"Rus ...!"
Suara itu terdengar lagi. Aku mempercepat langkah, tampah yang kubawa sampai miring-miring, daun pisang yang menutupinya tersingkap, nyaris terjatuh.
"Rus ...!"
Apes! Ia berhasil memegang pundakku. Â
Â
Mustari,  yang badannya tinggi kerempeng, hitam dan dekil, tertawa menyeringai sambil menjajari langkahku. Rambutnya yang tipis dan awut-awutan tampak kemerahan diterpa sinar matahari sore. Ia tersenyum menampakkan giginya yang  tidak beraturan. Siapapun akan memilih menghindar bertemu dengannya. Ia anak paling nakal sedunia, tak ada yang ditakutinya kecuali emaknya. Tapi ia paling disayang guru di sekolah makanya sering tak naik kelas.
"Bawa, apa?" Â tanyanya. Badannya condong mendekati tampah. Hidungnya mengendus-ngendus.
"Ini untuk di Langgar, malem Jum'at Legi, " jawabku sambil menepis tangannya yang berusaha melihat isi tampah.
"Walah, cuma pisang sama apem. Gak doyan aku!"  katanya kesal. Ia  menepi, memberiku jalan.
Kapokmu kapan? Kebetulan, aku tidak bisa membayangkan kemarahan Emak bila ada yang diambil Mustari. Hari ini malam Jum'at Legi. Emak mengirim pisang dan apem ke Langgar setelah menyisakan sedikit untuk sandingan di rumah. Kata Emak, arwah leluhur pulang setiap malam Jum'at Lagi untuk melihat anak cucunya. Sudah menjadi kewajiban anak cucu untuk memberi suguh sebagai penghormatan kepada arwah leluhur.
"Bagaimana kalau kamu bertamu lalu tidak diberi suguhan sekedar minum atau makanan ringan," Â kata Emak ketika aku bertanya mengapa harus membuat sandingan. Setahuku yang membutuhkan makanan dan minuman itu manusia hidup bukan arwah.