Beredar rumor Mustari digondol Wewe Gombel. Karena ini malam Jumat Legi. Wewe gombel, si tua buruk rupa, berambut panjang dan payudara yang besar, gemar menculik anak-anak yang keluyuran di  petang hari. Anak-anak itu akan dijadikan anak Wewe Gombel. Hiii!
Emaknya Mustri menjerit lalu menangis sejadi-jadinya. "Tolong, anakku. Tolong! Makanya jadi bapak itu yang sayang sama anak. Anak dimarahi thok, dikerasi, dijewer gak pernah disayang. Kamu itu beratan rokok sama anak. Gak mau kerja, rokokan terus." Perempuan itu mengomel kepada suaminya yang berdiri dengan bingung.
Dipimpin Pak RT, warga bergerak mencari Mustari. Karena yang dihadapi bukan manusia, mereka membawa senjata masing-masing. Ada yang membawa tampah, wajan, panci, dan peralatan masak lainnya. Apapun yang menimbulkan bunyi. Mereka menabuh segala peralatan itu dengan irama dinamis sambil meneriakkan nama Mustari. Diharapkan Wewe Gombel akan mendengar bunyi-bunyian itu, ia menjadi tertarik lalu joget-joget dan melepaskan Mustari dari himpitan payudaranya yang buesar itu.
Entah kemana llagi mencari Mustari, di tempat-tempat yang biasa disinggahinya tidak ada. Aku yang mengikuti bapak jadi capek juga. Kakiku pegal sudah jauh berjalan, mulutku kering rasanya berteriak dari tadi. Â Bapak meneruskan langkah, aku dan Tikno meluruskan kaki di pondok bambu di depan kebun pisang di perbatasan kampung.
"Rus ...!"
Ada suara di belakangku. Siapa? Hanya daun-daun pisang yang bergerak-gerak tertiup angin. Â Tikno, memejamkan mata, kedua kakinya diangkat disandarkan di tepi dinding bambu.
"Tikno ...!"
Suara itu terdengar lebih keras dari yang pertama tadi. Tikno terhenyak, matanya langsung terbuka, kakinya diturunkan. Dagunya terangkat, matanya menyiratkan tanya. Aku menggedikkan bahu. Aku dengar tapi aku juga tak tahu.
"Hoy ...!"
Aku terjengkang. Dadaku berdegup kencang, jantungku terasa akan melompat keluar. Tikno terbelalak. Secepat kilat ia beringsut lalu lari lintang pukang.
"Hantu ...! Dhemit...! Tuyul...!" Suara teriakan Tikno kudengar makin menjauh.