Mohon tunggu...
Nurifah Hariani
Nurifah Hariani Mohon Tunggu... Guru - Guru yang suka membaca dan senang berkhayal

Guru di sebuah sekolah swata di kota Malang, sedang belajar menulis untuk mengeluarkan isi kepala, uneg-uneg juga khayalan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hot Mama

2 Januari 2025   20:36 Diperbarui: 2 Januari 2025   20:36 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mamaku, entah bagaimana aku memberi julukan kepadanya. Ia layaknya sebuah novel berjilid-jilid yang tak kunjung habis kubaca. Kisahnya lebih dramatis daripada sinetron di stasiun ikan terbang. Kelebihannya adalah bisa menghilang dan muncul tiba-tiba.  Dan selalu di saat yang tepat.

Siang itu udara sangat panas, sambil menunggu adzan Dhuhur, aku leyeh-leyeh di depan televisi, ditemani kipas angin yang setia meniupkan angin sepoi-sepoi dan setoples krupuk bawang. Duh, nikmat mana yang bisa kau dustakan wahai manusia?

Tak disangka, tak dinyana, pas aku merem melek menikmati angin buatan, tiba-tiba ....

"Rin ... !"

Itu suara mamaku. Sungguh jauh dari kata merdu.

"Duh, percuma punya anak perawan, gak ngerti pekerjaan rumah, gak bisa bantun apa-apa. Masih pagi begini sudah tiduran. Saru!"

Ya, Mama tidakkah kau lihat lantai sudah kinclong, aku sudah menyapu dan mengepel. Meja dan pajangan pun sudah ku lap semua. Jangankan laba-laba, semut pun akan kepleset karenanya.

"Mama sudah jalan-jalan, sudah belanja, sudah nyiramin tanaman, kamu masih saja guling-guling di kasur." Mama melanjutkan omelannya.

Mau menjawab? Lupakan saja. Klarifikasi pun tak akan menolong. Percuma, bisa-bisa omelan Mama akan makin panjang kali lebar sampai luas dan keliling.

"Tuh lihat gelas dan piring belum dicuci, jemuran juga belum dikeluarkan. Kamu hp an terus. Kapan kamu itu dewasa? Kapan kamu akan ngerti?"

Duh, mengapa selalu ada pekerjaan baru saat Mama tiba. Padahal tadinya sudah selesai dan baik-baik saja. Tentang gelas dan piring kotor, sejak kapan barang-barang itu ada di sana. Jemuran? Lha siapa yang nyuci?

Mama, seperti punya indera ketujuh, selalu tahu kesalahan dan kekurangan anak-anaknya.

Pernah waktu itu, aku sedang menyapu, tanpa sengaja gagang sapu menyenggol gelas yang ada di jendela. Belum sempat kubersihkan, Mama muncul tiba-tiba.

"Riiiiinn! Kalau tak mau bantu Mama gak usah ngambul. Gak usah ngancurin barang-barang rumah. Kemarin piring, sekarang gelas, besok apa lagi. Mau makan pakai daun? " Mama berkata dengan suara keras, matanya melotot, sementara tangan kanannya memegang sothil.

Seingatku yang memecahkan piring kemarin itu, Mama. Bukan aku. Apa yang dikatakannya?

"Siapa yang naruh piring disini? Bukan tempat piring disini. Rin, ayo bersihkan, disapu lalu dipel sampai kesat. Dino, jangan lari-larian terus. Lantainya licin. Kalau jatuh, bisa hilang hidungmu. Ayah! Jangan habiskan kacangnya, masih ada tamu, mau dikasih apa? Mama capek mau goreng-goreng lagi. Ayah enak saja tinggal ngabisin."

Nah, kan sekeluarga kena semprot semuanya. Bukan hanya aku seorang, ayah dan adik yang tidak tahu apa-apa kena juga.  Ternyata yang menaruh piring disitu bukan orang lain, melainkan Mama.

Mamaku, layaknya emak-emak Indonesia pada umumnya, galaknya melebihi macan. Siapa yang berani menghadapinya?  Mending menghindar daripada terlibat masalah dengannya. Cari aman saja. Meski tindakannya sering tidak masuk akal, seperti sein kiri tapi belok kanan.

Bagaimana dengan ayahku? Meskipun badannya lebih besar dan lebih gendut daripada Mama, percayalah ayah termasuk dalam komunitas ISTI  (Ikatan Suami Takut Istri). Ayah yang selalu bekerja keras demi anak istri itu menyerahkan gajinya bulat-bulat buat Mama. Buktinya kalau aku minta apa-apa kepadanya, selalu bilang "Lha wong uangnya sudah tak kasih Mama semua."

Seperti semua orang di rumah ini, termasuk ayah yang kepala keluarga tidak pernah membantah jika Mama sudah bertitah. Hanya ada dua pasal aturan di rumah ini. Pasal satu isinya Mama selalu benar. Pasal dua isinya ingatlah pasal satu.

Meskipun begitu, Mama adalah orang yang paling berjasa di dunia ini. Bagi Mama keluarga adalah semesta baginya. Apapun akan dilakukannya demi kesehatan, keutuhan, kedamaian dan kesejahteraan keluarga dengan segenap jiwa dan raganya. Maka tak ada alasan untuk tidak menyayanginya, meskipun terkadang sifatnya begitu menjengkelkan.

"Riiinnn ..."

Suara mamaku itu. Fals, tidak ada merdu-merdunya.

"Ayok cepet makan, mama sudah buat sambel penyet tempe kesukaanmu. Cepetan! Mumpung nasinya masih anget."

Mamaku memang menjengkelkan, tahu saja jika aku sedang lapar.

I Love U Mama.

Leyeh-leyeh =  berbaring, bermalas-malasan

Merem melek = keadaan atengah tertidur

Ngambul = merajuk

.  Dan selalu di saat yang tepat.

Siang itu udara sangat panas, sambil menunggu adzan Dhuhur, aku leyeh-leyeh di depan televisi, ditemani kipas angin yang setia meniupkan angin sepoi-sepoi dan setoples krupuk bawang. Duh, nikmat mana yang bisa kau dustakan wahai manusia?

Tak disangka, tak dinyana, pas aku merem melek menikmati angin buatan, tiba-tiba ....

"Rin ... !"

Itu suara mamaku. Sungguh jauh dari kata merdu.

"Duh, percuma punya anak perawan, gak ngerti pekerjaan rumah, gak bisa bantun apa-apa. Masih pagi begini sudah tiduran. Saru!"

Ya, Mama tidakkah kau lihat lantai sudah kinclong, aku sudah menyapu dan mengepel. Meja dan pajangan pun sudah ku lap semua. Jangankan laba-laba, semut pun akan kepleset karenanya.

"Mama sudah jalan-jalan, sudah belanja, sudah nyiramin tanaman, kamu masih saja guling-guling di kasur." Mama melanjutkan omelannya.

Mau menjawab? Lupakan saja. Klarifikasi pun tak akan menolong. Percuma, bisa-bisa omelan Mama akan makin panjang kali lebar sampai luas dan keliling.

"Tuh lihat gelas dan piring belum dicuci, jemuran juga belum dikeluarkan. Kamu hp an terus. Kapan kamu itu dewasa? Kapan kamu akan ngerti?"

Duh, mengapa selalu ada pekerjaan baru saat Mama tiba. Padahal tadinya sudah selesai dan baik-baik saja. Tentang gelas dan piring kotor, sejak kapan barang-barang itu ada di sana. Jemuran? Lha siapa yang nyuci?

Mama, seperti punya indera ketujuh, selalu tahu kesalahan dan kekurangan anak-anaknya.

Pernah waktu itu, aku sedang menyapu, tanpa sengaja gagang sapu menyenggol gelas yang ada di jendela. Belum sempat kubersihkan, Mama muncul tiba-tiba.

"Riiiiinn! Kalau tak mau bantu Mama gak usah ngambul. Gak usah ngancurin barang-barang rumah. Kemarin piring, sekarang gelas, besok apa lagi. Mau makan pakai daun? " Mama berkata dengan suara keras, matanya melotot, sementara tangan kanannya memegang sothil.

Seingatku yang memecahkan piring kemarin itu, Mama. Bukan aku. Apa yang dikatakannya?

"Siapa yang naruh piring disini? Bukan tempat piring disini. Rin, ayo bersihkan, disapu lalu dipel sampai kesat. Dino, jangan lari-larian terus. Lantainya licin. Kalau jatuh, bisa hilang hidungmu. Ayah! Jangan habiskan kacangnya, masih ada tamu, mau dikasih apa? Mama capek mau goreng-goreng lagi. Ayah enak saja tinggal ngabisin."

Nah, kan sekeluarga kena semprot semuanya. Bukan hanya aku seorang, ayah dan adik yang tidak tahu apa-apa kena juga.  Ternyata yang menaruh piring disitu bukan orang lain, melainkan Mama.

Mamaku, layaknya emak-emak Indonesia pada umumnya, galaknya melebihi macan. Siapa yang berani menghadapinya?  Mending menghindar daripada terlibat masalah dengannya. Cari aman saja. Meski tindakannya sering tidak masuk akal, seperti sein kiri tapi belok kanan.

Bagaimana dengan ayahku? Meskipun badannya lebih besar dan lebih gendut daripada Mama, percayalah ayah termasuk dalam komunitas ISTI  (Ikatan Suami Takut Istri). Ayah yang selalu bekerja keras demi anak istri itu menyerahkan gajinya bulat-bulat buat Mama. Buktinya kalau aku minta apa-apa kepadanya, selalu bilang "Lha wong uangnya sudah tak kasih Mama semua."

Seperti semua orang di rumah ini, termasuk ayah yang kepala keluarga tidak pernah membantah jika Mama sudah bertitah. Hanya ada dua pasal aturan di rumah ini. Pasal satu isinya Mama selalu benar. Pasal dua isinya ingatlah pasal satu.

Meskipun begitu, Mama adalah orang yang paling berjasa di dunia ini. Bagi Mama keluarga adalah semesta baginya. Apapun akan dilakukannya demi kesehatan, keutuhan, kedamaian dan kesejahteraan keluarga dengan segenap jiwa dan raganya. Maka tak ada alasan untuk tidak menyayanginya, meskipun terkadang sifatnya begitu menjengkelkan.

"Riiinnn ..."

Suara mamaku itu. Fals, tidak ada merdu-merdunya.

"Ayok cepet makan, mama sudah buat sambel penyet tempe kesukaanmu. Cepetan! Mumpung nasinya masih anget."

Mamaku memang menjengkelkan, tahu saja jika aku sedang lapar.

I Love U Mama.

Leyeh-leyeh =  berbaring, bermalas-malasan

Merem melek = keadaan atengah tertidur

Ngambul = merajuk

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun