Ini kisahku dan seorang malaikat. Kisah seorang gadis yang terlambat merasakan cinta dan seorang malaikat yang memberiku segalanya sejak hari pertama aku menghirup udara di bumi ini. Namaku Nara, aku seorang gadis berumur 22 tahun. Aku tinggal berdua bersama ibuku. Ibu membesarkanku seorang diri. Ayahku meninggal saat aku masih kecil. Ibuku tak pernah menikah lagi. Beliau sangat mencintai ayahku.
Ketika masih kecil, aku bukanlah anak yang baik. Aku sangat nakal. Seringkali aku melakukan hal-hal bodoh agar ada yang memperhatikanku. Dulu ibuku sibuk bekerja sehingga jarang menghabiskan waktu bersamaku. Ibu berangkat pagi dan pulang larut malam. Aku membencinya. Aku tak pernah menghiraukannya ketika melihatnya duduk sendiri di ruang tamu sambil memijat-mijat tengkuknya. Bahkan aku tak pernah menjawab saat ibu bertanya bagaimana sekolahku, teman-temanku, dan lain sebagainya.
Ketika beranjak remaja aku juga bukan anak yang baik, aku semakin tidak peduli dengan ibuku. Sekali waktu ibu sengaja mengambil cuti untuk menemaniku berlibur. Aku sama sekali tidak tertarik berlibur dengan ibu karena aku merasa ibuku tidak gaul, terakhir dia mengajakku jauh-jauh ke Bandung hanya untuk datang ke masjid dan mendengar ceramah.
Ibuku tak pernah marah kepadaku, bahkan ketika ibu dipanggil oleh pihak sekolah karena aku ribut dengan teman sekelasku karena aku dibilang merebut pacarnya. Tapi, sikap ibuku itu tak juga membuatku merasakan betapa dia mencintaiku. Suatu hari ibuku berkata "bidadari ibu semakin besar dan semakin cantik, rambutmu indah, alangkah baiknya jika keindahanmu itu ditutupi dengan jilbab sayangku." Aku tak menggubris ucapannya, memang selama ini banyak orang membicarakanku karena aku yang notabene anak dari wanita berjilbab malah senang berpakaian terbuka, aku bahkan risih tiap kali hari Jum'at tiba aku harus ke sekolah dengan memakai kerudung. Berjilbab panjang seperti itu, yang benar saja. Mana mungkin ada cowok yang mau jadi pacarku kalau aku berpenampilan seperti itu, begitulah yang ada dalam pikiranku saat itu.
***
Hari Sabtu pagi, aku berjanji menjenguk seorang teman di salah satu rumah sakit. Ketika aku berangkat ibuku sudah tidak ada dirumah. Jam 10.00 wib aku tiba di rumah sakit, aku langsung naik ke lantai empat rumah sakit itu. Jam 11.00 wib aku pamit untuk pulang. Saat aku melangkah keluar dari lift mataku menangkap sosok wanita yang tak asing bagiku. Itu ibuku, sedang apa dia disini. Aku melihatnya berjalan menuju sebuah ruangan, di pintu ruangan itu tertulis Spesialis Onkologi.
Onkologi? Aku asing dengan istilah ini. Setelah aku mencari tahu, ternyata itu adalah tempat khusus perawatan pasien kanker. Untuk apa ibuku kesana? Mungkin temannya sedang sakit. Ya, pasti ibuku hanya menjenguk temannya yang sakit. Tidak mungkin ibuku sakit, dia selalu terlihat sehat selama ini.
45 menit kemudian ibuku keluar dari ruangan itu, aku bersembunyi di toilet tak jauh dari situ. Setelah aku lihat ibu sudah pergi, aku masuk ke ruangan yang baru saja didatangi ibu. Ada seorang dokter disana, dia masih muda. Tak banyak basa-basi aku menyerangnya dengan beberapa pertanyaan.
"Wanita yang barusan masuk kesini, dia sakit apa?"
Dokter itu menolak menjawab dengan alasan itu adalah rahasia pasiennya. Aku tak menyerah dan terus mendesaknya. "Wanita itu ibuku, beritahu aku tentang keadaannya! Please!." Aku mulai memohon. Akhirnya dokter itu menyerah, dia menyuruhku duduk. Lalu mulai memberitahuku perihal kondisi ibuku.
Rasanya seluruh tulang di tubuhku hilang. Aku lemas bukan main mendengar penjelasan dokter itu. Ibuku, wanita yang selalu terlihat kuat dan sehat ternyata sudah setahun terakhir menderita kanker tulang. Kakinya, kaki yang selalu membawanya keluar untuk mencari kehidupan untukku terancam di amputasi.