Mohon tunggu...
Nurizzah Hastuti
Nurizzah Hastuti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa pasca sarjana Komunikasi

penulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pemikiran Kh Abdurrahman Wahid (Gusdur): Pribumisasi Islam

17 Desember 2023   16:09 Diperbarui: 17 Desember 2023   16:57 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai seorang cendikiawan muslim di Indonesia yang banyak menuangkan gagasan gagasannya dalam menjawab persoalan-persoalan umat islam masanya seperti Pribumisasi Islam yang merupakan perpaduan nilai-nilai budaya lokal suatu daerah dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam Islam, Pribuminisasi Islam pada hakikatnya merupakan konsep berfikir dengan tetap melestarikan nilai budaya yang telah ada dengan tetap memenuhi esensi agama Islam didalamnya selama nilai tersebut tidak melenceng dari apa yang sudah di tetapkan dalam syariat islam sehingga dapat menghadirkan kebaikan dan menciptakan kerukunan diantara sesama penganut agama yang ada di Indonesia.  

Pribumisasi Islam Sebagai Metodologi

Jika dilihat dari sejarah, pribumisasi Islam merupakan cara Gus Dur khususnya dan NU umumnya untuk menolak campuran budaya arab yang dianggap sebagai agama atau Arabisasi. Tapi ini juga bukan pikiran baru yang datang dari Gus Dur, karena sejak dulu para kiai kampung atau guru-guru pesantren sudah punya kecenderungan untuk menghadirkan jenis keislaman yang khas dengan kondisi adat budaya tanah air yaitu indonesia, tanpa banyak dicampur unsur Arabisme. Jadi, pribumisasi Islam hanya stempelnya saja. Gus Dur berjasa dala merumuskan teori pribumisasi. Gus Dur telah memberi nama terhadap jenis perjuangan yang dilakukan oleh para ulama Indonesia sejak Wali Songo sampai sekarang.

Sebagai metode untuk memahami Islam yang terwujud melalui tradisi adat dan budaya lokal, tidak berjalan mudah dan bukan tanpa tantangan. Kalangan arab atau sebagian kecil para alumni-alumni arab dengan paham wahabi misalnya, yang hingga sekarang masih menilai bahwa paham Islam yang dicampur adukkan dengan budaya membuat Islam tidak lagi murni secara teologis. Padahal seperti yang sudah Gus Dur jelaskan di awal, pribumisasi Islam tidak menyentuh wilayah keimanan seseorang atau ibadahnya secara formal melainkan menyesuaikan dengan budaya dimana islam itu berada. Hal ini seperti yang telah dikatakan Gus Dur.

Contoh paling mendasar manifestasi dari pribumisasi Islam adalah munculnya konsep Islam Nusantara yang dipakek oleh masyarakat Nahdatul Ulama. Dalam hal Islam Nusantara, Gus Dur hanya mewariskan metodologi bagi Islam Nusantara, dan tidak tentang Islam Nusantara itu sendiri. Namun demikian, pandangan tentang Islam Nusantara bisa didapatkan pada pandangan Gus Dur tentang sejarah kedatangan Islam di Nusantara, kemudian bagaimana proses akulturasi antara Islam dan budaya di Nusantara, hingga corak kultural dari keislaman pesantren, yang menurutnya menjadi produk yang diperhitungkan dari islamisasi di Nusantara.

Dalam kaitan ini, karena wilayah Islam Nusantara berada pada wilayah Islam dan budaya Nusantara, maka pribumisasi Islam menjadi metodologi bagi pembumian Islam ke dalam budaya tersebut. Hal ini terjadi karena pribumisasi Islam merupakan proses peleraian ketegangan antara Islam dan budaya. Islam merupakan agama hukum yang memuat jaringan aturan, sedangkan budaya merupakan kreasi manusia yang memuat proses perubahan. Antara aturan yang menuntut ketetapan, dengan kreasi yang meniscayakan perubahan dan sering melahirkan kontradiksi dan akhirnya  ketegangan antara agama dan kebudayaan.

Oleh sebab itu, pribumisasi Islam memuat beberapa pemahaman. Pertama, pribumisasi Islam adalah bagian dari sejarah Islam, baik di negeri Arab maupun di negeri selain Arab, termasuk Indonesia. Kedua sejarah itu membentuk sungai besar yang terus mengalir dan kemudian dimasuki lagi oleh kali cadangan sehingga  sungai itu semakin membesar. Bergabungnya kali baru, berarti masuknya air baru yang mengubah warna air yang telah ada. Bahkan pada tahap berikutnya, aliran sungai ini terkena ‘limbah industri’ yang sangat kotor. Maksud dari perumpamaan itu adalah bahwa proses pergulatan dengan kenyataan sejarah tidaklah mengubah Islam, melainkan hanya mengubah manifestasi dari kehidupan agama Islam. Kedua, pribumisasi Islam bukanlah Jawanisasi atau sinkretisme, sebab ia hanya proses mempertimbangkan kebutuhan lokal di dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa mengubah hukum itu sendiri.

Ketiga, pribumisasi Islam bukan upaya meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash dalil, dengan tetap memberikan peranan kepada ushul fiqh dan qaidah fiqh. Keempat, pribumisasi Islam merupakan pengembangan pemahaman nash agar berjalan lebih sistematik dengan cakupan yang lebih luas dan argumentasi yang lebih matang. Jika hal ini terjadi, maka Islam telah dipribumisasikan, yakni pemahaman terhadap nash dikaitkan dengan masalah-masalah di negeri kita atau dimanapun islam itu berada.

          Di samping itu Gus Dur Dur juga menyediakan batasan tentang “apa yang tidak boleh terjadi” dalam pribumisasi Islam. Yang Meliputi yaitu :

  • Tidak boleh terjadi pembauran Islam dengan budaya, sebab berbaur berarti hilangnya sifat-sifat asli. Islam harus tetap pada sifat Islamnya. Semisal Al-Qur’an harus tetap dalam bahasa Arab, tidak kemudian dirubah dalam bahasa jawa misalnya. terutama dalam shalat, sebab Al-Quran telah menjadi norma yang tidak bisa dirubah oleh siapapun.
  • Penyesuaian ajaran Islam dengan kenyataan hidup hanya diperkenankan sepanjang menyangkut sisi budaya. Dalam soal wali nikah misalnya, ayah angkat tetap bukan wali nikah untuk anak angkatnya. Ketentuan ini adalah norma agama, bukan kebiasaan.
  • Karena adanya prinsip-prinsip yang keras atau sudah final dalam hukum Islam, maka adat tidak bisa mengubah nash melainkan hanya mengubah atau mengembangkan aplikasinya saja dan memang aplikasi tersebut akan berubah dengan sendirinya. Misalnya, Nabi tidak pernah menetapkan beras sebagai benda zakat, melainkan gandum. Lalu ulama yang mendefinisikan gandum sebagai qutul balad, makanan pokok. Dan karena definisi itulah, gandum berubah menjadi beras untuk Indonesia.

    Dari sini kita bisa memahami bahwa pribumisasi Islam yang digerakkan Gus Dur bermaksud menkontekstualisasi Islam yaitu islam yang sesuai dengan kondisi  waktu dan tempat disetiap islam itu berada tanpa mengubah syariat dan nilai islam itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun