Tidak ada yang melarang pemberian nama kepada anak. Itu adalah hak setiap orang tua yang tak terbantahkan.
Ibu saya memberi nama ke-delapan anaknya dengan awalan "Roes" , meskipun baik nama ibu maupun bapak tidak mengandung kata "Roes". Mungkin terinspirasi dengan bunga mawar yang indah namun berduri. Berdasar ilmu numerologi, kata "Roes" itu jumlah totalnya 57 dari R=18, O=15, E=5, S=19. Maka nama "Roes" mempunyai makna kepribadian yang ekspresif, mudah bicara, mudah bersosialisasi, menyukai seni dan menikmati hidup. Keren kan?
Nama saudara-saudara saya antara lain : Roesli, Roesdina, Roesman, Roesdi, Roestiwi, Roesano, dan Roeshan. Tetapi alih-alih memanggil anaknya dengan nama yang sudah susah payah dibuat itu, ibu saya memanggil anaknya dengan sebutan yang absurd dan kadang memalukan seperti Bagong, Klowor, Dobleh, Waicheng, Kenong, Ompong, Gareng, dan Endut.
Kebiasaan itu ditiru juga oleh anak-anaknya. Adik saya mempunyai anak yang diberi nama  Shahbaz Aqieulla Pradnja Parammita, panggilannya Cipluk. Begitu melekatnya  nama panggilan itu sampai-sampai teman juga tetangga bahkan sebagian saudara  tidak tahu nama aslinya. Si Shahbaz menulis namanya di buku tulis dengan "Ciplux" lalu setelah agak besar ditambah menjadi "Ciplux SAPP".
Ternyata setelah saya amati, ada dua dasar penamaan anak masa kini yaitu Timur (Arab) dan Barat (Eropa, Amerika). Yang pertama erat kaitannya dengan kepercayaan atau agama mayoritas masyarakat Indonesia. Semakin ke-arab-araban tampak semakin Islami. Seperti nama Shalsabila Al-Farizi, Ramadhan Fariz Al-Fatih, Rafassya Zaydan Akbar, Fathiema Al-Khumairah, dan lain sebagainya.
Yang kedua menunjukkan symbol modernitas. Semakin kebarat-baratan nama seorang anak akan menunjukkan tingkat kemodernan orang tuanya (katanya). Contohnya : Rivaldo Brasilia, Cloe Vinky Bellaria, Nicole Anza Imanov, Valerie Harzegovina, dan lain-lain.
Terhadap orang tua yang sudah memberi nama anaknya dengan kerumitan tingkat tinggi, saya sungguh salut. Tentunya mereka telah melakukan kontemplasi, meditasi sampai mediasi tanpa basa basi sampai menemukan nama yang "wow", yang membuat orang berdecak kagum dan tercengang heran. Mereka pun sudah mengkhatamkan buku "1001 Nama Terbaik untuk Anak Anda".
Berbeda dengan orang tua jaman dulu yang lebih praktis dan sering mengkaitkan nama anak dengan peristiwa yang membersamai kelahirannya. Paklik saya lahirnya pas hari Jum'at Legi maka namanya Jumadi Legiman. Teman saya yang lahirnya pada hari kemerdekaan,namanya Mardika Pratiwi. Ada juga Puspa Fajarina, karena lahir pas waktu fajar bersamaan dengan mekarnya bunga.
Saat ini, sulit menemukan nama dengan satu kata semisal Suprapto, Sulaeman, Sulastri, Rustamaji, Dewi dan lain sebagainya. Orang tua jaman sekarang sudah memikirkan bagaimana jika anaknya kelak akan bepergian ke luar negeri. Berbagai dokumen resmi mewajibkan pencantuman nama keluarga. Bahkan untuk membuat sebuah akun pun harus mengisi "Last Name".
Nama yang panjang dan sulit dieja menjadi masalah ketika perlu ditulis di dokumen, Tidak setiap orang  bisa menuliskannya dengan mudah pun si empunya nama. Pasti mereka perlu belajar ekstra keras dan sabar untuk bisa menulis namanya sendiri yang rumit dan panjang itu.Beda dengan menulis nama "Budi" kan, tidak sampai dua detik, selesai. Lha bagaimana dengan Shahbaz Aqieulla Pradnja Parammita?
Belum lagi jika terjadi keslahan dalam penulisan nama. Ruwet, Bro!. Kita harus bolak-balik membetulkannya ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil setempat. Berapa waktu, tenaga dan biaya yang dihabiskan? Bisa untuk beli sepuluh mangkok oskab, Coy!