"Ya kemana-mana, heran orang-orang kok yo tahu saja. Aku sembunyi di punden, di langgar, di  kebun pak kamituwo. Rus, bagaimana ya rasanya jadi kripik itu?"
Mana aku tahu?
"Kemana, Rus?"
"Pulang!"
Belum juga lima langkah meninggalkan pondok bambu itu, terdengar suara ramai lagi. Ada banyak orang mendekati kami.
"La itu Mustari. Iya Mustari sama Rustam." Ada yang menunjuk-nunjuk.
Di bawah cahaya obor dari pelepah daun pepaya tampak wajah-wajah gembira. Peralatan masak yang membuat suara berisik tidak lagi dibunyikan.Â
"Wes itu anaknya sudah ketemu, jangan dihajar lagi," seru Pak RT.
"Alhamdulillah, terima kasih Rustam sudah melepaskan Mustari dari Wewe Gombel." Emaknya Mustari memelukku.
Mustari digendong panggul oleh bapaknya. Sempat kulihat ia bingung, seumur-umur baru kali ini ia digendong bapaknya.
Itu kejadian hampir empat puluh tahun yang lalu. Peristiwa itu menjadikan orang tua Mustari jadi perhatian dan sayang kepada anaknya. Saat ini, Mustari sudah menjadi pengusaha keripik tempe. Â Sedangkan aku beberapa tahun lagi akan pensiun dari guru SMP. Tidak ada yang tahu peristiwa sebenarnya, biarlah menjadi rahasia kami berdua saja.