Sementara aku terpaku. Kakiku terasa dibebani ribuan batu. Lidahku kelu, mulutku beku.
"Ini aku, Mustari !" katanya.
Sosok yang tiba-tiba ada di depanku itu terlihat mengenaskan. Wajahnya belepotan tanah sampai hanya tampak giginya ketika meringis. Bajunya entah berwarna apa, sama kotornya dengan wajahnya.
"Tadi kan sudah kupesan, jangan bilang siapa-siapa. Sekarang semua orang mencariku. Aku kan cuma makan satu tampah, Rus. Masak gara-gara itu aku mau dibunuh, dicincang. Teganya."
"Bener kamu Mustari?"
Ia mengangguk. Dari perutnya terdengar bunyi kemerucuk. Astaga, perut karung dia itu, masak sudah lapar lagi setelah makan sebanyak itu.
"Kamu tidak digondol wewe gombel?"
"Iya tadi di punden ada mbah-mbah yang mau mengajakku ikut dengannya. Gak maulah aku. Nanti kalau dimarahi emak, bisa hancur aku."
"Mangkanya kalau sudah Magrib itu pulang,"
"Sudah pulang aku, Rus. Sampai di pintu depan kudengar bapak marah-marah sama emak katanya aku mau dicincang, diiris tipis-tipis kayak kripik. Yo, aku kabur lagi."
"Kemana?"