Masih pagi. Jam dinding menunjukkan waktu pukul tujuh lebih lima belas menit. Dari jendela tampak matahari masih malu-malu menyapa semesta. Sinarnya menembus sela-sela pepohanan, dan menyapu sebagian atap-atap rumah. Lagu dangdut koplo mulai terdengar dari rumah Pak Boi yang letaknya dua rumah di sebelah kanan rumahku. Dulu, aku tak suka mendengarnya, karena liriknya yang terlalu terus terang, ditambah dentuman musiknya yang membuat dada di tubuh tuaku berdebar kencang. Â
Kupaksakan diri untuk bergerak, menggeliatkan badan meski  rasa nyeri merasuki kaki kanan, mulai dari paha sampai tumit. Ketika kontrol dua hari yang lalu, dokter mengatakan bahwa tulang di paha yang patah akibat kecelakaan enam bulan yang lalu, sudah menyambung sempurna. Seharusnya aku sudah bisa berjalan dengan satu kruk namun rasa nyeri ini sering menahanku untuk melakukannya. Aku lebih nyaman mengunakan walker.
Rasa lapar menyeretku berjalan menuju meja makan, aku berharap ada sesuatu yang bisa digunakan untuk menyumpal cacing-cacing di perut. Namun , hanya ada setengah gelas kopi dingin, sisa semalam, buatanku sendiri.  Kubuka magicom yang masih menyala, ada sedikit nasi yang mengering. Sepertinya  tidak ada yang membereskan meja makan. Masih ada panci berisi sayur santan yang sudah basi, lupa dihangatkan. Ada seiris tempe yang terpelanting di ujung meja dengan bekas gigitan di tepinya. Pasti ada tikus  yang berlarian di meja ini semalam.
Duh, mengapa hidupku selucu ini? Sendirian, lapar dan tak ada yang bisa dimakan. Padahal aku bukanlah tak berharta, meskipun usia menjelang senja aku masih mempunyai uang pensiun. Aku jadi berangan-angan seandainya ibunya anak-anak masih ada. Dulu, setiap pagi aku dibangunkan dengan aroma kopi yang menguar nikmat. Tak pernah aku merasa kelaparan seperti ini karena di meja makan selalu tersedia masakan yang siap dimakan kapan saja dalam keadaan hangat dan nikmat. Sayur lodeh tewel yang gurih dengan campuran ceker dan kepala ayam, santannya tidak terlalu kental tapi nyamleng pas di lidah. Bersama dengan itu selalu tersedia tahu goreng dan mendol yang rasanya sedikit "kecing" karena terbuat dari tempe "busuk". Â Yang membuat makin nikmat adalah sambel trasi yang tidak terlalu pedas namun merahnya menyala karena banyak mengandung lombok abang.
Itu dulu, mengapa kenangan terhadap orang yang sudah tiada begitu kuat ketika dia sudah jauh meninggalkan kita. Istriku sudah lama berada dalam kebahagiaan yang abadi sementara aku disini, terperangkap dalam kenangan bersamanya.
Tinggallah aku bersama ketiga anak lelaki. Yang pertama sudah menikah dan tinggal bersama keluarga kecilnya di lain kecamatan. Hanya ada si bungsu bersamaku karena yang kedua bekerja di luar kota. Apa yang bisa diperbuat anak lelaki untuk mengurus orang tuanya? Â Dia rutin mengantar kontrol namun urusan masak memasak diserahkan kepada Mak Kinem, tetangga sebelah rumah.
Biasanya Mak Kinem mengantar masakan pukul enam pagi. Karena aku harus sarapan dan minum obat. Namun entah mengapa sampai sekarang ini ia tak muncul juga.
"Yan ... Yan ... Yan ...!" aku berteriak memanggil Yanto. Rumah ini bertingkat, tempat tidur semua ada di lantai dua. Sejak kecelakaan itu aku memilih tinggal di lantai bawah. Aku sadar akan terlalu merepotkan anak-anak jika memaksa tinggal di lantai atas.
Tak ada jawaban.
Duh, anak jaman sekarang, waktu dibolak-balik. Seperti biasanya, anakku itu baru tidur menjelang waktu Subuh. Entah apa yang dikerjakannya. Bangunnya nanti selepas waktu Dhuhur.
Kucari-cari hp di nakas, mungkin kalau ada panggilan di hp, dia mendengar. Kupencet nomornya ...
Ada jawaban dari seberang sana. Tapi suara cewek.
"Maaf pulsa Anda tidak mencukupi untuk melakukan panggilan. Silahkan ..."
Ah, semprul!
"Yan ... Yan ... Yan ...!"
Masih tak ada jawaban.
Walker kuarahkan ke pintu, mungkin ada orang yang bisa kumintai tolong. Memanggilkan Yanto atau Mak Kinem.
 Pintu terkunci , jendela jjuga.
Oh ya aku sendiri yang meminta Yanto mengunci pintu dan jendela di malam hari. Aku khawatir ada yang masuk tanpa permisi, entah manusia, entah kucing, sedangkan aku susah untuk bangun. Kalau ada apa-apa? Ngeri juga membayangkannya.
"Yan ... Yan ... Yan...!"
Tetap bergeming. Ini panggilan ketiga. Cacing-cacing di perutnya bergoyang semakin ramai apalagi mendengar dangdut koplo dari tetangga.
Kuarahkan walker ke arah dapur.
"Masak-masak sendiri, makan juga sendiri, tidur pun sendiri ...."
Terdengar lagu yang judul dan penyanyinya aku tak tahu. Tapi kok yo pas dengan keadaanku sekarang ini.
Kutengok ke dalam kulkas. Ada beberapa bahan yang kubutuhkan. Nasi kering dalam magicom paling pas dibuat nasi goreng. Hanya dengan menambahkan bawang , cabe dan telur, kurasa sudah akan nikmat.
Baiklah, rajang dulu bawang putih dan bawang merahnya, lalu tambahkan cabe yang sudah diiris. Bumbunya dirajang semuanya. Hmmm, ada juga gunanya dulu ikut pramuka, jadi bisa memasak meski ala ala sebisanya.
Bau harum  menyeruak sampai membuatku bersin ketika bumbu dimasukkan. Sepertinya akan enak sekali ini rasanya. Tambahkan telur lalu masukkan nasinya. Apa tidak terbalik urutannya? Ah sudahlah tak makan sendiri saja kok repot. Â
Sudah masuk semuanya di wajan, nasi, telur dan bumbu-bumbu. Tinggal menambahkan garam dan mengaduknya sampai rata, sampai matang. Aduk ... aduk ... lha kok apinya mati? Ya, Tuhan, gasnya habis. Jarum indikator ada di garis berwarna merah. Aduh! Nasi gorengku?
"Yan ... Yan ...Yan...!" teriakku memanggil Yanto. Aku tidak bisa membeli gas.
Tidak ada yang turun.
Benar-benar anak ini tidak bisa diandalkan. Dia itu tidur atau bagaimana? Sudah berkali-kali diteriakin tidak bangun juga. Kuping mana kuping?
Setengah putus asa, demi perut yang makin kencang berkedut-kedut, kumakan juga nasi goreng istimewa ini. Sesuap, kurasakan, asinnya pas. Sesuap lagi, enak  juga ternyata. Benar kata orang, nasi goreng paling enak itu dibuat dari nasi sisa kemarin. Lebih enak lagi disantap pas sedang lapar-laparnya.
"Wah, kelihatannya enak Pak, nasi gorengnya." Yanto sudah ada di depanku tanpa kutahu kapan turunnya.
"Mau?" tanyaku. Masih ada setengah piring yang tersisa  di wajan.
"Boleh, Bapak masak sendiri ya? Mak Kinem libur hari ini. Aku kok ya lapar ya, Pak."
"Itu masih ada di wajan, tinggal nambahin cabe sama garam  kalau kamu mau"
Yanto menuju dapur yang hanya dua langkah  dari tempatku duduk.
"Garamnya seberapa pak?"
"Satu sendok."
"Cabenya?"
"Kalau mau pedes yo tambahi sepuluh biji."
Dapat kulihat Yanto menambahkan semua yang kusebut tadi.
Â
"Diaduk-aduk sampai rata."
"Kompornya mati, Pak"
"Gak apa-apa nasinya sudah matang"
Aku mengarahkan walker menuju halaman depan, waktunya berjemur. Baru saja duduk, kudengar Yanto berteriak dari dalam.
"Wadouh pedes Pak, mana air minumnya?"
Aku tak berniat menjawab.
"Pak, mana galon airnya?" Yanto menyusulku ke depan.
"Tuh!" Â tanganku menunjuk pada galon kosong di atas meja teras.
"Habis, ya Pak?" Bibir Yanto memerah, hidungnya meler kepedesan.
Geli juga aku, pengin tertawa tapi takut dosa. Rasain, memang enak dicuekin.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI