2. Retribusi pemeriksaan daging yang berasal dari luar daerah dan dipasarkan dalam daerah dimaksud. Retribusi pemeriksaan kesehatan hewan ternak, hasil ternak dan hasil ikutannya di luar rumah potong.Â
3. Retribusi kartu ternak . Dari 68 jenis retribusi yang harus dicabut dari berbagai daerah TK II terdapat setidaknya sebanyak 27 buah menyangkut peternakan baik langsung atau tidak langsung. Selain retribusi tanpa Perda ada pula penarikan retribusi yang bersifat sumbangan untuk alasan perawatan jalan, lingkungan dan sebagainya. Hal ini dilakukan oleh pemerintah daerah dengan menarik 1 rupiah per liter air susu yang dihasilkan. IMF juga telah merekomendasikan supaya retribusi tersebut dicabut dan dibatalkan. Masalah yang muncul adalah pemerintah pusat berwenang membatalkan perda tersebut? Mungkin akan makan waktu panjang untuk mencabut retribusi tersebut. Jika demikian halnya tahun 2000, produksi peternakan akan menghadapi ekonomi biaya tinggi dan itu akan mengurangi orang untuk investasi dalam peternakan, mengurangi keinginan pedagang ternak mengangkut ternak dari daerah produsen ke pusat konsumsi dan sebagainya. Hal ini memberatkan bagi pengangkutan ternak dari daerah produsen ke Jakarta. Misalnya dari NTB ke Jakarta, maka ternak tersebut akan banyak sekali harus membayar retribusi dari satu daerah ke daerah yang lain. Seluruh retribusi ini menimbulkan ekonomi biaya tinggi.Â
Tinjauan Khusus: Agribisnis Sapi PerahÂ
Pengalaman 30 tahun telah memperlihatkan bahwa keberhasilan pola pengembangan sapi perah melalui koperasi hanya berpengaruh pada peningkatan produksi dan peningkatan kesempatan kerja dipedesaan (Yusdja dan Rusastra, 2001). Sampai saat ini hampir 90 persen produksi susu segar dalam negeri dihasilkan oleh koperasi. Koperasi dengan proses pembentukan "top down" dan intervensi pemerintah yang sangat besar dalam mengatur organisasi dan bisnisnya, sebenarnya tidak sesuai dengan azas koperasi yang seharusnya berakar dari bawah. Pembentukan anggota koperasi bukanlah atas dasar akumulasi modal anggota tetapi lebih banyak bersifat pemberian kredit ternak sapi dalam rangka kemitraan dengan bantuan modal sepenuhnya dari pemerintah. Status anggota koperasi hanya berfungsi pada saat menjual susu segar dan pembayaran iuran wajib serta simpanan pokok. Fungsi lain seperti fungsi kontrol dalam rapat pleno dan hak-hak lainnya tidak berjalan. Akibatnya koperasi sebagai lembaga ekonomi menjalankan manajemen tanpa pengawasan yang ketat oleh anggota, justru sebaliknya koperasi cenderung lebih berkuasa mengatur anggota. Berdasarkan kreteria efisiensi usaha yakni B/C rasio, memperlihatkan bahwa koperasi telah menggunakan investasi secara tidak rasional dengan B/C rasio 1,005; bahkan dari tahun ke tahun kelayakan penggunaan investasi semakin menurun. Koperasi mempunyai kecenderungan untuk melakukan mismanajemen dan pemborosan. Hal ini juga telah dilaporkan oleh Yusdja dan Sayuti (2002). Kerugian peternak diperkirakan 15 persen per tahun dibandingkan jika investasi itu disimpan dalam bentuk deposito. Koperasi dapat bertahan hidup, karena selalu mendapat dana segar dari hasil penjualan susu segar peternak anggota pada IPS dan penggunaan dana segar tersebut untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang tidak terkait dengan pengembangan peternakan. Dengan tingkat B/C rasio tersebut di atas, maka pengembalian modal perusahaan akan membutuhkan waktu yang lama dan setiap tahun nilai investasi terus meningkat. Harga-harga faktor tetap seperti modal peternak, modal anggota, modal koperasi dan biaya pengurus seluruhnya mempengaruhi keuntungan secara positif. Dengan demikian peningkatan modal dan biaya organisasi akan memberikan pengaruh nyata terhadap kenaikan keuntungan. Namun demikian, koperasi sebagai sebuah perusahaan yang dimiliki oleh anggota tidak menggunakan modal dan investasi secara efisien. Koperasi telah membelanjakan kekayaan anggota dengan manfaat yang sangat rendah. Hal ini terlihat jelas dari uji skala usaha koperasi sapi perah yang dilakukan Yusdja dan Sayuti (2002) yang memperlihatkan bahwa skala perusahaan koperasi berada dalam kondisi decreasing return to scale yang berarti biaya rata-rata berada diatas biaya mininum yang cenderung menaik. Artinya, ukuran skala usaha koperasi terlalu besar dibandingkan dengan luas usaha pada tingkat biaya minum. Dengan pengertian lain, koperasi berada dalam fase harus menghentikan usahanya atau mengurangi produksi dan melakukan reorganisasi faktor-faktor produksi. Implikasinya adalah bahwa peternak yang bermitra dengan koperasi akan mendapat kesulitan besar dalam berkembang. Dengan tingkat suplai yang sangat rendah tersebut pertumbuhan produksi susu segar juga relatif rendah yakni 8,4 persen per tahun. Maka dalam tahun 2002, Indonesia akan tetap mengalami kekurangan susu segar sebagai bahan baku produk, dan ini berarti Indonesia akan terus mengimpor susu. Produksi susu segar dalam negeri 92 persen dihasilkan oleh peternak rakyat yang bergabung dalam koperasi sapi perah. Perkembangan tahun 2002 tidak ada perubahan drastis, tidak ada investasi baru dan tidak ada pengembangan populasi ternak selain pertumbuhan rutin. Pertumbuhan produksi susu segar yang terjadi adalah pertumbuhan rutin karena ada peternak memasukkan sapi-sapi replacement stock dengan produktivitas tinggi menggantikan sapi-sapi tua. Diramalkan tidak ada lonjakan produksi susu segar dalam dua-tiga tahun mendatang.Â
Tinjauan Khusus Agribisnis Sapi PotongÂ
Sekalipun agribisnis sapi potong banyak bermasalah yang meliputi pengadaan air, pakan, skala usaha, dan manajemen peternakan rakyat, namun pada tahun 2000 Pemerintah menetapkan tahun 2005 akan dicapai swasembada daging (Sudardjat, 2003). Sekarang Indonesia berada pada tahun 2003, namun belum terlihat bahwa produksi daging asal sapi akan mampu menutupi kebutuhan penduduk. Keadaan populasi masih sangat rentan terhadap pengurasan ternak terutama pada wilayah penghasil utama seperti NTT dan NTB dan impor sapi bakalan terus bergerak naik. Pada sisi lain industri penggemukan terus meningkat baik di daerah maupun di pedesaan. Industri penggemukan dalam bentuk feedlot juga memperlihatkan perkembangan dalam 3 tahun terakhir. Namun demikian feedlot menggunakan sapi bakalan impor. Berdasarkan data ABS Australia (Livecorp, 2001), ekspor sapi Australia ke Indonesia terbesar dari berbagai negara importir seperti Brunei, Mesir, Jepang, Jordania, Libya, Malaysia, Mexico, dan Philipina. Tahun 2000 sekitar 35 persen dari total ekspor sapi dari Australia adalah untuk Indonesia. Apfindo telah membina hubungan kerjasama dengan Live Corporation ini terutama dalam membangun rumah potong di Bandung dan memberikan penjelasan kesehatan ternak Australia dalam beberapa seminar. Dengan menggunakan rumus sederhana dengan asumsi semua tetap, LogY = log A + Blog t, maka diperoleh dengan R2=0,71 diperoleh proyeksi pertumbuhan r=12,6 persen per tahun. Impor sapi bakalan tahun 2000 adalah 296.723 ekor diperkirakan tahun 2001 sebesar 340.443 ekor dan diproyeksikan untuk tahun 2001 Australia akan ekpor ke Indonesia sebesar 386.030 ekor. Berdasarkan diskusi di atas dapat dikatakan, bahwa Indonesia tidak mungkin swasembada daging khususnya sapi pada tahun 2005 dan juga mungkin diragukan swasembada daging tahun 2010 jika swasembada itu secara keseluruhan menggunakan sumberdaya lokal. Masalah utama yang harus diselesaikan terutama adalah masalah pembibitan, investasi padang penggembalaan dan pengawetan hijau-hijauan serta perbaikan usaha peternakan rakyat dan barulah berikutnya merancang swasembada daging sapi.
Tinjauan Khusus Agribisnis Ayam RasÂ
Industri agribisnis ayam ras adalah industri peternakan yang termaju dan paling lengkap. Namun struktur produksi masih labil walaupun terus bergerak menuju struktur skala menengah dan besar. Usaha rakyat terus terjepit dengan diramalkan akan menghilang terutama untuk ayam ras petelur. Pemerintah berulangkali menyampaikan bahwa Indonesia sudah swasembada daging ayam dan telur, namun permasalahan peternakan rakyat masih sangat runyam. Tahun 2002 adalah tahun cobaan besar bagi peternakan ayam broiler karena pada tahun itu harga broiler di tingkat peternak anjlog 30 persen, sementara harga tahun 2003 anjlog sampai 500 persen. Akan kiamatkah perunggasan kita? Demikian pertanyaan Tim Trobos (2003). Namun demikian, harga broiler di tingkat eceran tidak terusik. Hal ini memperlihatkan suatu bentuk pasar oligopoli terutama para pedagang besar yang menguasai pemasokan ayam pada kios eceran di Jakarta. Disinyalir bahwa pedagang besar adalah yang menguasai RPA skala besar dengan kapasitas tampung untuk penyimpanan yang relatif besar. Dari segi peternakan broiler rakyat, penurunan harga broiler yang dihadapinya tak lain adalah pihak yang dikorbankan. Peningkatan produksi broiler yang dilakukan pihak swasta atau skala besar menguasai pasar lebih kuat. Â
SARAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN AGRIBISNIS PETERNAKAN
Agribisnis Sapi Potong Isu penting untuk agribisnis sapi potong adalah penurunan populasi yang terus berlanjut dari tahun ke tahun. Banyak program yang telah dilaksanakan tetapi tidak memberikan dampak yang meyakinkan pada penyelamatan ternak potong khususnya pada wilayah produksi. Pemerintah sebaiknya merubah strategi peningkatan populasi ternak sekalipun dengan teknik yang sama seperti penggunaan IB, pemberantasan penyakit kandungan, mencegah pemotongan ternak betina produktif dan sebagainya. Salah satu saran yang perlu diperhatikan adalah mengkonsentrasikan program itu pada suatu areal tertentu dengan pengawasan yang intensif. Pada wilayah tersebut program harus disertai dengan peningkatan hijauan ternak dan segala sesuatu yang menunjang seperti pengairan, pengolahan tanah dan sebagainya. Sehingga dua saran dapat dicapai sekaligus yakni peningkatan populasi dan peningkatan produktivitas ternak.Â
Agribisnis Sapi PerahÂ