Mohon tunggu...
Nurhayani OktaviaAndri
Nurhayani OktaviaAndri Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa

saya gemar membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Profil dan Permasalahan Peternakan

8 Februari 2023   08:52 Diperbarui: 8 Februari 2023   08:55 2859
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dunia peternakan di Indonesia beberapa tahun terakhir mendapat banyak pengalaman baru dalam hubungannya dengan pasar dunia yang terbuka. Pada awal tahun 2001, terjadi perselisihan antara pemerintah dengan importir atas larangan impor daging sapi asal Irlandia yang sudah berada dalam kapal di Pelabuhan Tanjung Priok. Tidak lama kemudian, dilanjutkan dengan perselisihan antara pemerintah dengan para importir paha ayam dari Amerika Serikat, perselisihan dengan pengusaha pabrik pakan atas larangan impor 60 ribu ton jagung dari Argentina yang juga sudah berada di Tanjung Priok, serta perselisihan antara pemerintah daerah dengan para pengusaha dan pedagang hasil ternak atas penarikan beberapa retribusi. Pada akhir tahun 2001 terjadi perselisihan antara pemerintah pusat dengan para pengusaha feedlot berkenaan dengan PPN 10 persen terhadap impor 60.000 sapi bakalan yang ditahan bea cukai di Pelabuhan Tanjung Priok. Tahun 2001 adalah masa transisi yang berat bagi kedua belah pihak, baik pada pemerintah maupun swasta dalam rangka memasuki pasar bebas. Pemerintah Indonesia masih belum dapat mengeluarkan ramburambu larangan impor yang bersifat non tarif, atau setidaknya aturan-aturan tersebut belum dimasyarakatkan secara luas. Larangan impor tersebut dirasakan datang terlalu mendadak ketika barang-barang yang diimpor sudah memasuki pelabuhan, sehingga larangan ini dianggap merugikan para pengusaha. Para pengusaha mempunyai kesan bahwa jika pasar global itu benar-benar terbuka, pemerintah lebih banyak menyimpan rasa takut dibandingkan keberanian untuk menghadapinya. Tulisan ini bertujuan mengungkapkan potret dan permasalahan peternakan sebelum dan sesudah krisis ekonomi, khususnya kondisi peternakan dua tahun terakhir (2001-2002) dan mencoba mengambil kesimpulan dari permasalahan tersebut serta merumuskan kebijakan yang mungkin dapat dilaksanakan di masa datang. Review ini lebih difokuskan pada usaha pengembangan agribisnis peternakan domestik, sebelum benar-benar menghadapi pasar dunia terbuka tersebut. 

SITUASI PRODUKSI DAN PENGADAAN HASIL PETERNAKAN 

Secara umum permintaan akan produk peternakan bersifat elastis terhadap peningkatan pendapatan, yang berarti perubahan pendapatan dalam masyarakat akan membawa perubahan pada permintaan yang lebih besar. Perekonomian nasional yang semakin membaik membawa dampak terhadap peningkatan permintaan hasil ternak. Namun, apakah peningkatan permintaan hasil ternak tersebut akan berkorelasi positif dengan peningkatan produksi ternak, akan banyak ditentukan oleh faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dalam suatu sistem agribisnis peternakan, subsistem agroindustri dan pemasaran cenderung berpengaruh nyata dalam memenuhi perkembangan kebutuhan konsumen, sementara subsistem sarana produksi dan produksi peternakan harus mampu meningkatkan efisiensi usaha peternakan. Untuk menggambarkan perkembangan situasi agribisnis usaha peternakan, pembahasan akan difokuskan pada perbandingan antara periode "krisis moneter" (1997-1998) dengan periode "pasca krisis moneter" (1999-2002). Kebutuhan konsumsi daging, susu, dan telur secara nasional, dipenuhi melalui produksi dalam negeri dan impor. Pemulihan ekonomi akibat krisis ekonomi baru mulai terlihat semenjak tahun 2000 di mana konsumsi hasil ternak meningkat. Seperti diperlihatkan data dari Buku Statistik Peternakan (2001) untuk konsumsi daging, pada tahun 1996 konsumsi daging sebesar 1661,2 ribu ton, menurun menjadi 1.242,6 ribu ton pada tahun 1998, mengalami kenaikan menjadi 1.517,5 ribu ton pada tahun 2000. Guna memenuhi konsumsi daging tersebut, volume impor daging antara periode krisis moneter (1997- 1998) dan pasca krisis (1999-2000) ternyata meningkat sebesar 90,1 persen. Volume impor sapi bakalan dan daging sapi meningkat sebesar 18,1 dan 16,8 persen. Peningkatan impor sapi bakalan dan daging sapi lebih banyak didorong oleh insentif keuntungan yang lebih menarik dibandingkan keuntungan yang diperoleh pedagang dari pengadaan sapi bakalan dalam negeri yang memang sulit didapatkan. Peningkatan impor ternak dan hasil ternak tentu akan menguras devisa negara, namun keadaan ini terpaksa harus diterima karena perkembangan populasi ternak domestik yang rendah sehingga kemungkinan terjadi pengurasan. Apabila diasumsikan karkas (daging tulang) satu ekor sapi sebesar 145 kg, maka pada periode krisis telah dipotong sekitar 2.403.448 ekor ternak per tahun. Berdasarkan estimasi tersebut, jumlah sapi yang dipotong sebanyak 20,1 persen dari populasi. Suatu angka yang cukup besar untuk mendorong pengurasan ternak sapi. Impor daging unggas pasca krisis meningkat sangat tajam sebesar 1208 persen Dihubungkan dengan produksi daging unggas dalam negeri, impor daging unggas sebesar 9043,0 ribu ton untuk tahun 1999-2000 hanya menurunkan produksi dalam negeri sebesar 5 persen. Jika angka ini dikaitkan dengan pertumbuhan produksi broiler yang tinggi, maka dapat dikatakan bahwa untuk memenuhi kebutuhan protein hewani, konsumen banyak yang memilih daging unggas karena relatif lebih murah dibanding daging sapi. Peningkatan ekspor daging unggas sebesar 18,4 persen, menunjukkan bahwa masih ada peluang nilai tambah dari usaha peternakan unggas. Ekspor daging unggas, walaupun impor cukup tinggi, menunjukkan bahwa masih ada peluang nilai tambah produk (kemungkinan besar produk olahan). Setelah lewat masa krisis, volume impor daging babi meningkat sebesar 169,6 persen. Walaupun demikian, bila dihubungkan dengan jumlah fisik daging yang diimpor dengan yang di ekspor, daging yang di ekspor pada periode yang sama 112 - 249 persen lebih tinggi dibanding impor. Volume ekspor daging babi pada periode krisis ekonomi, meningkat sangat tajam. Peningkatan produksi daging babi dalam negeri hanya sebesar 6,25 persen. Volume ekspor (daging babi dan babi bibit) yang tinggi, menunjukkan bahwa usaha ternak babi prospektif untuk dikembangkan. Oleh karena ekspor suatu komoditas terkait dengan persyaratan mutu yang telah ditetapkan, maka usaha ternak babi yang dapat berkembang hanyalah pada tipologi usaha industri peternakan. Dampak peningkatan ekspor babi kurang nyata terhadap peningkatan usaha peternakan rakyat. Apabila karkas satu ekor babi yang dipotong sebesar 75 kg, maka pada tahun yang sama telah dipotong babi sekitar 1,9 juta ekor (23-24% dari populasi). Volume pemotongan yang tinggi dapat berdampak negatif terhadap perkembangan populasi ternak. Populasi babi yang pada periode krisis moneter sekitar delapan juta ekor, telah turun menjadi sekitar lima juta ekor. Kebutuhan daging kambing tidak dipengaruhi oleh situasi perekonomian nasional dan internasional. Kebutuhan impor daging kambing sekitar 510 - 540 ton per tahun telah memberikan kontribusi satu persen terhadap konsumsi daging kambing nasional. Apabila satu ekor kambing dewasa menghasilkan karkas sebanyak 14 kg, maka dalam satu tahun perlu sekitar 3,6 juta ekor atau sekitar 30 persen dari total populasi kambing. Pemulihan ekonomi akibat krisis moneter berdampak positif terhadap peningkatan kebutuhan susu. Penurunan konsumsi susu sekitar 20 persen yang terjadi pada tahun 1997-1998, telah meningkat menjadi 1184,75 ribu ton pada tahun 1999-2000 dan terus meningkat setelah perekonomian mulai membaik. Namun demikian peningkatan konsumsi susu tersebut sebagian besar dipenuhi dari impor. Peningkatan impor susu sebesar 117,4 persen, berpengaruh terhadap produksi susu nasional. Proporsi impor susu terhadap konsumsi relatif masih tinggi, yaitu sebesar 66 persen. Dari populasi sapi perah sekitar 350 ribu ekor, apabila diasumsikan populasi sapi betina dewasa sekitar 58 persen atau sekitar 200.000 ekor, untuk memenuhi produksi susu tersebut, produktivitas sapi relatif masih sangat rendah. Kenyataan menunjukkan bahwa konsumsi susu segar sangat kecil dibanding dengan konsumsi susu bubuk/kaleng. Diantara kebutuhan protein hewani, konsumsi telur relatif paling menyebar di seluruh wilayah. Kebutuhan telur tidak hanya untuk konsumsi segar namun sebagian besar untuk bahan campuran industri produk pangan olahan. Pada tahun-tahun krisis moneter produksi telur dalam negeri menurun sekitar sembilan persen dibanding setelah pemulihan krisis moneter (1999-2000) yakni sekitar 636,45 ribu ton/tahun. Untuk memenuhi kon sumsi telur dalam negeri tersebut, hampir dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri. Impor telur selama tahun 1997-1998 sekitar 121,6 ribu butir/th, meningkat menjadi 34.935,1 ribu butir/th pada tahun 1999-2000. Apabila diasumsikan rata-rata satu kilogram telur terdiri 16 butir telur, maka volume ekspor pada tahun 1997-1998 sebanyak 7.600 kg (0,013% dari produksi telur nasional) dan pada tahun 1999-2000 sebanyak 2.183.443,75 kg (0,34% dari produksi telur nasional). Produksi telur yang rendah pada masa krisis moneter berkaitan dengan harga pakan ternak yang tinggi. Bahan pakan ayam petelur sebagian berasal dari impor, sehingga nilai rupiah terhadap dollar yang sangat rendah pada periode krisis moneter, mengakibatkan banyak usaha peternakan ayam petelur yang gulung tikar. 

SITUASI KERAGAAN DAN SEBARAN POPULASI TERNAK 

Tidak seperti pada usaha ternak sapi potong yang dapat beradaptasi pada lingkungan yang cukup beragam, usaha ternak sapi perah memerlukan kondisi lingkungan yang lebih terbatas (relatif sejuk pada dataran sedang-tinggi). Selain itu, pola usaha ternak sapi perah relatif lebih intensif dibanding usaha ternak sapi potong. Oleh karena itu penyebaran populasi sapi perah relatif lebih terbatas dibanding dengan sapi potong. Berdasarkan analisis keterkaitan antara populasi dengan kemampuan produksi susu di enam provinsi yang terpadat populasi sapi perah (Gambar 1), nampak bahwa produksi susu tertinggi terdapat di Provinsi Jawa Timur, dan berturutturut menurun di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI), dan terendah di Provinsi Sumatera Utara. Namun demikian berdasarkan populasi sapi perah, dari populasi yang tertinggi berturut-turut di Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Utara, DIY, dan terendah di DKI. Kalau diasumsikan bahwa populasi sapi betina dewasa sebanyak 55,4 persen (Statistik Peternakan, 2001) dan lama laktasi selama 305 hari, maka produktivitas per ekor

sapi dari yang terbesar adalah di Provinsi Jawa Barat (12,8 kg/ekor/h), DIY (10,01 kg/ekor/h), Jawa Timur (9,1 kg/ekor/h), DKI (7,8 kg/ekor/h), Sumatera Utara (4,2 kg/ ekor/h), dan terendah di Jawa tengah (4,1 kg/ekor/h). Dari jumlah total produksi susu nasional tahun 2000, ternyata dipasok dari enam wilayah sentra produksi sebesar 99,5 persen. Keadaan ini menunjukkan bahwa konsumen susu segar adalah penduduk di daerah perkotaan. Pada tahun yang sama, menunjukkan bahwa konsumsi susu di Indonesia adalah 0,57 g/kap/h (Statistik Peternakan, 2001). Berdasarkan sebaran data populasi sapi potong di Indonesia tahun 2000 (Statistik Peternakan, 2001), nampak bahwa wilayah sentra sapi potong dari yang terbanyak adalah di Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Telatan, Aceh, Bali. Dihubungkan dengan kepadatan wilayah maka wilayah dari yang terpadat adalah di Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Sulawesi Selatan, dan Aceh. Suatu fenomena menarik untuk dikaji, bahwa populasi ternak berhubungan pula dengan populasi penduduk. Keadaan ini menunjukkan bahwa skala usaha sapi potong relatif kecil. Populasi sapi potong di lima provinsi padat ternak menyumbang 59,4 persen. Sebagian besar pola usaha ternak sapi potong adalah pola pembibitan/pembesaran anak. Hanya sebagian kecil peternak yang khusus mengelola usahanya sebagai usaha penggemukan. Pada pola usaha pembibitan tersebut secara ekonomis kurang menguntungkan. Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa pola usaha demikian masih tetap berkembang. Berdasarkan informasi bahwa tatalaksana usaha ternak pola pembibitan akan kurang efisien pada usaha intensif. 

Upaya keberlanjutan usaha ternak sapi potong ternyata dapat dikaitkan dengan wilayah persawahan (padi) intensif. Jerami padi yang cukup berlimpah (yang selama ini dibakar) sebenarnya dapat dimanfaatkan sebagai pakan sapi potong. Bahkan dengan introduksi teknologi pengkayaan nutrisi jerami padi yang ramah lingkungan (melalui teknologi fermentasi dengan menambahkan mikroba pemecah sellulosa atau amoniasi) dapat meningkatkan nilai gizi pakan. Berdasarkan estimasi bahwa dari luasan lahan sawah yang ditanami padi per musim tanam, produksi jerami padi (relatif sama dengan produksi padi) yang dihasilkan dapat mencukupi satu ekor sapi selama setahun. Usaha ternak sapi potong dapat dikaitkan sebagai penghasil pupuk organik (kompos) yang sangat diperlukan untuk usahatani ramah lingkungan. Konsep Crop Livestock System (CLS) yang diimplementasikan oleh Pusat Penelitian Peternakan dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) dapat dikembangkan untuk meningkatkan populasi ternak sapi. Sebagai penghasil daging, populasi kerbau di Indonesia relatif rendah. Populasi kerbau sekitar 21,85 persen dibanding populasi sapi potong. Dari lima wilayah sentra kerbau, dari yang tertinggi populasinya berturut-turut adalah di Provinsi Aceh, Jawa Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Barat. Berdasarkan sebaran populasi kerbau, nampak bahwa populasi kerbau relatif banyak di wilayah Barat Indonesia. Hanya di wilayah Sulawesi Selatan populasi kerbau relatif cukup banyak. Sifat fisiologik kerbau yang relatif sedikit kelenjar keringatnya dibanding sapi dan kulitnya relatif tebal, kurang cocok dikembangkan di daerah panas dan lembab. Untuk wilayah yang panas, kerbau akan sering berkubang. Konsep CLS juga cocok dikembangkan untuk usaha ternak kerbau, karena kemampuan yang lebih baik untuk mencerna serat kasar. Permasalahan yang sering dihadapi peternak kerbau adalah panjangnya selang beranak. Keadaan ini berhubungan dengan tingginya kejadian berahi tenang (silent heat) dan kurangnya ketersediaan pejantan. Peningkatan produktivitas kerbau melalui perbaikan mutu genetik dapat dilaksanakan melalui intensifikasi program inseminasi buatan (IB). Selain sebagai penghasil daging, ternyata dari spesies kerbau terdapat bangsa kerbau penghasil susu (kerbau Murrah). Potensi kerbau sebagai penghasil susu telah dikembangkan peternak di Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Susu kerbau olahan di Sumatera Barat dan Sumatera Utara dikenal dengan Dadih. Sedang di Sumatera Utara, susu kerbau banyak dikonsumsi oleh penduduk etnis India. Program persilangan antara kerbau lumpur (swamp buffalo) dengan kerbau Murrah (river buffalo) dapat pula dijadikan alternatif untuk menjadikan kerbau dwiguna. Tingginya populasi kerbau di Sulawesi Selatan banyak berkaitan dengan budaya masyarakat yang memotong kerbau untuk acara adat. Di Sulawesi Selatan didapati salah satu galur kerbau yang harganya sangat tinggi yang dikenal dengan kerbau belang (tedong bonga). Konsentrasi populasi ternak babi di Indonesia terutama di wilayah yang mayoritas penduduknya adalah non muslim. Urutan wilayah dengan populasi babi tertinggi berturut-turut adalah di Provinsi Bali, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT), Irian Jaya (Papua), dan Sulawesi Selatan. Populasi babi di lima wilayah sentra produksi (3.478.123 ekor) berkontribusi sebesar 64,93 persen terhadap populasi nasional. Pada umumnya bangsa babi yang dipelihara peternak adalah babi lokal yang bobot badannya relatif kecil dengan pola usaha yang bersifat tradisional. Pada pola yang demikian sebenarnya rawan terhadap serangan penyakit. Seperti diketahui bahwa beberapa tahun lalu telah terjadi wabah penyakit kolera (hog cholera) yang secara nyata membunuh babi dalam jumlah yang sangat besar. Kebijakan negara Singapura yang melarang usaha ternak babi (yang juga masyarakatnya sebagai konsumen daging babi), sebenarnya merupakan peluang untuk pengembangan usaha ternak babi. Namun demikian karena persyaratan mutu daging yang dikehendaki relatif tinggi, hanyalah industri peternakan yang menggunakan bangsa babi impor yang dapat memasok kebutuhan pasar tersebut, misalnya industri peternakan di Pulau Bulan dan sekitarnya di Provinsi Riau Kepulauan. Konsep integrasi usahatani hortikultura (sayuran) dengan usaha ternak babi di Sumatera Utara merupakan konsep yang cukup baik untuk pengembangan usaha. Populasi kambing hampir menyebar di seluruh wilayah Indonesia. Berdasarkan sebaran padat kambing di lima wilayah terpadat, Provinsi Jawa Tengah merupakan wilayah terpadat populasi kambing dan berturut-turut menurun di Provinsi Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Utara, dan Lampung. Kontribusi populasi di lima wilayah padat kambing sebesar 65,9 persen dari populasi kambing nasional. Dari lima wilayah padat kambing tersebut sebagian besar populasi kambing terdapat di pulau Jawa. Bangsa kambing yang dipelihara peternak adalah kambing Kacang dan Peranakan Etawah (PE). Kenyataan lapang menunjukkan bahwa pola usaha ternak adalah pola pembibitan/pembesaran anak dan dipelihara sebagai usaha sambilan. Karena sifatnya yang sambilan tersebut, sumbangan pendapatan usaha ternak relatif masih rendah (10 -- 17 persen) terhadap total pendapatan usahatani. Di salah satu wilayah sentra produksi kambing PE bibit di Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah; usaha ternak kambing relatif memberikan sumbangan pendapatan yang cukup besar. Hasil pengamatan Subandriyo et al. (1995) menunjukkan bahwa morphologik kambing PE bibit tersebut relatif sama dengan morfologik kambing Etawah (Jamnapari) yang di impor dari India pada jaman pendudukan Belanda yakni sekitar tahun 1927--1932 (Merkens dan Syarif, 1932 dalam Utojo, 1973). Pola perbaikan mutu genetik dengan sistem pembibitan inti bersifat terbuka (open nucleus breeding scheme) dan cukup rasional untuk dikembangkan. Salah satu potensi kambing PE adalah kemampuannya untuk menghasilkan susu, yaitu berkisar antara 0,8 -- 1,5 liter/hari dengan masa laktasi sekitar lima bulan. Potensi ini ternyata belum berkembang pada petani karena faktor ketidakbiasaannya untuk mengkonsumsi susu kambing. Terdapat kecenderungan bahwa di kota-kota besar susu kambing dibutuhkan untuk kecantikan (mandi susu, sabun susu) dan sebagai obat (ashma dan obat batuk). Namun, nilai jual susu kambing relatif masih tinggi, yaitu sekitar Rp. 10.000 per liter. Upaya pemanfaatan susu kambing dapat pula dikaitkan dengan upaya diversifikasi pangan dan peningkatan gizi masyarakat. Populasi domba sekitar setengah dari total populasi kambing. Berdasarkan sebaran padat populasi domba di lima wilayah, Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi terpadat sebesar 45,7 persen dan berturut-turut menurun di Provinsi Jawa Tengah 26,7 persen, Jawa Timur sebesar 18,1 persen, Sumatera Utara sebesar 2,5 persen dan Aceh sebesar 1,6 persen. Dari gambaran tersebut nampak bahwa populasi domba terkonsentrasi di Pulau Jawa. Sama halnya dengan populasi sapi potong, konsentrasi domba berkorelasi positif dengan populasi penduduk. Bangsa domba yang dipelihara penduduk adalah domba ekor tipis dan domba ekor gemuk. Produksi daging unggas nasional tahun 2000 dipasok dari daging ayam broiler sebesar 62,9 persen atau sekitar 35,6 persen dari produksi daging. Dari populasi ayam broiler di Indonesia sebesar 530.874.057 ekor, konsentrasi populasi berturut-turut di Provinsi Jawa Barat 37 persen, Jawa Timur 16,59 persen, Jawa Tengah 13,5 persen dan Sumatera Utara sebesar 5,1 persen. Usaha ternak ayam ras pedaging merupakan usaha ternak yang sangat intensif. Populasi ayam ras pedaging yang tinggi di Pulau Jawa berhubungan dengan ketersediaan pasar (padat penduduk), ketersediaan modal, lahan, dan keterampilan. Pola kemitraan dengan industri pembibitan ayam broiler dan perusahaan pakan ternak sangat menentukan keberhasilan usaha. Namun demikian usaha ternak ayam ras sangat rentan terhadap gejolak harga bibit dan pakan ternak. Ketergantungan terhadap faktor eksternal ini cukup membatasi perkembangan usaha ternak ayam ras. Berdasarkan pengelompokan populasi dan produksi telur konsumsi di lima provinsi terbesar, nampak bahwa populasi ayam petelur dari yang tertinggi adalah di Provinsi Sumatera Utara, dan berturut-turut menurun di Provinsi Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan terendah di Provinsi Sulawesi Selatan. Namun demikian berdasarkan kemampuan produksi telur, dari yang tertinggi berturut-turut adalah di Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan. Produksi telur di lima provinsi terbesar tersebut, ternyata menyumbang 77,26 persen dari produksi telur nasional.

PERMASALAHAN PETERNAKAN 

Perdagangan Internasional 

Indonesia yang tercatat sebagai negara konsumen hasil ternak dunia yang terus tumbuh menghadapi beberapa permasalahan, yaitu : impor produk peternakan itu mempengaruhi produksi dalam negeri, Indonesia memasukan produk peternakan yang tidak halal, isu tarif dan non tarif, dan isu penyebaran penyakit. Impor produk peternakan yang menjadi masalah tahun 2001 adalah impor paha ayam dari Amerika Serikat, daging sapi dari Irlandia, Jagung dari Argentina dan impor kulit dari negara Eropah. Menurut aturan perdagangan bebas, maka importir dapat memasukan produk tersebut, namun hal itu tidak dapat dilakukan karena penerbitan Surat Izin Rekomendasi. Produk peternakan yang tidak mendapat Surat Rekoemndasi Impor (SRI) tidak akan boleh masuk ke Indonesia. SRI tersebut sudah dicabut sehubungan dengan UU No. 7 tahun 1994 tentang perdagangan bebas namun SRI ternyata telah digunakan untuk menahan impor paha ayam, daging, susu, kulit ternak dan jagung. SRI yang terbit tahun 2001 untuk menghambat impor mengandung tiga alasan yakni pertimbangan pencegahan dan menghambat penyebaran penyakit PMK, aspek kehalalan, dan menyangkut masalah perlindungan usaha rakyat. Rekomendasi pembatasan impor paha bawah ayam tentu saja dipertimbangkan dari ketidakadilan dalam perdagangan bebas. Karena daging paha bawah ayam merupakan produk buangan di Amreika Serikat, yang tentu saja harganya sudah diperhitungkan dalam produk dada ayam yang dipasarkan di sana, maka harga paha ayam tersebut sangat murah. Maka tidak adil jika produk ini masuk ke dalam negeri dan menghancurkan perusahaan peternakan domestik yang menjual ayam secara utuh. Selain itu, juga diragukan status kehalalan produk paha ayam tersebut. Sehingga dapat disimpulkan kebijaksanaan pembatasan impor paha ayam secara umum tidak akan memberikan dampak negatif baik pada konsumen maupun pada produsen/ peternak. Dampak yang mungkin terjadi adalah pada perjanjian bilateral antara Indonesia dan Amerika Serikat, misalnya jika Amerika Serikat melakukan pembalasan dengan membatasi impor tekstil dari Indonesia dan sebagainya. Selain kemungkinan penolakan SRI oleh pihak Amerika Serikat maka di dalam negeri juga bermasalah karena penerbitan SRI oleh Dirjen Peternakan dianggap oleh para pengusaha sebagai tindakan yang tidak mempunyai dasar hukum. Ini merupakan salah satu kebijakan sebagai akibat dugaan pengaruh buruk terhadap pasar global pada produksi dalam negeri. Untuk menghindarkan hal ini maka SRI harus mempunyai kekuatan hukum dan diakui dalam perdagangan bebas dunia, sehingga tidak dianggap sebagai keputusan yang sepihak. Berikut disampaikan pemikiran tetang kehalalan dan penyakit PMK. 

Masalah Kehalalan 

Masalah kehalalan sebagai salah satu rekomendasi pembatasan impor merupakan senjata yang cukup ampuh bagi pemerintah saat ini untuk melindungi usaha peternakan dalam negeri. Namun sampai kapankah Indonesia bisa bertahan dengan alasan tersebut? Jika status kehalalan sudah jelas, dan sudah dijamin oleh negara ekportir, apakah impor ayam dan paha ayam dapat dilakukan kembali? Saat ini impor ayam hanya khusus untuk kebutuhan bahan baku bagi industri pengusaha daging ayam dan tidak untuk dipasarkan di pasar tradisional. Hal ini memang pernah terjadi dengan Australia, dan kini Australia telah menjamin kehalalan daging yang dimasukan ke Indonesia, sehingga tidak ada alasan pemerintah untuk menolak impor daging tersebut.

Masalah Penyakit PMK 

Pemerintah pada tahun 2001 melalui Surat Edaran Menteri Pertanian: TN510-2001 dengan pertimbangan pengamanan penyebaran PMK dalam negeri telah melarang impor hewan dan hasil hewan, bahan baku pakan dan peralatan mesin peternakan bekas dari negara-negara Uni Eropa dan negara-negara Amerika Selatan. Komoditas umum yang terkena peraturan ini adalah ternak dan produk dari sapi, babi, ayam, produk susu olahan dan sebagainya. Larangan impor ini bisa bersifat sementara tergantung pada pengumuman badan International Animal Health: Code Office International des Epizooties (OIE) yang menyatakan apakah suatu negara bebas atau telah dapat menggendalikan PMK. Secara tidak langsung larangan impor ini memberikan keuntungan bagi peternak dalam negeri untuk bisa menutupi kebutuhan impor tersebut. Namun peluang ini telah dimanfaatkan oleh Australia dan New Zealand. Untuk kesekian kali, peternak dan pengusaha dalam negeri tidak memanfaatkan momentum peluang yang tersedia. Dampak negatif dari larangan ini adalah penurunan produksi pakan oleh pabrik pakar yang sudah terbiasa mengimpor bahan baku dari negara-negara Uni Eropa dan Amerika Selatan. Kasus yang paling jelas tahun 2001 adalah larangan masuknya 60.000 ton jagung dari Argentina. Impor ini telah berulangkali berlangsung tanpa larangan, oleh karena itu para pengimpor melakukan protes kepada pemerintah. Tetapi pemerintah, sebagaimana diumumkan oleh Menteri Pertanian Bungaran Saragih, tidak mau mengambil resiko sekecil apa pun. Pertanyaan yang muncul adalah, jika jagung impor tersebut dapat dideteksi bebas PMK, apakah larangan impor itu tetap berlaku? Yang pasti bahwa larangan impor tersebut hanya sebatas mencegah penularan penyakit PMK yang untuk Indonesia telah dinyatakan bebas PMK. Bagi pabrik pakan yang tidak melakukan impor bahan baku dari kedua kelompok negara terlarang tersebut, tentu saja mengambil keuntungan dalam persaingan karena mereka dapat mengisi kekosongan produksi pakan pabrik yang terkena larangan. 

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ditetapkan oleh pemerintah melalui PP 12, tahun 2001. PPN khusus untuk peternakan pernah dibebaskan oleh Presiden Abdulrachman Wahid, tetapi kemudian diperlakukan kembali. Alasan pembebasan itu adalah bahwa PPN itu bisa berlaku bertingkat. Misalnya jagung dan bahan baku lainnya yang sudah kena PPN, ketika dikonsumsi ternak untuk menjadi daging maka daging tersebut terkena PPN lagi. Masalah penolakan PPN telah mencuat sejak diterbitkan bulan Maret dan terus berlangsung hingga saat ini. Kasus terakhir adalah pembayaran PPN 10 persen terhadap 40 ribu ekor sapi bakalan yang ditahan oleh bea dan cukai. Para pengusaha enggan membayar pajak tersebut karena pertimbangan membantu pemerintah dalam menyediakan daging untuk masa lebaran dan kedua impor itu dilakukan sebelum PPN itu diterbitkan. Tetapi pemerintah akan tetap melaksanakan PPN sebesar 10 persen tersebut karena impor sapi bakalan hanya untuk konsumsi orang kaya, sedangkan di daerah produsen daerah harga daging 50 persen dari harga daging di Jakarta. Jadi pengenaan PPN 10 persen tersebut hanya mempengaruhi masyarakat kelas atas di Jakarta.

Penurunan Populasi di Wilayah Produksi 

Secara nasional populasi sapi potong dari tahun 1994 -2002 menurun sebesar 3,1 persen per tahun (data tahun 2001 dan 2002 adalah data proyeksi). Penurunan populasi ini lebih merisaukan karena terjadi pada lima wilayah sentra produksi yakni NTB, NTT, Bali, Sulawesi dan Lampung masing-masing 8,3 persen, 4,7 persen, 0,1 persen, 3,4 persen dan 4,8 persen per tahun. Hadi et al. (2002) melaporkan keadaan penurunan populasi ternak pada tahun 2000 yang cukup memprihatinkan tersebut. Penurunan populasi ini akan terus berlanjut pada tahun 2003. Jumlah total sapi potong di kelima wilayah ini untuk tahun 2002 diperkirakan sebesar 2,45 juta ekor atau sekitar 20 persen dari populasi nasional. Indonesia akan sulit menggantungkan diri pada ke lima provinsi tersebut untuk masa mendatang, sedangkan untuk mengharapkan dari Jawa Timur sebagai provinsi paling banyak memiliki sapi potong tidak bisa diandalkan karena ternak potong di wilayah ini lebih banyak digunakan untuk tujuan usaha tani. Pemerintah daerah telah melaksanakan berbagai program untuk meningkatkan populasi ternak, tetapi program itu masih bersifat tradisonal baik bentuk dan caranya. Usaha-usaha ini sudah dilaksanakan selama 30 tahun dan hasilnya malah populasi menurun, produktivitas menurun dan peningkatan pemotongan sapi betina. Disarankan pada pemerintah untuk merubah strategi peningkatan populasi, misalnya dengan membangun peternakan skala besar. Melalui farm tersebut pemerintah kemudian melaksanakan IB, sedangkan untuk kegiatan subsistem usaha ternak-ternak tersebut dapat disebarkan kepada petani dengan cara tukar menukar. Sapi-sapi petani yang masuk dalam camp segera ditingkatkan mutunya, terutama produktivitas daging. Namun dari semua penyelesaian di atas, simpul yang penting dalam pengembangan produksi dan populasi adalah pengadaan bibit ternak sapi (Soehadji, 2000). 

Pajak dan Retribusi Pemerintah Daerah (Otonomisasi) 

Tahun 2001 adalah tahun kedua penerapan otonomi daerah pada tingkat provinsi dan kabupaten. Proses otonomi ini masih dianggap kacau dan menimbulkan banyak masalah antara lain ada kecenderungan pemerintah daerah untuk menjadi raja di daerah sendiri dengan memfokuskan pengumpulan PAD melalui keringat rakyat. Pengertian otonomi sudah disalahkan baik secara konsep maupun praktek. Salah satu contoh adalah penarikan retribusi yang tidak sah dengan berbagai dalih. Sebagaimana telah diatur dalam UU 18/1997 pasal 18 s/d 28 (Tunggal, 1999), objek retribusi adalah berbagai jenis jasa tertentu yang disediakan oleh Pemerintah Daerah. Tidak semua jasa yang diberikan oleh pemerintah daerah dapat dipungut retribusi, namun hanya jenis jasa tertentu yang menurut pertimbangan sosial ekonomi layak untuk dijadikan sebagai objek retribusi. Jasa tertentu tersebut dikelompokkan dalam tiga golongan yaitu jasa umum, jasa usaha dan perizinan tertentu. Dari ketiga bentuk ini maka permohonan perijinan paling banyak disalahgunakan oleh daerah yang cenderung merugikan para pengusaha. Menurut definisi UU 18 tahun 1997, yang dimaksud dengan fungsi perijinan untuk mengadakan pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan pada dasarnya pemberian ijin oleh pemerintah daerah tidak harus dipungut retribusinya. Tetapi untuk melaksanakan fungsi tersebut pemerintah daerah mungkin masih kekurangan biaya yang tidak selalu dapat dicukupi dari sumbersumber pemerintah daerah, sehingga terdapat perijinan tertentu yang masih dipungut retribusi. Retribusi perijinan yang umum adalah ijin mendirikan bangunan dan ijin peruntukan penggunaan tanah. Dalam UU tersebut dinyatakan bahwa jenis-jenis retribusi yang termasuk golongan retribusi jasa umum, jasa usaha dan perijinan tertentu ditetapkan dengan peraturan pemerintah sekalipun menjadi wewenang pemerintah daerah. Dalam hal berkaitan dengan permasalahan peternakan ini adalah perijinan mendirikan bangunan kandang dan perijinan penggunaan tanah untuk peternakan. Dalam hal pajak PBB yang mengharuskan peternak membayar pajak bangunan ternak dan pajak penggunaan air bawah tanah. Penggunaan air untuk memandikan ternak, membersihkan kandang ternak terkena biaya pajak. Pajak lain adalah pajak potong hewan, pajak pendaftaran perusahan, retribusi penertiban pengeluaran ternak ke luar daerah, retribusi pengawasan dan pemgeluaran hasil ternak/unggas ke luar daerah, retribusi pencegahan dan pemberantasan ternak terhadap penyakit ngorok dan vaksinasi, retribusi penerimaan timbangan ternak dan retribusi sewa kandang babi. 

Atas dasar itu seluruh penarikan retribusi yang tidak termasuk dalam daftar tersebut harus dicabut kembali. Berikut adalah daftar retribusi yang ditarik oleh pemerintah daerah: 

1. Retribusi ijin penggunaan jalan. Retribusi ijin penggunaan jalan ini berlaku luas di berbagai daerah TK II sejak tahun 2000. Retribusi sejenis yang bisa dikenakan adalah retribusi pemeliharaan jalan dan dispendasi atas muatan lebih serta retribusi bongkar muat ternak, retribusi ijin masuk kota dan retribusi pengeluaran ternak keluar daerah. 

2. Retribusi pemeriksaan daging yang berasal dari luar daerah dan dipasarkan dalam daerah dimaksud. Retribusi pemeriksaan kesehatan hewan ternak, hasil ternak dan hasil ikutannya di luar rumah potong. 

3. Retribusi kartu ternak . Dari 68 jenis retribusi yang harus dicabut dari berbagai daerah TK II terdapat setidaknya sebanyak 27 buah menyangkut peternakan baik langsung atau tidak langsung. Selain retribusi tanpa Perda ada pula penarikan retribusi yang bersifat sumbangan untuk alasan perawatan jalan, lingkungan dan sebagainya. Hal ini dilakukan oleh pemerintah daerah dengan menarik 1 rupiah per liter air susu yang dihasilkan. IMF juga telah merekomendasikan supaya retribusi tersebut dicabut dan dibatalkan. Masalah yang muncul adalah pemerintah pusat berwenang membatalkan perda tersebut? Mungkin akan makan waktu panjang untuk mencabut retribusi tersebut. Jika demikian halnya tahun 2000, produksi peternakan akan menghadapi ekonomi biaya tinggi dan itu akan mengurangi orang untuk investasi dalam peternakan, mengurangi keinginan pedagang ternak mengangkut ternak dari daerah produsen ke pusat konsumsi dan sebagainya. Hal ini memberatkan bagi pengangkutan ternak dari daerah produsen ke Jakarta. Misalnya dari NTB ke Jakarta, maka ternak tersebut akan banyak sekali harus membayar retribusi dari satu daerah ke daerah yang lain. Seluruh retribusi ini menimbulkan ekonomi biaya tinggi. 

Tinjauan Khusus: Agribisnis Sapi Perah 

Pengalaman 30 tahun telah memperlihatkan bahwa keberhasilan pola pengembangan sapi perah melalui koperasi hanya berpengaruh pada peningkatan produksi dan peningkatan kesempatan kerja dipedesaan (Yusdja dan Rusastra, 2001). Sampai saat ini hampir 90 persen produksi susu segar dalam negeri dihasilkan oleh koperasi. Koperasi dengan proses pembentukan "top down" dan intervensi pemerintah yang sangat besar dalam mengatur organisasi dan bisnisnya, sebenarnya tidak sesuai dengan azas koperasi yang seharusnya berakar dari bawah. Pembentukan anggota koperasi bukanlah atas dasar akumulasi modal anggota tetapi lebih banyak bersifat pemberian kredit ternak sapi dalam rangka kemitraan dengan bantuan modal sepenuhnya dari pemerintah. Status anggota koperasi hanya berfungsi pada saat menjual susu segar dan pembayaran iuran wajib serta simpanan pokok. Fungsi lain seperti fungsi kontrol dalam rapat pleno dan hak-hak lainnya tidak berjalan. Akibatnya koperasi sebagai lembaga ekonomi menjalankan manajemen tanpa pengawasan yang ketat oleh anggota, justru sebaliknya koperasi cenderung lebih berkuasa mengatur anggota. Berdasarkan kreteria efisiensi usaha yakni B/C rasio, memperlihatkan bahwa koperasi telah menggunakan investasi secara tidak rasional dengan B/C rasio 1,005; bahkan dari tahun ke tahun kelayakan penggunaan investasi semakin menurun. Koperasi mempunyai kecenderungan untuk melakukan mismanajemen dan pemborosan. Hal ini juga telah dilaporkan oleh Yusdja dan Sayuti (2002). Kerugian peternak diperkirakan 15 persen per tahun dibandingkan jika investasi itu disimpan dalam bentuk deposito. Koperasi dapat bertahan hidup, karena selalu mendapat dana segar dari hasil penjualan susu segar peternak anggota pada IPS dan penggunaan dana segar tersebut untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang tidak terkait dengan pengembangan peternakan. Dengan tingkat B/C rasio tersebut di atas, maka pengembalian modal perusahaan akan membutuhkan waktu yang lama dan setiap tahun nilai investasi terus meningkat. Harga-harga faktor tetap seperti modal peternak, modal anggota, modal koperasi dan biaya pengurus seluruhnya mempengaruhi keuntungan secara positif. Dengan demikian peningkatan modal dan biaya organisasi akan memberikan pengaruh nyata terhadap kenaikan keuntungan. Namun demikian, koperasi sebagai sebuah perusahaan yang dimiliki oleh anggota tidak menggunakan modal dan investasi secara efisien. Koperasi telah membelanjakan kekayaan anggota dengan manfaat yang sangat rendah. Hal ini terlihat jelas dari uji skala usaha koperasi sapi perah yang dilakukan Yusdja dan Sayuti (2002) yang memperlihatkan bahwa skala perusahaan koperasi berada dalam kondisi decreasing return to scale yang berarti biaya rata-rata berada diatas biaya mininum yang cenderung menaik. Artinya, ukuran skala usaha koperasi terlalu besar dibandingkan dengan luas usaha pada tingkat biaya minum. Dengan pengertian lain, koperasi berada dalam fase harus menghentikan usahanya atau mengurangi produksi dan melakukan reorganisasi faktor-faktor produksi. Implikasinya adalah bahwa peternak yang bermitra dengan koperasi akan mendapat kesulitan besar dalam berkembang. Dengan tingkat suplai yang sangat rendah tersebut pertumbuhan produksi susu segar juga relatif rendah yakni 8,4 persen per tahun. Maka dalam tahun 2002, Indonesia akan tetap mengalami kekurangan susu segar sebagai bahan baku produk, dan ini berarti Indonesia akan terus mengimpor susu. Produksi susu segar dalam negeri 92 persen dihasilkan oleh peternak rakyat yang bergabung dalam koperasi sapi perah. Perkembangan tahun 2002 tidak ada perubahan drastis, tidak ada investasi baru dan tidak ada pengembangan populasi ternak selain pertumbuhan rutin. Pertumbuhan produksi susu segar yang terjadi adalah pertumbuhan rutin karena ada peternak memasukkan sapi-sapi replacement stock dengan produktivitas tinggi menggantikan sapi-sapi tua. Diramalkan tidak ada lonjakan produksi susu segar dalam dua-tiga tahun mendatang. 

Tinjauan Khusus Agribisnis Sapi Potong 

Sekalipun agribisnis sapi potong banyak bermasalah yang meliputi pengadaan air, pakan, skala usaha, dan manajemen peternakan rakyat, namun pada tahun 2000 Pemerintah menetapkan tahun 2005 akan dicapai swasembada daging (Sudardjat, 2003). Sekarang Indonesia berada pada tahun 2003, namun belum terlihat bahwa produksi daging asal sapi akan mampu menutupi kebutuhan penduduk. Keadaan populasi masih sangat rentan terhadap pengurasan ternak terutama pada wilayah penghasil utama seperti NTT dan NTB dan impor sapi bakalan terus bergerak naik. Pada sisi lain industri penggemukan terus meningkat baik di daerah maupun di pedesaan. Industri penggemukan dalam bentuk feedlot juga memperlihatkan perkembangan dalam 3 tahun terakhir. Namun demikian feedlot menggunakan sapi bakalan impor. Berdasarkan data ABS Australia (Livecorp, 2001), ekspor sapi Australia ke Indonesia terbesar dari berbagai negara importir seperti Brunei, Mesir, Jepang, Jordania, Libya, Malaysia, Mexico, dan Philipina. Tahun 2000 sekitar 35 persen dari total ekspor sapi dari Australia adalah untuk Indonesia. Apfindo telah membina hubungan kerjasama dengan Live Corporation ini terutama dalam membangun rumah potong di Bandung dan memberikan penjelasan kesehatan ternak Australia dalam beberapa seminar. Dengan menggunakan rumus sederhana dengan asumsi semua tetap, LogY = log A + Blog t, maka diperoleh dengan R2=0,71 diperoleh proyeksi pertumbuhan r=12,6 persen per tahun. Impor sapi bakalan tahun 2000 adalah 296.723 ekor diperkirakan tahun 2001 sebesar 340.443 ekor dan diproyeksikan untuk tahun 2001 Australia akan ekpor ke Indonesia sebesar 386.030 ekor. Berdasarkan diskusi di atas dapat dikatakan, bahwa Indonesia tidak mungkin swasembada daging khususnya sapi pada tahun 2005 dan juga mungkin diragukan swasembada daging tahun 2010 jika swasembada itu secara keseluruhan menggunakan sumberdaya lokal. Masalah utama yang harus diselesaikan terutama adalah masalah pembibitan, investasi padang penggembalaan dan pengawetan hijau-hijauan serta perbaikan usaha peternakan rakyat dan barulah berikutnya merancang swasembada daging sapi.

Tinjauan Khusus Agribisnis Ayam Ras 

Industri agribisnis ayam ras adalah industri peternakan yang termaju dan paling lengkap. Namun struktur produksi masih labil walaupun terus bergerak menuju struktur skala menengah dan besar. Usaha rakyat terus terjepit dengan diramalkan akan menghilang terutama untuk ayam ras petelur. Pemerintah berulangkali menyampaikan bahwa Indonesia sudah swasembada daging ayam dan telur, namun permasalahan peternakan rakyat masih sangat runyam. Tahun 2002 adalah tahun cobaan besar bagi peternakan ayam broiler karena pada tahun itu harga broiler di tingkat peternak anjlog 30 persen, sementara harga tahun 2003 anjlog sampai 500 persen. Akan kiamatkah perunggasan kita? Demikian pertanyaan Tim Trobos (2003). Namun demikian, harga broiler di tingkat eceran tidak terusik. Hal ini memperlihatkan suatu bentuk pasar oligopoli terutama para pedagang besar yang menguasai pemasokan ayam pada kios eceran di Jakarta. Disinyalir bahwa pedagang besar adalah yang menguasai RPA skala besar dengan kapasitas tampung untuk penyimpanan yang relatif besar. Dari segi peternakan broiler rakyat, penurunan harga broiler yang dihadapinya tak lain adalah pihak yang dikorbankan. Peningkatan produksi broiler yang dilakukan pihak swasta atau skala besar menguasai pasar lebih kuat.  

SARAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN AGRIBISNIS PETERNAKAN

Agribisnis Sapi Potong Isu penting untuk agribisnis sapi potong adalah penurunan populasi yang terus berlanjut dari tahun ke tahun. Banyak program yang telah dilaksanakan tetapi tidak memberikan dampak yang meyakinkan pada penyelamatan ternak potong khususnya pada wilayah produksi. Pemerintah sebaiknya merubah strategi peningkatan populasi ternak sekalipun dengan teknik yang sama seperti penggunaan IB, pemberantasan penyakit kandungan, mencegah pemotongan ternak betina produktif dan sebagainya. Salah satu saran yang perlu diperhatikan adalah mengkonsentrasikan program itu pada suatu areal tertentu dengan pengawasan yang intensif. Pada wilayah tersebut program harus disertai dengan peningkatan hijauan ternak dan segala sesuatu yang menunjang seperti pengairan, pengolahan tanah dan sebagainya. Sehingga dua saran dapat dicapai sekaligus yakni peningkatan populasi dan peningkatan produktivitas ternak. 

Agribisnis Sapi Perah 

Koperasi disarankan melakukan reorganisasi secara keseluruhan, mulai dari sistem pengangkatan pengurus dan tim pengawas serta karyawan. Restrukturisasi harus diarahkan pada Undang-Undang Koperasi. Salah satu kegiatan restrukturisasi adalah menetapkan kembali tujuan koperasi untuk menyejahterakan anggota dan bukan sebaliknya. Konsekuensi dari ini adalah bahwa koperasi tidak perlu menjadi suatu lembaga bisnis yang mencari profit sendirian, tetapi harus bersamasama dengan para peternak anggota. Ini berarti azas mendapatkan keuntungan maksimum berlaku untuk semua pemilik usaha termasuk koperasi. Koperasi lebih baik mengubah sikap terhadap anggota. Jika kedua pihak memaksakan untuk memaksimumkan keuntungan maka akan terjadi penindasan terhadap yang lemah, yang dalam hal ini usaha rakyat. Yusdja dan Sajuti (2002) melaporkan bahwa skala usaha koperasi yang diukur dari besar investasi yang ditanam dan kekayaan aset ternyata tidak efisien. Jika demikian peternak mengalami pembinaan oleh koperasi yang sebenarnya mempunyai kondisi operasional yang parah. Koperasi sebaiknya menghentikan peningkatan investasi dan melakukan restrukturisasi semua unit usaha dan reorganisasi sumberdaya manusia yang digunakan. Koperasi harus segera menghentikan pengeluaran semua biaya-biaya untuk pos-pos yang tidak produktif. Restrukturisasi usaha dapat berbentuk menghentikan semua unit usaha yang tidak menguntungkan dan membangun industri pengolahan dan unit-unit yang terkait dengan peningkatan pelayanan pada peternak. Koperasi disarankan pula melakukan reorganisasi penggunaan faktor produksi terutama membenahi kembali sistem pengupahan karyawan, sistem pendanaan pengurus dan arah penggunaan yang keseluruhannya harus lebih berorinetasi dan dikaitkan dengan efisiensi usaha. Khususnya dalam hal ini adalah manajemen atau pengurus koperasi harus mengeluarkan biaya-biaya tetap dan peubah secara lebih rasional. Dalam hal ini banyak pos-pos pengeluaran yang harus dihentikan seperti biaya-biaya yang tidak ada kaitannya dengan peningkatan produksi air susu dan pendapatan serta keuntungan koperasi. Selain itu perlu dilakukan penghematan pada semua pos. Beberapa perusahan koperasi dalam 20 tahun terakhir ini telah berhasil mengumpulkan modal yang relatif besar dalam bentuk tanah, bangunan, kendaraan dan kekayaan dalam bentuk mesin-mesin dan peralatan. Dengan kekayaannya yang sudah ada tersebut maka koperasi seharusnya sudah mampu mandiri melepaskan diri dari IPS dan membangun sendiri sebuah IPS. Apalagi, dengan kemampuan modal dan kekayaan yang sudah ada, koperasi tidak akan mendapatkan kesulitan kredit dengan bank untuk tujuan tersebut. Perlu juga diperhatikan bahwa nilai tukar rupiah terhadap dollar US yang diramalkan akan membaik pada masa mendatang akan menyebabkan tingkat daya saing susu segar dalam negeri menurun dan kemungkinan IPS tidak lagi mengambil air susu dalam negeri (Ilham dan Swastika, 2000). 

Agribisnis Ayam Ras Broiler 

Permasalahan yang dihadapi ayam ras khususnya ayam broiler saat ini hanyalah merupakan suatu fenomena pergeseran struktur usaha ternak dari banyak perusahaan menjadi beberapa buah perusahaan skala besar. Peternakan rakyat pada akhirnya akan tenggelam. Jika pemerintah ingin melestarikan usaha rakyat maka perlu kebijakan pengembangan kemitraan. Peternakan rakyat membutuhkan suatu konsep kemitraan dengan pihak inti (perusahaan swasta skala besar) dengan sistem bagi hasil yang saling menguntungkan. Kemitraan ini harus berlangsung secara terbuka dan itu memudahkan pengawasan baik oleh pemerintah maupun masyarakat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun