Mohon tunggu...
Nurifah Hariani
Nurifah Hariani Mohon Tunggu... Guru - Guru yang suka membaca dan senang berkhayal

Guru di sebuah sekolah swata di kota Malang, sedang belajar menulis untuk mengeluarkan isi kepala, uneg-uneg juga khayalan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Merayakan Kematian

1 November 2024   12:11 Diperbarui: 1 November 2024   12:46 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Rossa masih tampak terpukul atas kepergian mamanya tujuh hari yang lalu. Gadis sembilan belas tahun itu meminta tolong kepada Paramita, adiknya untuk mengambilkan baju ganti di lemari di dalam kamar mamanya. Ia merasa tak sanggup untuk masuk ke dalam kamar tempat mamanya berbaring selama sakit. Kamar itu menjadi saksi bagaimana ia merawat mamanya, sembilan bulan terakhir ini.

"Sedih boleh, menangis yo tidak dilarang, tapi yo wes to nduk, jangan lama-lama. Kasihan mamamu mbokbotke koyok ngunu (Kasihan mamamu, kamu tidak iklhas seperti itu)," ucap Sedahmira,  salah satu kakak mamanya.

"Iya, mbak nangise gak boleh lama-lama. Mama pernah bilang kepadaku, jangan nangis lama-lama, nanti kalo air matamu habis gak bisa diganti sama coca-cola," cetus Maura,   si bungsu yang badannya gemoy.

Rossa mengusap air matanya,  seyumnya tipis mengembang mendengar ucapan adiknya. Paramita buru-buru memberikan tissue kepada Rossa, ia ingat kakaknya itu barusan membantu Budhe Sona methiki cabe untuks elamatan nanti malam.

"Iyasih Buk Mira, tapi saya masih ingat mama terus.Kenapa cepat sekali mama pergi.Saya belum bisa membahagiakan mama.Pengin saya sih mama sehat sampai melihat saya wisuda sarjana."

"Kemarin, di hari pertama mama meninggal, pas Paramita nangis jerit-jerit,Rossa bilang apa?"

"Innalillahi wa innailaihi rojiun, sesungguhnya kita ini milik Allah dan akan kembali kepada Allah," jawab   Maura.

"Pinter Maura!." Sedahmira merangkul Maura.

"Mama itu miliknya Allah. Kemarin-kemarin itu Mama dititipin kepada kita, untuk merawat kalian, mengasuh kalian, mendidik kalian, menyayangi Rossa, Paramita dan Maura," lanjut Sedahmira.

"Mama  juga meluk Maura, membacakan buku dan puk puk Maura kalao mau tidur. Tapi mama juga menjewer Maura kalo banyak minta jajan."

Sedahmira beringsut duduk di antara Rossa dan Paramita, sedang Maura memilih berbaring sambil memeluk boneka singa.

"Nah, tugas mama sudah selesai.Rossa dan Paramita sudah bisa mandiri, sudah bisa mengurus diri sendiri, tidak sia-sia mama mendidik kalian selama ini.Saatnya mama pulang, kembali kepada yang menciptakan."

"Iyasih, tapi kok kami masih sedih, ya."

"Oala nduk.Siapa pun tidak ada yang merasa siapdi tinggalkan orang yang paling kita sayang.Tetapi siap tidak siapya harus siap karena yang namanya kematian pasti menghampiri kita.Seperti  kata Al Gazali bahwa satu-satunya yang  pasti dalam hidup ini Cuma kematian."

Hening sejenak.

"Seperti lagunya Derry Sulaeman. Dunia sementara, akhirat selama-lamanya.Orang kaya mati.Orang miskin mati.Raja-raja mati. Rakyat biasa mati."

"Malaikat pencabut nyawa, apa juga ikut mati?"Paramita menggenggam tangan Sedahmira.

"Izrail? Iyalah. Malaikat ini menjadi makhluk terakhir yang  mati kelak."

"Kalo begitu, Maura maunya mati nanti setelah hapal Al Qur'an."

"Mana bisa mati kok dipesen."

"Iya kata Ustadzah kalau sudah hapal AL Qur'an, Maura bisa ngasih mama mahkota di akhirat. Mama bisa jadi bidadari di surga. Tapi, Buk Mira, kalo mama jadi bidadari , mama bisa terbang? Asik dong, bisa kesini kesana gak usah pake grab."

Mereka tertawa mendengar celoteh Maura yang sebentar lagi masuk SD.

"Nah, begini 'kan enak gak nangis ae.Mama lo sedang berbahagia karena sudah kembali kepada sumber segala kasih sayang, sumber kebahagiaan. Harusnya kita ikut senang, ikut bahagia karena mati atau kembali kepada Allah itu artinya telah merdeka, terbebas dari belenggu dunia yang penuh penderitaan, fitnah-fitnah dan perkara-perkara yang carut marut gak jelas jluntrungane. Mamamu wes senang, wes bahagia, wes sembuh dari tumor yang menguasai otaknya. Kalian tahu sendiri bagaimana penderitaan mama 'kan. Mamamu yang cerdas, trengginas, mrantasi segala masalah sendirian jadi lumpuh, tidak berdaya, tidak bisa ngapa-ngapain. Seandainya hidup mama akan terus merasakan sakit. Kematian ini menyembuhkannya."

"Ketika ada anggota keluarga yang wafat, Rasulullah justru berucap "Alhamdulillah" baru disambung dengan kalimat "istirja"  karena beliau yakin bahwa kematian di satu titik adalah sesuatu yang patut disyukuri. Karena lantarankematian kita bisa segera bertemu Gusti Allah dan terlepas dari dunia fana yang hina dina ini."

"MaulanaJalaluddin Rumi." Sedahmira membuka catatannya. Sontak ketiga keponakannya mengambil sikap duduk sempurna. Mereka sangat paham bila Sedahmira sudah membuka catatan artinya dengarkan saja.

"Menurut Rumi, kematian bukanlah menjadi suatu hal yang mesti ditakuti. Cepat atau lambat, dalam siang atau pun malam, kematian akan menghampiri kita tanpa batas ruang dan waktu."

"Dalam syairnya, Rumi mengatakan, "Mengetahui bahwa Engkau yang mengambil kehidupan, kematian menjadi sangat manis. Selama aku bersama-Mu, kematian bahkan lebih manis daripada kehidupan itu sendiri."

"Kematian tidaklah mengerikan, justru kematian adalah kemanisan yang menggelora dalam ruang kalbu.Kematian adalah gerbang menuju kemerdekaan cinta yang sejati, abadi, karena berjumpa dengan Sang Kekasih (Allah SWT) adalah dambaan bagi segala hati yang dilanda kedahsyatan aroma rindu." Sedahmira menutup buku catatan yang sampulnya berwarna biru.

"Siapa yang tidak ingin bertemu dengan sang kekasih, sedang kekasihnya ini amat menyayanginya, sangat mencintainya dan telah sangat bermurah hati kepadanya?"

Air mata Rossa sudah menyusut. Paramita termangu dan pandangan Maura menererawang.Hati Sedahmira mencelos, perasaannya jadi aneh.Tentu saja ia menjadi sangat rindu kepada Ningtyas, adiknya. Ia bisa berbicara untuk menghibur keponakannya, meski hatinya belum bisa merayakan kematian seperti dalam syair Maulana Jalaluddin Rumi.

Dari ceramah Gus Bahadan syair Jalaluddin Rumi

Untuk adikku Yuli WahyuPanglipurningtyas yang telah berpulang pada Kamis, 24 Oktober 2024, pukul 02.58 WIB.

"Ya Allah, ampuni-lah, rahmati-lah, bebaskan-lah, dan lepaskan-lah dia. Dan, muliakan-lah tempat tinggalnya, luaskan-lah dia. Dan, muliakan-lah tempat tinggalnya, luaskan-lah jalan masuknya, cucilah dia dengan air yang jernih lagi sejuk, dan bersihkan-lah dia dari segala kesalahan bagaikan baju putih yang bersih dar ikotoran.

Dan ganti-lah rumahnya dengan rumah yang lebih baik daripada yang ditinggalkannya, dan keluarga yang lebih baik dari yang ditinggalkan, serta suami yang lebih baik dari yang ditinggalkan pula.Masukkanlah dia ke dalam surga dan lindungi-lah dari siksa kuburnya serta fitnahnya, dan dari siksa api neraka."

Malang, 01112024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun