Mohon tunggu...
Mohamad Nurfahmi Budiarto
Mohamad Nurfahmi Budiarto Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Think...than write...

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Mereka Meninggalkan Ego demi Kesehatan Masyarakat

31 Oktober 2014   07:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:05 1250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_332217" align="aligncenter" width="576" caption="BIDAN Cahayani (kanan) melakukan pemeriksaan kesehatan bayi di Desa Lasondre, Kecamatan Pulau-Pulau Batu, Nias Selatan, beberapa waktu lalu. "][/caption]

PETANG itu, sekitar dua bulan lalu, suasana riang gembira sedang bergelayut di wajah seluruh warga Desa Lasonde, Kecamatan Pulau Pulau Batu, Kabupaten Nias Selatan. Meski berada di pinggiran batas negeri ini, mereka juga tak lupa untuk membuat ‘keramaian’ sebagai rasa syukur terhadap perjuangan para pahlawan kala membuat Indonesia menjadi negara merdeka. Yup, aneka perayaan Agustus-an menjadi ‘santapan ringan’ yang memberi gambaran suasana kekeluargaan.

Lalu awal bulan lalu, kondisi tak jauh berbeda terjadi lagi. Kali ini, masyarakat tidak sedang merayakan sebuah hari besar, melainkan sekadar berkumpul, bercengkerama dan berbagi cerita. Namun dengan nafas yang sama, yakni kekeluargaan. Nun jauh di sana, di sisi Timur Nusantara, tepatnya di Desa Jambu, Kecamatan Pajo, Dompu, Nusa Tenggara Barat, keceriaan yang sama juga sangat terasa. Kehangatan mereka, para keluarga dan ‘tali-temali’ tetangga, menjadi simpul sebuah ciri kawasan dengan masyarakat yang punya level kesehatan yang layak.

Hebat memang, karena keceriaan mereka hampir dirasakan secara bersama. Di tengah hiruk pikuk tindakan kekanak-kanakan wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia, atau berita mengenai Menteri Susi Pudjiastuti, saat ini, mereka seolah tak memikirkan itu. Bagi masyarakat itu, suasana hati yang nyaman menjadi pilihan utama, di saat mereka harus bekerja keras membanting tulang hanya untuk mendapatkan rejeki yang digunakan untuk ‘memetik’ sesuap nasi.

Suasana santai di Lasondre dan Jambu, dua wilayah yang dianggap terbelakang, bukan tanpa sebab. Boleh saja wilayah mereka berada di titik yang mungkin saja tak ada dalam peta besar, namun soal lingkungan dan kesehatan, mereka menjadi jagonya. Tak mudah juga untuk mendapatkan kondisi seperti sekarang. Butuh pengorbanan panjang untuk memberi kesadaran pada masyarakat, juga diperlukan kerja keras bagi orang yang sangat mengerti arti kesehatan secara kompleks.

Tak hanya di dua wilayah itu saja, area lain juga bisa menjadi gambaran tersendiri, seperti apa yang terjadi diDesa Liwo, Mananga, Flores Timur. Semua memiliki satu ciri, yakni suasana kebahagiaan dengan situasi level kesehatan yang baik, bahkan terus membaik. Sekali lagi, tak mudah untuk membentuk apa yang terjadi sekarang. Butuh kerja keras, disiplin tinggi, kreatif untuk ‘menaklukkan’ situasi masyarakat plus membentuk kesadaran seperti yang terjadi sekarang. Butuh juga keberanian untuk mendobrak sesuatu yang mungkin saja di luar jangkauan si pelaku.

Tapi, semua itu terjadi berkat intensitas, dan semangat mengorbankan kepentingan pribadi demi sesuatu yang lebih besar, yakni kesehatan lingkungan dan masyarakat. Hebatnya, apa yang membentuk kondisi di tiga desa percontohan tersebut, ternyata sederet anak muda, yang rela menyingkirkan sisi ‘kemeriahan hidup’. Artinya, ego itu sudah mereka buang ketika memutuskan untuk mengabdikan diri pada apa yang menjadi kewajiban mereka, yakni di sektor kesehatan.

Nama seperti Cahayani Bawaulu, Ayu Pusparini dan Maria Marta Sori, mungkin sangat asing di telinga bangsa ini. Tak terlintas juga di kepala setiap orang di negara ini, terutama yang ada di Jakarta, bagaimana ketiganya harus berjibaku menghadapi semua tantangan. Profesi mereka, sebagai bidan desa, juga bukan sumber berita yang bisa dijual kalangan media layaknya arena selebritas papan atas Indonesia yang juga mengumbar gaya hidup tak sehat, tak mendidik bahkan kadang tak jelas.

Tiga nama pendekar wanita tersebut, mungkin bisa menjadi wakil dari para bidan di desa-desa terpencil atau wilayah pulau-pulau terpencil, yang tentu saja tidak semua dokter-dokter lulusan universitas mau untuk mengabdikan diri di sana.

Kembali ke suasana di Lasondre, Jambu dan Liwo. Apa yang didapat dan dirasakan warga ketiga desa tersebut tentu saja bukan langsung datang begitu saja alias tak terbentuk semudah membalikkan telapak tangan. Butuh kerja keras, determinasi tinggi dan komitmen luar biasa untuk membentuk seperti yang terjadi sekarang. Dan ketiga contoh bidan desa tadi, bisa menjadi ksatria hebat bagi kalangan ibu hamil, ibu yang melahirkan, anak balita sampai lingkungan rumah yang selalu sehat.

Faktor terakhir, yakni lingkungan rumah yang sehat, dengan kata lain sistem sanitasi yang baik, telah membentuk kehidupan yang lebih sehat. Tiga bidan tadi menjadi poin terbesar di balik alasan tadi. Mereka memang bukan seratus persen orang yang mengubah wajah lingkungan Lasondre, Jambu ataupun Liwo, melainkan semua orang setuju,  Cahayani, Ayu dan Maria, adalah sebagian besar dari faktor pembentuk lingkungan sehat yang mereka rasakan sekarang.

Kepedulian tinggi terhadap kesehatan masyarakat memang ditunjukkan tiga bidan desa tersebut, yang rela bertugas di area terpencil dan akses yang terbilang susah. Di Lasondre misalnya, Cahayani harus berjibaku dengan ombak besar jika ingin pergi ke pusat pemerintahan, dengan lama perjalanan minimal satu jam. Begitu juga dengan Ayu, yang tak memiliki akses transportasi 24 jam ke area sumber kesehatan. Maria?, lebih ironis lagi karena ia harus bekerja sendiri untuk menyediakan semuanya, meski itu terjadi di awal-awal saat berjuang menyadarkan masyarakat.

Hebatnya, tiga bidan tersebut ternyata tak hanya mengerjakan sesuatu yang hanya sesuai dengan ‘job description’ mereka. Jika menilik kebiasaan bidan, mereka seharusnya hanya berurusan dengan imunisasi, pemeriksaan kesehatan ibu hamil dan pengobatan ringan jika ada warga yang sakit. Bahkan, jika ditarik lebih kecil lagi, para bidan tersebut sebenarnya hanya berurusan dengan ibu dan anak.

Namun, semua itu ternyata tak dilakukan tiga bidan yang menjadi contoh tadi. Selain tugas pokoknya, mereka juga berjibaku untuk terjun menyadarkan masyarakat desa tentang beragam hal. Mereka harus bekerja keras memberi pengertian terkait rumah yang sehat, sanitasi yang sesuai standar, lingkungan pembentuk suasana yang sehat, serta mengurus tetek bengek administrasi lainnya. Walhasil, mereka seperti ‘organ’ yang sanggup melakukan layanan one stop service. Sampai-sampai, mereka juga ikut terlibat aktif dalam menata lingkungan, seperti kerja bhakti dan sejenisnya.

“Bahkan tak jarang, saya pun ikut membersihkan langsung rumah warga. Kadangkala, warga juga berharap saya bisa mendesain rumah yang sehat, di mana tempat mandi, di mana tempat memasak sampai urusan meletakkan kotak obat yang memang di beberapa rumah ada,” ucap Cahayani.

Sekali lagi, semua itu tak datang dengan begitu saja. Bagi Cahayani, yang mendapatkan pendidikan formal di Akademi Kebidanan Ika Bina Labuhan Batu, Sumatera Utara, awal datang ke Lasondre membuatnya nyaris tak betah. Namun, karena memang itu menjadi pilihannya untuk mengabdikan diri pada masyarakat, semua dijalaninya dengan kemantapan hati. Semua yang ada sekarang adalah buah dari perjuangan sejak tahun 2011, sebuah langkah yang penuh kenangan pahit dan manis, dan membuatnya sempat lupa untuk berpacaran layaknya anak remaja lainnya!

“Dua malam pertama saya menangis, karena kondisinya memang sulit. Saya kurang diterima oleh warga, juga kepala suku, apalagi saya perempuan muda yang dianggap tak bisa berbuat apa-apa. Hal itu membuat mental saya hampir ambruk. Namun, semua itu dikuatkan dengan semangat, bukan untuk saya, tapi demi kepentingan mereka juga,” tutur Cahayani.

Ia bercerita, kegamangan dan ketidakpercayaan warga desa sangat beralasan. Karena, di tempat mereka ternyata sudah 12 tahun tak pernah ada lagi petugas kesehatan dari pemerintah yang menetap di sana secara permanen. Sudah ada beberapa yang mencoba bertahan, tapi paling lama hanya tiga hari berada di Lasondre.

Maklum, awal bekerja, di Lasondre tak ada infrastruktur yang memadai untuk upaya atau tindakan kesehatan. Sebut saja misalnya gedung atau rumah khusus untuk tenaga kesehatan yang tinggal di sana. Cahayani mengungkapkan, saat kali pertama datang pada 2011, dia tak menemukan gedung pemerintah yang berkategori layak pakai untuk digunakan untuk operasional sehari-hari. Ia hanya menemukan satu gedung yang tak sesuai dengan standar kelayakah rumah. “Hanya tinggal dinding saja yang belum runtuh. Selebihnya, seperti lantai dan atap, sudah pecah serta tak berbentuk. Saya berinisiatif untuk membenahi sendiri,” terangnya.

Proses perbaikan juga tak berjalan mulus, karena ia harus menyisihkan gajinya yang tak seberapa untuk membeli material dan menggaji tukang. Kini, saat semuanya sudah lebih baik, rumah yang menjadi tempat kerja Cahayani, menjadi satu lokasi favorit untuk sekadar berkumpul antarwarga. Belum selesai, karena dari dulu sampai sekarang, ia harus menerima beban biaya transportasi sendiri, tanpa bantuan dari pemerintah. Mungkin karena kesibukannya itu pula, sampai-sampai ia tak bisa menerima ‘pinangan’ beberapa pria yang telah mendekatinya. “Lucu memang, tapi sepertinya tak ada kesempatan untuk berpacaran atau menjalin cinta. Di alam pikiranku, saya harus memastikan terlebih dulu kalau warga dan lingkungannya selalu sehat,” ucapnya, sembari tersenyum getir, mungkin karena seringkali melihat teman-teman lainnya yang hidup di kota, sudah berpacaran dan bersenang-senang.

Kini, kondisi rumah yang juga tempatnya berjaga, memang sudah lebih baik. Setidaknya, menurut Cahayani, kini sudah ada meja dan lemari baru hasil sumbangan dari pemerintah, yang mungkin saja sudah mendapatkan laporan terkait kerja keras bidan muda ini.

Kini, setelah semuanya berjalan, kegiatan rutin yang dilakukannya adalah Posyandu dan imunisasi. “Dulu, sama sekali tak ada yang datang untuk melakukan imunisasi. Butuh waktu setahun untuk memberi pengertian warga. Hasilnya, sekarang mereka malah kadang menagih kapan waktu imunisasi,” sergahnya.

Saking giatnya bekerja, Cahayani mengaku hampir meninggal dunia. Ceritanya, ia jatuh sakit dan di desa tersebut tak ada yang berani untuk mengantarkan ke rumah sakit karena terhalang kondisi alam. Saking parahnya, ia merasa sudah meninggal dunia. Bahkan, warga desa sudah bertangisan kala melihat kondisi fisiknya yang terus melemah. Tapi keajaiban datang, dan akhirnya bisa melewati saat-saat kritis tersebut.

Apa yang dialami Cahayani tak berbeda jauh dengan kisah Ayu Pusparini. Godaan kota Denpasar yang menawarkan pekerjaan dengan gaji besar, plus kesempatan untuk menjadi remaja yang normal, rela ditinggalkannya. Ia justru memilih meneruskan sekolah ke jurusan kebidanan, dan tak tinggal di ibukota provinsi Bali tersebut. Hal yang mungkin dianggap aneh, karena jika bertahan di kota pariwisata itu, tentu saja penghasilan lebih besar.

Nyatanya, panggilan jiwa untuk berguna bagi masyarakat di desanya lebih besar. Walhasil, Jambu menjadi wilayah yang menjadikannya sebagai bidan desa. "Namun sepertinya panggilan jiwa untuk ke Dompu lebih kuat. Saya lalu berpikir untuk menanggalkan kesenangan di Bali. Kalau menuruti pikiran mudaku, jelas ini salah. Tapi, rasa pengabdian mengalahkan segalanya," tutur Ayu.

Ia sadar, apa yang didapat sekarang menjadi buah manis atas beberapa pengorbanan hidupnya. Satu contoh adalah saat ia harus meninggalkan Denpasar, Bali hanya untuk mengabdikan diri menjadi seorang bidan desa, di Desa Jambu, Kecamatan Pajo, Dompu, Nusa Tenggara Barat.

Meski berada di desa sendiri, bukan berarti langkah Ayu menjadi lebih mudah. Ia harus berjibaku dengan kondisi masyarakat, lingkungan dan tradisi, yang tak menguntungkan. Namun dengan modal kesadaran, juga determinasi untuk menyehatkan lingkungan desanya sendiri, semua beban menjadi ‘hiburan’.

Ayu mengaku harus memberi contoh bagaimana cara hidup sehat, yang secara teknis sebenarnya bukan tugas utamanya sebagai bidan. Berbekal ketelatenan, akhirnya ia bisa memberikan banyak solusi untuk menciptakan lingkungan dan masyarakat yang sehat.

“Bukan tugas mudah memang, tapi saya menikmatinya. Sekarang, hasil jerih payah saya sudah mulai terlihat, setidaknya lingkungan yang lebih nyaman menjadi harapan agar generasi masa depan dari desa ini benar-benar berkualitas,” katanya.

Harapan yang sangat besar, juga realita yang kini sudah dirasakan Cahayani, menjadi bukti kalau para srikandi berprofesi bidan desa tersebut sangat berperan. Bukan tidak mungkin, apa yang mereka kerjakan akan menciptakan putra-putri terbaik dari tempat mereka bekerja, yang suatu saat berstatus pemimpin di negeri ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun