Pergilah aku meninggalkan kampung Mamak dan meneruskan perjalanan pulang. Jarak yang memisahkan kampung mamak dan rumahku memang sangat jauh. Dua hari dua malam aku harus menghabiskan waktu pulang. Rasa rindu membuncah ingin bertemu ibu. Ingin kusampaikan semua kehidupan yang sudah kulewati. Kupejamkan mata dengan berharap waktu cepat datang mempertemukanku dengan keluargaku.
Tak terasa ku menginjakkan kaki di rumahku. Kulihat cat rumah yang telah usang. Kaca rumah pecah karena tendangan bola, yang mungkin itu karena ulah adikku. Namun yang kulihat tak seperti apa yang kualami dulu. Pesantren ayah kini tertutup rapat, digembok tak berpenghuni.
“Apa yang terjadi dengan pesantren ini, apa yang terjadi dengan ibu?” aku berlari menghampiri ibu.
“Ibu!” teriakku
“Arief!” teriak ibu seraya memelukku dan menangis.
“Apa yang terjadi, Ibu?”
“Apa kau tak mendengar berita di TV, Nak?”
“Tidak,Ibu? Apakah yang terjadi dengan Ibu, dengan rumah, dan pesantren ayah, Bu?”
“Amang yang mengajar santri di sini dituduh terlibat teroris, Rif.”
“Bagaimana bisa amang dituduh seperti itu, tak bisa orang menuduh tanpa bukti.”
“Pesantren kita dianggap menyalahi ajaran, Rief.”