Mohon tunggu...
Nur Janah Alsharafi
Nur Janah Alsharafi Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang ibu yang menyulam kata dan rasa dalam cerita

ibu 4 anak dengan sejumlah aktivitas . Tulisan-tulisan ini didokumentasikan di blog saya : nurjanahpsikodista.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Oase Maaf dari Maisarah

25 Mei 2018   15:36 Diperbarui: 1 Juni 2018   22:43 578
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

                                                                                                                                      1

Bagi kebanyakan orang, kampung adalah oase sejuk pelepas dahaga rindu. Rindu akan suara lembut mamak, rindu bau harum masakan dari dapur, rindu pandangi indahnya mawar melati di pekarangan. Rentetan kerinduan ini teramat panjang lagi jika dilanjutkan dengan rindu buah jambu dan mangga ketika musim tiba, rindu suara keras ustaz dan suara nyaring bilal di meunasah[1]. Namun bagi Maisarah, rindu kampung biarlah tetap bernama rindu. Maisarah yang biasa dipanggil Mai tetap membungkus rindu itu dengan berlembar kain rahasia yang entah kapan ia akan buka dan ceritakan bagaimana menderunya nyanyian rindu.

 Rindu kampung bagi Mai bukanlah seindah puisi di hati para perantau. Rindu kampung bagi Mai adalah perhelatan antara suka dan duka. Perhelatan yang dimenangkan duka ini ditambah lagi dengan sayatan luka batin yang teramat nyeri. Kampung bagi Mai adalah hentakan kaki laskar lengkap dengan bentakan dan teriakannya. Kampung bagi Mai adalah darah yang mengalir dari ujung kepala hingga kaki Bapak, ketika tubuhnya tercampakkan oleh perlakuan kasar para laskar. Memori tentang kampung yang indah ternodai oleh simbah darah.

 "Mai, lebaran kali ini kita pulang kampung ya. Mamak sudah makin renta, kita sebagai anaknya sudah selayaknya duduk bersimpuh di kaki mamak sambil terus mendoakan dan menyayanginya" ujar Ibrahim suaminya.

 Seingat Mai, kalimat yang sama selalu diucapkan oleh Ibrahim setiap memasuki bulan ramadan.  Ibrahim ingin membawa Mai ke pangkuan mamak di kampung. Tak mungkin mamak hanya puas bervideo call saja dengan putri semata wayangnya itu. Ibrahim tak mau dikatakan menantu durhaka, ia tetap saja menyampaikan dan membujuk Mai agar mau pulang kampung setiap lebaran. Dan ini adalah tahun kelimabelas, ia menikahi Mai. Dan ia tak tahu apakah di tahun kelimabelas ini ia bakal berhasil membawa Mai pulang ke pangkuan mamaknya. 

                                                                                                                                                          2

                        Mata Mai nanar, ia cuma bisa lari dan lari sejauh-jauhnya. Menjauhi tubuh Bapak yang terlentang bersimbah darah. Mai tak sanggup hadapi semua itu. Ia lari sejauh-jauhnya, menjauhi kampung Peut (kampung kelahirannya). Ia tak  membawa apa-apa, hanya berbekal baju di badan dan selembar uang 50 ribu. Ada bekal yang lebih mahal yaitu otak Mai yang cerdas. Ia memang gadis kampung yang cerdas, ia bahkan lulus dengan nilai yang istimewa dari Madrasah. Ia juga hafal Quran 10 juz. Mai juga trampil memasak dan menjahit, apalagi syarat untuk ukuran perempuan. Mai telah memiliki semuanya.

                      Dibantu wawaknya di kota, Mai akhirnya pergi merantau ke negri seberang. Ia rela bekerja di kilang.  Di kilang  ia bertemu Ibrahim. Ibrahim yang baik dan penuh perhatian, Ibrahim yang tulus dan penuh kasih sayang khususnya buat Mai. Mai menerima pinangannya. Ibrahim paham siapa Mai, bahkan Ibrahim juga paham akan luka jiwa Mai. Mereka berdua menikah dengan mas kawin 5 mayam emas, jumlah yang terlalu sedikit untuk gadis seperti Mai. 

Mai ikhlas menerimanya,  baginya pernikahan tak hanya ditentukan oleh jumlah mahar tapi juga faktor psikologis yang malatarbelakanginya. Mai perantau, Ibrahim perantau. Biarlah mereka berdua menegakkan adat dengan takaran keikhlasan dan penerimaan. Lima mayam bagi mereka berdua telah cukup. Cukup untuk ditampilkan sebagai tanda kesungguhan sosok laki-laki yang berniat meminang calon istri, calon ibu buat anak-anaknya. Ibrahim lancar lafalkan ijab qabulnya, Mai bergulir air mata mendengarnya. Dua anak manusia, perantau yang menemukan pelabuhan hati dari kampungnya sendiri. Saat itu senyum dan syukur Mai dan Ibrahim terbang tinggi, seperti hendak memeluk langit cita-cita hidup keduanya

                                                                                                                                                         3

 Mamak banyak membakar kue sepit kali ini, bahkan kue sagu, kekarah, bada reteuk juga lengkap disiapkannya. Handai taulan dan jiran bertanya-tanya ada apa gerangan dengan Mamak. Perempuan jelang 80 tahun yang sakit-sakitan tiba-tiba sehat dan segar bahkan bisa masuk kembali ke dapur .

"Nyakwa, buat siapa kue-kue sebanyak ini ?"

" Si Mai pulang uroe raya ini, Ibrahim sudah kasi kabar sama mamak kalau si Mai kajadeh pulang uroe raya. Ibrahim dan Mai sama 3 cucu mamak pulang semua duapuluh puasa nanti"

Handai Taulan dan jiran tak ingin mamak luka, luka karena rindu pada anak dara semata wayangnya  yang cuma tinggal rindu. Anak dara yang kini telah jadi istri dan ibu. Handai taulan dan jiran saling berpandangan, harap harap cemas sambil ikut mendoakan agar kerinduan mamak terobati . In Shaa Allah

4

 Luka itu bagi Mai seperti tikaman pisau yang menancap erat di jantungnya. Ia bahkan merasakan berat sekali melepas pisau itu apalagi melemparnya jauh ke antartika. Limabelas tahun bukanlah waktu yang sedikit bagi Mai untuk  belajar memaafkan

[3]. Dukungan Ibrahim selaku suaminya juga luar biasa, Ibrahim selalu menempatkan diri sebagai pendengar yang setia pada setiap episode verbalisasi luka jiwa Mai. Ia tak pernah menyangkal atau mengiyakannya, namun Ibrahim mampu menghadirkan segelas air segar untuk kering kerontangnya jiwa Mai.

 

Memaafkan memang tidak mudah. Butuh proses dan perjuangan untuk melakukannya. Ibrahim yakin memaafkan akan baik buat Mai dan untuk seisi keluarga serta semua orang. Pada asasnya Ibrahim juga punya luka di kampungnya, namun ia kemudian lebih banyak sibuk bertawajuh pada Allah swt sang maha pengampun dan pemaaf. Ia kemudian lebih banyak disibukkan dengan mencari nafkah halal buat keluarganya. Tubuh ibrahim makin kuat, jiwa Ibrahim makin tangguh. Serasa pemaafan yang ia lakukan membuatnya lebih sehat dan bahagia[4]. Namun apalah arti sehat dan bahagia buatnya, jika istri tercintanya Mai masih digerogoti luka.

Tiba-tiba Ibrahim dikejutkan dengan pelukan Mai kuat-kuat, Mai terbangun lebih awal sebelum alarm sahur berbunyi.

"Mai pulang bang, Mai mau jumpa mamak"

"Mai buang luka itu bang, biar enyah bersama ombak di laut sana"

"Mai mau bersimpuh di kaki mamak"

"Mai mau dengar suara merdu tadarus mamak"

Ibrahim peluk erat Mai, Allah swt jawab doa-doanya yang panjang di ramadan ini. Doa agar Mai istrinya berjiwa lapang. Sujud syukur dua pasang insan tersebut, tengadah tangan berdoa pada Allah azzawajalla. Ibrahim senyum, Mai senyum. Semburat wajah mamak terpatri erat di hati mereka, tak sabar terbang ke kampung bersimpuh di kaki mamak tercinta.

  

Panteriek, 8 ramadhan 1439 H

 
  
 

[1] Meunasah = Mushola

   

[2] Kilang=Pabrik

   

[3] Pemaafan (forgiveness)  menurut  Robert D. Enright (2002), adalah kesediaan seseorang untuk meninggalkan kemarahan, penilaian negatif, dan perilaku acuh-tidak-acuh terhadap orang lain yang telah menyakitinya secara tidak adil. Adapun Thompson (2005) menyebut  pemaafan sebagai upaya untuk menempatkan peristiwa pelanggaran yang dirasakan sedemikian hingga respon seseorang terhadap pelaku, peristiwa, dan akibat dari peristiwa yang dialami diubah dari negatif menjadi netral atau positif.

[4] Pemaafan juga mempengaruhi ketahanan dan kesehatan fisik dengan mengurangi tingkat permusuhan, meningkatkan sistem kekebalan pada sel dan neuro-endokrin, membebaskan antibodi, dan mempengaruhi proses dalam sistem saraf pusat (Worthington & Scherer, 2004).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun