Mohon tunggu...
Nur Hidayati
Nur Hidayati Mohon Tunggu... Guru - guru

Menulis untuk berbagi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Pak Ri

13 April 2020   08:42 Diperbarui: 13 April 2020   08:45 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari itu masih pagi. Masih pukul enam kurang lima belas menit .  Matahari  masih enggan menampakkan sinarnya. Jalanan di kampungku juga masih sepi. Maklumlah, rumahku terletak di sebuah perkampungan yang masih baru, di tengah pekarangan luas. Rumah-rumah masih jarang.

Begitu memasuki ujung gang, yang tampak hanyalah rimbun pohon bambu, karena tepat berada di depan deretan pohon bambu itu, ada jalan belokan, sehingga rumah-rumah seolah-olah tersembunyi di balik belokan itu.

Seperti biasanya, setiap pagi menjelang akhir minggu, laki-laki tua itu duduk-duduk di depan atau di sekitar rumah warga dengan memegang sabit kecil. 

Sebatang rokok murahan terselip di sela jemari tangan kirinya, sedang tangan kanannya menggosok-gosokkan  sabit ke batu wungkal yang dipegang dengan tangan kiri yang di sela jemarinya terselip rokok tadi. 

Dengan wajah serius dia mengasah sabitnya dengan teliti dan telaten. Meskipun demikian, tidak tergambar kesan  bengis sedikit pun di wajahnya.

Pak Ri. Begitu orang di sekitar kampungku memanggilnya. Dia tinggal di sebuah  desa, di lereng gunung, sekitar empat sampai lima kilo meter dari kampungku. Seorang tukang sabit rumput dengan upah antara empat puluh sampai lima puluh ribu. 

Dengan mengeluarkan uang sejumlah tersebut,  dijamin halaman rumah jadi bersih sampai waktu yang lumayan lama. Lantaran cara membersihkan rumputnya dicabut sampai ke akar-akarnya.

Suatu ketika, halaman rumahku sangat kotor. Rumput-rumput mulai meninggi di sana-sini. Suamiku yang biasanya rajin mencabutinya, kini tak sanggup untuk jongkok terlalu lama. 

Apalagi tensi darahnya yang rendah, sehingga kalau berdiri dari jongkok kepalanya terasa pusing dan berputar. Aku...? Terus terang saja aku tidak telaten mencabuti rumput. Lebih baik seharian di dapur memasak, daripada harus mencabuti rumput berlama-lama.

Pernah kuanjurkan pada suamiku untuk minta tolong Pak Ri. "Mas, minta tolong Pak Ri saja, ya...?" Saranku suatu hari. Tapi dia agak merasa keberatan, lantaran menurut kami upahnya terlalu tinggi. 

Bagi aku dan suamiku harga segitu terlalu tinggi hanya untuk pekerjaan  mencabuti rumput. Aku hanya seorang guru dengan pangkat rendah, sedangkan suamiku adalah seorang guru swasta di sebuah yayasan di dekat tempat kami tinggal. 

Selain itu, suamiku berharap kondisinya akan segera membaik dan dapat membersihkan rumput-rumput itu seperti biasanya. "Bu, coba tanyakan ke Bu Sri, berapa upah Pak Ri, kalau membersihkan rumput?" kata suamiku suatu hari, saat dia sudah benar-benar tidak sanggup membersihkan rumput sendiri. 

Padahal, sudah beberapa kali kuanjurkan. Ya, begitulah awal mula aku dan suamiku mengenal Pak Ri, sosok pendiam yang senantiasa menekuni pekerjaannya.

Kini, pekerjaan membersihkan rumput beralih ke Pak Ri. Namun, sekali minta tolong Pak Ri, jadi ketagihan. Setiap halaman kotor penuh rumput, kami selalu minta tolong Pak Ri untuk membersihkannya. 

Karena selain awet bersih, itung-itung menolongnya memberi pemasukan. Dengan demikian, secara tidak langsung juga membantu Pak Ri agar dapurnya tetap ngebul.

Suatu hari, rumput-rumput di halaman rumahku mulai meninggi, maklum sudah mulai musim hujan, sehingga pertumbuhan rumput sangat cepat. Setiap kali berangkat mengajar atau keluar rumah untuk keperluan lain, aku tak lupa selalu memperhatikan sekeliling, siapa tahu ada Pak Ri di sekitar tempat yang kulewati. 

Sebab biasanya, ada saja tetangga di sekitar rumahku yang minta bantuan Pak Ri  untuk membersihkan halaman bahkan pekarangan rumahnya. Namun, sudah beberapa hari, bahkan berminggu-minggu tak tampak ujung topi laken warna hitam yang biasa digunakan Pak Ri. 

Ketika kutanyakan ke beberapa tetangga yang biasa memanfaatkan jasanya, juga tidak ada yang tahu. "Ah...kemana ya, Pak Ri...?" pikirku sambil  menebak-nebak.

Sedang rumput di halaman rumahku semakin meninggi. Akhirnya dengan mencari sela waktu di tengah-tengah  kesibukannya, suamiku mengajak anak-anakku untuk mencabuti rumput sendiri.

***

Siang itu terasa sangat terik. Seluruh tubuhku terasa lungkrah, kepala berat karena harus berjalan kaki di bawah panasnya terik matahari siang sepulang dari mengajar, lantaran tidak menemukan ojek, transportasi yang biasa kugunakan setiap berangkat dan pulang ke dan dari jalan besar.

Aku berjalan dengan menundukkan kepala untuk menghindari terpaan panas sinar matahari di wajahku. Begitu sampai di tikungan sebelah rumahku, kuangkat wajahku, dan....deg...!! Laki-laki bertopi laken dengan sabit kecil di tangannya, duduk merunduk di bawah teras rumahku. "Pak Ri....!" teriakku dalam hati.

"Pak Ri...?" tak urung kuucapkan juga nama laki-laki itu setengah tidak percaya. Laki-laki itu pun mendongakkan kepalanya. Wajahnya datar, seperti tidak pernah terjadi apa-apa terhadap dirinya.

"Nggih, Buk...!" Jawabnya lirih.

"Masuk, Pak...!" ajakku, mempersilakan Pak Ri untuk masuk.

"Nggih, Buk, matur nuwun  Di sini saja...!"

Setelah kuletakkan tas dan barang belanjaanku, kupanggil suamiku untuk njagongi Pak Ri di teras rumahku. Dan ternyata memang terasa adem, lantaran semilir angin dari arah selatan seolah menjadi kipas raksasa yang mampu mendatangkan hawa sejuk di saat cuaca panas seperti sekarang ini.

Dengan rasa penasaran aku keluar ke teras rumah untuk ikut njagongi Pak Ri. Sambil kusuguhkan secangkir kopi dan kudapan seadanya.

"Ke mana saja selama ini, Pak Ri...? Saya mencari sampeyan, sampai celingukan ke mana-mana kok nggak kelihatan. Saya tanyakan ke tetangga juga nggak ada yang tahu." Pertanyaanku beruntun.

"Anu, Buk...,ternyata Pak Ri diajak sama anaknya yang tinggal di luar kota ..." Sahut suamiku yang rupanya sudah mengorek keterangan dari Pak Ri selama ngobrol tadi. Seperti biasanya, Pak Ri tidak banyak komentar, paling-paling hanya tersenyum plengeh.

"Waah...enak ya, Pak Ri...! Sampeyan bisa istirahat. Nggak perlu nyabit rumput. Sudah waktunya sampeyan istirahat, tinggal menikmati hasilnya." Sahutku, seolah tidak memberi kesempatan pada Pak Ri untuk menjawab atau berkomentar.

"Nggak enak, Bu...! Kalau ikut anak itu, apa-apa nggak boleh, apa-apa nggak boleh. Badan saya jadi pegel-pegel, nggak gerak sama sekali." Lagi-lagi Pak Ri menjawab dengan intonasi yang sangat tenang. 

"Apalagi, saya masih sanggup untuk mencari nafkah, meskipun penghasilan tidak besar, tapi cukuplah bagi saya yang hanya tinggal sendirian". Imbuhnya. "Selain itu, mereka sudah punya kewajiban sendiri-sendiri, kasihan kalau bebannya harus bertambah dengan kehadiran saya.

Itulah Pak Ri. Dengan segala kesederhanaannya, dia selalu berupaya untuk tidak merepotkan anak-anaknya. Meskipun saya dengar, kehidupan anak-anaknya sudah cukup mapan. 

Ada yang menjadi karyawan swasta, tetapi mempunyai kedudukan yang cukup penting di perusahaan tempatnya bekerja. Bahkan ada yang menjadi PNS, meskipun pangkatnya tidak terlalu tinggi.

Tapi Pak Ri tetaplah Pak Ri, yang lebih memilih hidup sendirian dengan mencari nafkah sendiri sebagai tukang sabit rumput dengan upah yang tidak seberapa. Itu pun jika ada yang menggunakan jasanya. 

Jika tidak ada, dia akan menggunakan uang simpanan sisa upah yang tidak terpakai saat banyak orang yang menyuruhnya untuk membersihkan rumput di sekitar rumahnya.

***

Setelah njagong di rumahku, Pak Ri menjalankan tugas seperti biasanya. Bahkan hampir setiap hari, saat aku berangkat mengajar, selalu kulihat Pak Ri berada di sekitar kampungku untuk membersihkan halaman atau pekarangan rumah tetanggaku secara bergantian. 

Sepertinya  orang-orang tidak mau melewatkan kesempatan. Mumpung ada Pak Ri, kata mereka. Aku juga tidak mau ketinggalan. Setelah orang-orang, antrean berikutnya adalah halaman rumahku.

Seperti biasanya, sebelum memulai pekerjaannya, kusediakan sepiring sarapan dan secangkir kopi panas untuk Pak Ri. Namun, tetap saja kutawarkan lebih dulu, khawatir dia sudah sarapan.

"Sedikit saja, Buk...! Jangan banyak-banyak, sak estu nggih...!" harapnya seperti khawatir kuambilkan terlalu banyak. Sambil sarapan, kuajak Pak Ri ngobrol ringan. 

Sambil ngobrol kuperhatikan dia seperti kurang bersemangat, dan tidak seperti biasanya, nasi yang tidak seberapa banyak itu ternyata masih tersisa. Tidak habis. 

Dengan rasa penasaran, kutanya Pak Ri. "Kenapa kok nggak habis, Pak Ri...? Nggak enak, ya,,,? Atau Pak Ri kurang enak badan...?" pertanyaanku memberondong.

"Nggak kok, Buk...! Hanya saja perut saya belum terasa lapar, jadi nggak habis. Ngapunten nggih, Buk...!" jawabnya seperti menyembunyikan sesuatu yang sebenarnya dirasakan.

"Ah...nggak apa-apa, Pak Ri. Yang penting sampeyan sehat." Sahutku..

Setelah bersih-bersih di halaman rumahku, besoknya aku tidak lagi melihat Pak Ri di sekitar kampungku. Rupanya aku mendapat antrean terakhir. Nyatanya, kulihat hampir semua halaman dan pekarangan rumah tetanggaku sudah bersih dan rapi. 

Tampak asri dan sehat. Dan biasanya, jika sudah begitu, agak lama baru aku akan melihat Pak Ri kembali bersih-bersih di kampungku. Paling sekitar satu atau dua minggu, karena dia akan berpindah membersihkan kampung sebelah yang juga berlangganan kepada Pak Ri.

 ***

Tiga minggu telah berlalu, setelah Pak Ri membersihkan halaman rumahku. Beberapa tetanggaku, terutama ibu-ibu, mulai mengharapkan kemunculan Pak Ri. Lantaran rumput di halaman dan pekarangan mereka mulai meninggi. Untungnya di halaman rumahku mendapat giliran terakhir, jadi belum seberapa tinggi. 

Seminggu, dua minggu, Ibu-ibu semakin berharap. Namun Pak Ri belum muncul juga. Aku teringat kejadian dan cerita Pak Ri bulan lalu. Ketika dia tidak muncul beberapa minggu, ternyata Pak Ri diajak ke rumah anaknya. 

Aku menjadi lebih tenang. Ketika ibu-ibu mulai membicarakan Pak Ri, aku ceritakan apa yang pernah kami obrolkan. Ibu-ibu mulai memakluminya. Maka, mereka pun mulai membersihkan lingkungan rumah masing-masing.

Beberapa minggu berselang, ibu-ibu mulai resah lagi, karena rumput-rumput yang mulai meninggi menjadikan lingkungan tidak nyaman. Sedangkan Pak Ri belum muncul-muncul juga. Rupanya, ibu-ibu sudah menjadi ketergantungan  terhadap jasa Pak Ri.

***

Beberapa minggu berselang, satu bulan, bahkan kini sudah satu bulan lebih Pak Ri tidak muncul. Ketika salah seorang ibu dari kampung sebelah, yang biasa berlangganan ke Pak Ri lewat di depan rumahku, kusempatkan bertanya.

"Bu Min, Panjenengan pernah lihat Pak Ri, nggak...? Sudah sekitar satu bulan lebih ibu-ibu menunggu kedatangannya. Rumput-rumput di sekitar rumah kami sudah tinggi-tinggi, dan Pak Ri belum muncul juga."

"Waah...sama, Bu. Warga kami juga menunggu Pak Ri, kok gak muncul-muncul. Justru saya lewat sini tadi, sambil mencari-cari Pak Ri. Siapa tahu terlihat  sedang bersih-bersih di sekitar sini....", jawab Bu Min.

"Ya sudah kalau begitu. Mangga, Bu. Terima kasih..."

"Mangga, Bu Min. Sami-sami....!" Jawabku membiarkan  Bu Min berlalu.

Tanda tanya besar semakin memenuhi kepalaku. Ke mana ya Pak Ri selama ini. Dan semakin banyak pertanyaan yang aku kaitkan dengan berbagai kemungkinan. Ah.... Kucoba menepis kemungkinan-kemungkinan terburuk yang muncul di benakku.

Lalu aku mencoba mencari tahu. Kulangkahkan kakiku menuju rumah Bu Mila. Biasanya ibu-ibu suka berkumpul di situ. Benar saja, di teras depan rumah ada Bu Ida, Bu Umi, dan Bu Mila sendiri. 

Lalu kuceritakan pertemuanku dengan Bu Min tadi, dan kusampaikan kemungkinan-kemungkinan terburuk  yang dialami Pak Ri. Akhirnya, kami sepakat untuk mendatangi tempat tinggal Pak Ri di desa atas.

Apa yang akan kami lakukan ini tidaklah berlebihan. Yang jelas, bukan sekedar masalah nantinya kami harus capek-capek membersihkan rumput sendiri. Apalagi berpikir egois, bahwa  kami akan sangat repot kalau tidak ada Pak Ri. 

Tapi ini masalah kemanusiaan. Pak Ri, bagi kami warga kampung, bahkan bagi warga kampung sebelah, sudah menyatu. Sudah seperti keluarga sendiri. Memang awalnya, kami hanya  membutuhkan jasanya. Tapi semakin lama, jalinan hubungan kami semakin dekat. Sudah seperti saudara.

***

Sesuai hari yang telah disepakati, kami pun berangkat ke desa, tempat  Pak Ri tinggal. Kami berempat berboncengan. Sekitar 20 menit perjalanan, aku dan ibu-ibu sampai di pintu masuk desa, tempat tinggal Pak Ri. 

Kami melaju terus, hingga hampir sampai di mulut gang rumah Pak Ri. Deg....! Hatiku berdesir ketika kulihat ada bendera kematian yang terpasang di tembok pagar rumah di ujung gang rumah Pak Ri. Mungkinkah...? Ah...! Cepat-cepat kutepis pikiran buruk tentang Pak Ri. 

Saat memasuki gang yang tidak seberapa panjang itu, tatapan mataku langsung tertuju ke sebuah rumah sederhana, yang terletak di pojok paling ujung. Banyak kursi berjajar tak beraturan di depannya. 

Tak ayal lagi, hal ini membuat dadaku terasa penuh, sesak, dan tanpa terasa mataku mulai basah. Pak Ri...? Mungkinkah Pak Ri yang meninggal? Kami pun bergegas turun tepat di depan rumah duka itu. Tampaknya masih baru kejadiannya. Kursi-kursi masih berjajar di depan rumah. 

Suasana tergambar seperti baru saja selesai acara pemakaman seseorang yang meninggal. Karena di sebuah pojok halaman terdapat keranda yang sudah kosong, dan tampak beberapa orang antre membasuh kakinya, seperti yang biasa dilakukakan orang-orang yang baru saja memakamkan jenazah.

Kami berempat pun mulai memasuki halaman rumah tersebut.

"Assalaamualaikum...!" Ucapku mendahului yang lain.

"Waalaikum salam...! Silakan masuk, Ibu-ibu....!" Jawab seorang ibu muda, kira-kira 40 tahunan.

Aku dan teman-temanku masih berdiam diri, tidak ada yang berani memulai pembicaraan. Kami lebih banyak mendengarkan cerita yang disampaikan ibu muda tadi, sambil menebak-nebak siapa sebenarnya yang meninggal. Sampai  akhirnya, pertanyaan di benak kami masing-masing terjawab oleh ucapan ibu muda, yang ternyata anak bungsu Pak Ri.

"Ibu-ibu, mohon dimaafkan segala kesalahan Bapak, ya...!"

Tak ayal lagi, meskipun kami sudah menduga-duga, kalimat itu membuat kami kaget juga. Namun, seperti sudah janjian, kami diam, seolah-olah sudah tahu. Beberapa saat kemudian, kami pun pamit pulang.

***

Sepanjang perjalanan pulang, ingatanku penuh dengan bayangan Pak Ri. Terutama saat hari terahkir ketemu dia. Seolah-olah perkataan-perkataan Pak Ri masih terngiang di telinga. 

Tentang kesederhanaannya, tentang kemandiriannya di usia yang sudah renta, tentang keengganannya merepotkan anak-anaknya. Begitu banyak hal-hal berharga yang telah dicontohkannya. Pak Ri yang sederhana, namun memiliki pribadi yang begitu terpuji.

"Selamat jalan, Pak Ri....! Semoga dilapangkan jalan, diampuni segala kesalahan, dan diterima segala amal baik, serta mendapatkan tempat yang layak di sisi-Nya....!" bisik batinku perlahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun