentang kertas, tentang perilaku orang-orang untuk meraup 'kertas' itu sebanyak-banyaknya.

2

Valin Asih, gadis kampung yang sederhana. Mendapat rejeki nama indah dan keren hanya karena emaknya penggemar opera sabun di televisi tetangga. Bapaknya preman pasar dan emaknya buruh serabutan yang siap membantu berbagai pekerjaan rumah tangga. Valin Asih sejak kecil mendapat suguhan adegan rancu dari emak dan bapaknya sendiri. Mulai rancu di bagian mata, karena emak dan bapak tergolong serampangan menata rumahnya. Emak dan bapak tergolong acak-acakan penampilannya. Boro-boro warna warni indah tampil di rumahnya, dinding papan berlubang sudah terlalu indah di matanya. Salah satu hal yang membuat mata VA (Valin Asih) berbinar-binar adalah ketika sore hari tiba. Emak kipas-kipasnya beberapa helai uang puluhan ribu hasil keringatnya. Begitu juga bapak kipaskan kertas-kertas yang sama yang bernama uang.

Ke'indah'an  yang aneh bagi orang lain, namun tidak bagi VA. Entahlah, setiap ia melihat lembar-lembar uang dikipas maka sinar matanya menjadi lebih tajam dan berbinar. Bahkan suara gesekan antar lembar-lembar uang kertas itu menjadi simponi yang indah di telinganya. Perasaannya makin membuncah, manakala selembar uang dilemparkan untuknya.

"Ini buat jajanmu besok" kata emak

Atau

"Valin, ini bapak banyak rejeki. Buat beli baju baru ya" kata bapak

Ingatan VA diisi dengan memori uang. Hidup bagi VA adalah bangun mandi, sekolah seadanya, makan minum, tidur. Demikian hari-hari ia jalani, perasaan gembiranya hanya mencuat keluar jika melihat lembar-lembar uang atau mendengar gesekan antar lembaran itu. Bahkan kemudian, penghayatan tentang kenikmatan sang uang semakin dalam ketika kegembiraan tak hanya terpatri di mata dan telinga saja. VA mulai belajar mencium uang. Bau harum uang yang masih rapi dari Bank, atau bahkan bau anyir atau bau apek dari uang yang dibawa bapak atau emaknya.  Kini mata, telinga dan hidungnya akan menari mengikuti irama lembaran uang.

.3

Valin Asih atau lebih populer dengan sebutan dik VA, makin hari makin cantik saja. Dik VA di sekolahkan seadanya, belajar nulis, hitung hingga membaca.

"Yang penting kamu bisa berhitung dan membaca, jangan ditipu oleh temanmu sendiri" begitu kalimat yang sering diulang-ulang oleh emak.

 "Kamu cantik dan bisa dapet duit banyak, percuma kalau  tak bisa menghitung duitnya" tegas emak sekali lagi

Dik VA makin rajin, niatnya belajar benar-benar sesuai dengan niat sang emak. Dik VA sekolah Cuma karena jangan ditipu orang, cari duit banyak dan bisa menghitung duit tersebut. Cita-cita itu seperti ukiran bali yang dipahat di perabotan . Menancap dalam, bahkan telah menghasilkan bentuk baru. Bentuk baru itu adalah sosok dik VA yang terobsesi dengan tumpukan uang. Mata dik VA makin nanar, di pupil matanya cuma ada bayangan 'uang' . Di mata hatinya juga hanya ada bayangan 'uang'. Dik VA makin menjauh dari jatidiri sejatinya manusia, dik VA tumbuh dewasa menjadi gadis berupa indah berjiwa serakah. Serakah ingin meraup uang sebanyak-banyaknya, serakah ingin menari di tumpukan uang yang setinggi-tingginya.

4

Dik VA atau singkatan dari seorang gadis cantik bernama Valin Asih patut bersyukur. Ia kemudian kenal dunia profesional seorang fotomodel. Dunia yang kemudian mendidik dan menempanya menjadi anggun dan bersahaja. Jika kemudian para pewarta tak kenal siapa sebenarnya dik VA , patut dimaklumi adanya. Dik VA dapat dikatakan bermetamorfosis menjadi sosok diva. Seorang diva yang dikenal sosoknya anggun bersahaja dan sekaligus bercahaya.

Dik VA kumpulkan uang-uangnya melalui foto-fotonya.  Dik VA dapat uang, ia tak puas hanya melihat cetakan jumlah uang di print buku tabungannya. Ia tarik seberapapun uang yang dimilikinya. Ia tarik segepok, ia tarik setumpuk uang-uangnya.  Ia susun rapi di lemari besi miliknya. Dik VA senyum bahkan agak menyeringai, ia makin puas karena tumpukan uangnya makin membumbung keatas.

"Tak usah repot mentransfer ke rekening saya. Saya lebih suka dibayar cash saja"  begitu kata yang sering ia ungkapkan. Orang terkadang bingung mendengarnya . Namun ke'gila'an dik VA dengan tumpukan uangnya makin menjadi, tumpukan uang makin tinggi.

5

Dik VA merasa tumpukan uangnya kurang menjulang. Bercucur keringat ia keluarkan, berjuta senyum telah ia peragakan namun toh tumpukan uang itu tak juga tinggi. Sejuta, dua juta ia terima dari berbagai pose di depan kamera tetap saja biasa saja untuknya. Makin banyak ia tampil di sampul, makin banyak tuntutan gaya hidup yang ia pikul. Otak dik VA bukan makin pintar namun makin tumpul.

"Jika kau mau maka kau akan dibayar cash delapan puluh juta" rayu teman yang menelponnya

"Tak lama, hanya dua jam saja maka delapan puluh juta langsung kau terima" goda temannya sekali lagi

Dik VA tergoda, ia iyakan ajakan temannya. Ia anggukkan kepalanya dari layar video callnya. Dik VA  nekad gadaikan dirinya dengan harga yang menurutnya membumbung tinggi.  Dik VA tak tahu bahwa harga jati dirinya jauh lebih mahal dari itu semua. Warna hidup dik VA  memang terus menjauh dari warna malaikat, namun kali ini warna hidupnya telah tercelup dalam warna setan laknat. Ketika dik VA terjerembab lebih dalam, ada kebaikan kecilnya  yang membuatnya terselamatkan.  Dik VA  cepat selamat, ia terjerat dan ketangkap. Menunduk wajah dik VA di hadapan kamera,  dik VA masih punya rasa malu. Seluruh tubuhnya ngilu, seluruh jiwanya kelu. Jiwa dik VA coba menyeruak,  mencari pintu taubat yang mungkin masih terkuak.

Sukajaya, 08012019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun