"Nyakwa, buat siapa kue-kue sebanyak ini ?"
" Si Mai pulang uroe raya ini, Ibrahim sudah kasi kabar sama mamak kalau si Mai kajadeh pulang uroe raya. Ibrahim dan Mai sama 3 cucu mamak pulang semua duapuluh puasa nanti"
Handai Taulan dan jiran tak ingin mamak luka, luka karena rindu pada anak dara semata wayangnya  yang cuma tinggal rindu. Anak dara yang kini telah jadi istri dan ibu. Handai taulan dan jiran saling berpandangan, harap harap cemas sambil ikut mendoakan agar kerinduan mamak terobati . In Shaa Allah
4
 Luka itu bagi Mai seperti tikaman pisau yang menancap erat di jantungnya. Ia bahkan merasakan berat sekali melepas pisau itu apalagi melemparnya jauh ke antartika. Limabelas tahun bukanlah waktu yang sedikit bagi Mai untuk  belajar memaafkan
[3]. Dukungan Ibrahim selaku suaminya juga luar biasa, Ibrahim selalu menempatkan diri sebagai pendengar yang setia pada setiap episode verbalisasi luka jiwa Mai. Ia tak pernah menyangkal atau mengiyakannya, namun Ibrahim mampu menghadirkan segelas air segar untuk kering kerontangnya jiwa Mai.
Memaafkan memang tidak mudah. Butuh proses dan perjuangan untuk melakukannya. Ibrahim yakin memaafkan akan baik buat Mai dan untuk seisi keluarga serta semua orang. Pada asasnya Ibrahim juga punya luka di kampungnya, namun ia kemudian lebih banyak sibuk bertawajuh pada Allah swt sang maha pengampun dan pemaaf. Ia kemudian lebih banyak disibukkan dengan mencari nafkah halal buat keluarganya. Tubuh ibrahim makin kuat, jiwa Ibrahim makin tangguh. Serasa pemaafan yang ia lakukan membuatnya lebih sehat dan bahagia[4]. Namun apalah arti sehat dan bahagia buatnya, jika istri tercintanya Mai masih digerogoti luka.
Tiba-tiba Ibrahim dikejutkan dengan pelukan Mai kuat-kuat, Mai terbangun lebih awal sebelum alarm sahur berbunyi.
"Mai pulang bang, Mai mau jumpa mamak"
"Mai buang luka itu bang, biar enyah bersama ombak di laut sana"