Itulah Pak Ri. Dengan segala kesederhanaannya, dia selalu berupaya untuk tidak merepotkan anak-anaknya. Meskipun saya dengar, kehidupan anak-anaknya sudah cukup mapan.Â
Ada yang menjadi karyawan swasta, tetapi mempunyai kedudukan yang cukup penting di perusahaan tempatnya bekerja. Bahkan ada yang menjadi PNS, meskipun pangkatnya tidak terlalu tinggi.
Tapi Pak Ri tetaplah Pak Ri, yang lebih memilih hidup sendirian dengan mencari nafkah sendiri sebagai tukang sabit rumput dengan upah yang tidak seberapa. Itu pun jika ada yang menggunakan jasanya.Â
Jika tidak ada, dia akan menggunakan uang simpanan sisa upah yang tidak terpakai saat banyak orang yang menyuruhnya untuk membersihkan rumput di sekitar rumahnya.
***
Setelah njagong di rumahku, Pak Ri menjalankan tugas seperti biasanya. Bahkan hampir setiap hari, saat aku berangkat mengajar, selalu kulihat Pak Ri berada di sekitar kampungku untuk membersihkan halaman atau pekarangan rumah tetanggaku secara bergantian.Â
Sepertinya  orang-orang tidak mau melewatkan kesempatan. Mumpung ada Pak Ri, kata mereka. Aku juga tidak mau ketinggalan. Setelah orang-orang, antrean berikutnya adalah halaman rumahku.
Seperti biasanya, sebelum memulai pekerjaannya, kusediakan sepiring sarapan dan secangkir kopi panas untuk Pak Ri. Namun, tetap saja kutawarkan lebih dulu, khawatir dia sudah sarapan.
"Sedikit saja, Buk...! Jangan banyak-banyak, sak estu nggih...!" harapnya seperti khawatir kuambilkan terlalu banyak. Sambil sarapan, kuajak Pak Ri ngobrol ringan.Â
Sambil ngobrol kuperhatikan dia seperti kurang bersemangat, dan tidak seperti biasanya, nasi yang tidak seberapa banyak itu ternyata masih tersisa. Tidak habis.Â
Dengan rasa penasaran, kutanya Pak Ri. "Kenapa kok nggak habis, Pak Ri...? Nggak enak, ya,,,? Atau Pak Ri kurang enak badan...?" pertanyaanku memberondong.