Itu suara mamaku. Sungguh jauh dari kata merdu.
"Duh, percuma punya anak perawan, gak ngerti pekerjaan rumah, gak bisa bantun apa-apa. Masih pagi begini sudah tiduran. Saru!"
Ya, Mama tidakkah kau lihat lantai sudah kinclong, aku sudah menyapu dan mengepel. Meja dan pajangan pun sudah ku lap semua. Jangankan laba-laba, semut pun akan kepleset karenanya.
"Mama sudah jalan-jalan, sudah belanja, sudah nyiramin tanaman, kamu masih saja guling-guling di kasur." Mama melanjutkan omelannya.
Mau menjawab? Lupakan saja. Klarifikasi pun tak akan menolong. Percuma, bisa-bisa omelan Mama akan makin panjang kali lebar sampai luas dan keliling.
"Tuh lihat gelas dan piring belum dicuci, jemuran juga belum dikeluarkan. Kamu hp an terus. Kapan kamu itu dewasa? Kapan kamu akan ngerti?"
Duh, mengapa selalu ada pekerjaan baru saat Mama tiba. Padahal tadinya sudah selesai dan baik-baik saja. Tentang gelas dan piring kotor, sejak kapan barang-barang itu ada di sana. Jemuran? Lha siapa yang nyuci?
Mama, seperti punya indera ketujuh, selalu tahu kesalahan dan kekurangan anak-anaknya.
Pernah waktu itu, aku sedang menyapu, tanpa sengaja gagang sapu menyenggol gelas yang ada di jendela. Belum sempat kubersihkan, Mama muncul tiba-tiba.
"Riiiiinn! Kalau tak mau bantu Mama gak usah ngambul. Gak usah ngancurin barang-barang rumah. Kemarin piring, sekarang gelas, besok apa lagi. Mau makan pakai daun? " Mama berkata dengan suara keras, matanya melotot, sementara tangan kanannya memegang sothil.
Seingatku yang memecahkan piring kemarin itu, Mama. Bukan aku. Apa yang dikatakannya?