Mohon tunggu...
Nurhasan Wirayuda
Nurhasan Wirayuda Mohon Tunggu... -

Tiada yang diadakan, lalu tiada lagi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Indonesia Belum Raya

22 November 2016   09:20 Diperbarui: 22 November 2016   09:33 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Nah, kita pasti sudah hapal dengan Indonesia Raya stanza U, dari mulai anak TK sampai orang tua, Sabang sampai Merauke menyayikan lagu ini saat upacara bendera.

Sekarang mari kita analisis bait per bait. “Indonesia tanah airku, sepertinya tidak ada yang aneh dari kalimat tersebut. Lalu “tanah tumpah darahku”. Menurut saya, ini juga tidak ada yang aneh, ketika yang orang yang menyanyikan adalah seorang pejuang pra-kemerdekaan. Namun, kalau kita menyanyikannya pasca kemerdekaan menurut saya ada “sesuatu” yang kurang cocok. Entah itu maknanya, nadanya, iramanya, atau nuansanya. Saya kurang paham. Jangan-jangan bait syair ini menjadi doa atas semua yang telah terjadi pasca kemerdekaan. “Tanah tumpah darahku” Maka, tumpah-tumpahlah darah rakyat Indonesia.

Selanjutnya, “Di sanalah, Aku Berdiri Jadi Pandu Ibuku”. Dari SD – sekarang saya selalu mikir keras ketika petugas upacara menaikkan bendera dan regu koor menyanyikan Indonesia Raya ketika sampai di bait “di sanalah”. Loh? Kok di sana? Harusnya kan “di sini”.

Saya bergumam dalam hati, Indonesia kan di sini. Tanah yang saya injak saat upacara bendera. Kok di sana? Terus kalau Indonesia di sana, di sini apa dong?  Saya coba cari-cari sejarahnya mengapa W.R Supratman menuliskannya di sana, bukan di sini. Saya mendapati dua kemungkinan jawaban. Pertama, Oh, waktu itu Supratman membikin lagu pas lagi melancong di Belanda. makanya dia menuliskan -di sana-. Kedua, Supratman mungkin sudah meramalkan kalau ternyata suatu saat nanti, tanah yang diinjak ini bukan Indonesia lagi. Namun sudah menjadi anak perusahaan dari suatu sistem global dan diberi nama NKRI.Corp.

“Aku Berdiri Jadi Pandu Ibuku”, kata pandu sekarang mulai jarang terdengar. Yang ada sekarang adalah Pramuka. Lanjut,  “Indonesia Kebangsaanku Bangsa Dan Tanah Airku”. Oke, bait yang ini sepakat ya. Lalu,” Marilah Kita Berseru Indonesia Bersatu”. Orang atau sekelompok orang yang menyeru untuk bersatu berarti dirinya atau mereka belum bersatu.

Jadi, bisa diambil kesimpulan lagu yang stanza U ini cocok dinyanyikan ketika perjuangan meraih kemerdekaan (pra-kemerdekaan). Supratman menyeru untuk meraih kemerdekaan agar rakyat Indonesia bersatu.

“Hiduplah Tanahku Hiduplah Negeriku” Ya sepakat lah untuk bait yang ini, Hiduplah tanah dan negeri. Lalu bait  “Bangsaku Rakyatku Semuanya”. Menangkap ada yang aneh? Kata “rakyatku”itu cocok atau pas kalau dinyanyikan oleh seorang pemimpin rakyat. Nah, kalau kita sebagai rakyat sendiri terus menyebut “rakyatku”?

Jawaban mudahnya adalah; Oh, ternyata setiap rakyat Indonesia adalah pemimpin. Minimal pemimpin dirinya sendiri. Hahahaha.

“Bangunlah Jiwanya Bangunlah Badannya, Untuk Indonesia Raya”. Cerdas sekali Supratman. Ya, membangun jiwanya terlebih dahulu baru membangun badan. Yang kita lihat dari keadaan sekarang ialah orang-orang membangun badannya dulu baru jiwanya. Memenuhi nafsu badan dulu baru urusan jiwa belakangan. Hahaha

Masih ada bait “Indonesia Raya Merdeka Merdeka, dst.” Namun, nanti akan saya analisis karena bait tersebut sama dengan stanza 2 dan stanza 3.

Nah, bisa diambil kesimpulan kalau lagu Indonesia raya stanza U yang sering kita kumandangkan itu ternyata lebih tepat dinyanyikan pra-kemerdekaan Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun