Mohon tunggu...
Mohamad Nurfahmi Budiarto
Mohamad Nurfahmi Budiarto Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Think...than write...

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Mereka Meninggalkan Ego demi Kesehatan Masyarakat

31 Oktober 2014   07:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:05 1250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kepedulian tinggi terhadap kesehatan masyarakat memang ditunjukkan tiga bidan desa tersebut, yang rela bertugas di area terpencil dan akses yang terbilang susah. Di Lasondre misalnya, Cahayani harus berjibaku dengan ombak besar jika ingin pergi ke pusat pemerintahan, dengan lama perjalanan minimal satu jam. Begitu juga dengan Ayu, yang tak memiliki akses transportasi 24 jam ke area sumber kesehatan. Maria?, lebih ironis lagi karena ia harus bekerja sendiri untuk menyediakan semuanya, meski itu terjadi di awal-awal saat berjuang menyadarkan masyarakat.

Hebatnya, tiga bidan tersebut ternyata tak hanya mengerjakan sesuatu yang hanya sesuai dengan ‘job description’ mereka. Jika menilik kebiasaan bidan, mereka seharusnya hanya berurusan dengan imunisasi, pemeriksaan kesehatan ibu hamil dan pengobatan ringan jika ada warga yang sakit. Bahkan, jika ditarik lebih kecil lagi, para bidan tersebut sebenarnya hanya berurusan dengan ibu dan anak.

Namun, semua itu ternyata tak dilakukan tiga bidan yang menjadi contoh tadi. Selain tugas pokoknya, mereka juga berjibaku untuk terjun menyadarkan masyarakat desa tentang beragam hal. Mereka harus bekerja keras memberi pengertian terkait rumah yang sehat, sanitasi yang sesuai standar, lingkungan pembentuk suasana yang sehat, serta mengurus tetek bengek administrasi lainnya. Walhasil, mereka seperti ‘organ’ yang sanggup melakukan layanan one stop service. Sampai-sampai, mereka juga ikut terlibat aktif dalam menata lingkungan, seperti kerja bhakti dan sejenisnya.

“Bahkan tak jarang, saya pun ikut membersihkan langsung rumah warga. Kadangkala, warga juga berharap saya bisa mendesain rumah yang sehat, di mana tempat mandi, di mana tempat memasak sampai urusan meletakkan kotak obat yang memang di beberapa rumah ada,” ucap Cahayani.

Sekali lagi, semua itu tak datang dengan begitu saja. Bagi Cahayani, yang mendapatkan pendidikan formal di Akademi Kebidanan Ika Bina Labuhan Batu, Sumatera Utara, awal datang ke Lasondre membuatnya nyaris tak betah. Namun, karena memang itu menjadi pilihannya untuk mengabdikan diri pada masyarakat, semua dijalaninya dengan kemantapan hati. Semua yang ada sekarang adalah buah dari perjuangan sejak tahun 2011, sebuah langkah yang penuh kenangan pahit dan manis, dan membuatnya sempat lupa untuk berpacaran layaknya anak remaja lainnya!

“Dua malam pertama saya menangis, karena kondisinya memang sulit. Saya kurang diterima oleh warga, juga kepala suku, apalagi saya perempuan muda yang dianggap tak bisa berbuat apa-apa. Hal itu membuat mental saya hampir ambruk. Namun, semua itu dikuatkan dengan semangat, bukan untuk saya, tapi demi kepentingan mereka juga,” tutur Cahayani.

Ia bercerita, kegamangan dan ketidakpercayaan warga desa sangat beralasan. Karena, di tempat mereka ternyata sudah 12 tahun tak pernah ada lagi petugas kesehatan dari pemerintah yang menetap di sana secara permanen. Sudah ada beberapa yang mencoba bertahan, tapi paling lama hanya tiga hari berada di Lasondre.

Maklum, awal bekerja, di Lasondre tak ada infrastruktur yang memadai untuk upaya atau tindakan kesehatan. Sebut saja misalnya gedung atau rumah khusus untuk tenaga kesehatan yang tinggal di sana. Cahayani mengungkapkan, saat kali pertama datang pada 2011, dia tak menemukan gedung pemerintah yang berkategori layak pakai untuk digunakan untuk operasional sehari-hari. Ia hanya menemukan satu gedung yang tak sesuai dengan standar kelayakah rumah. “Hanya tinggal dinding saja yang belum runtuh. Selebihnya, seperti lantai dan atap, sudah pecah serta tak berbentuk. Saya berinisiatif untuk membenahi sendiri,” terangnya.

Proses perbaikan juga tak berjalan mulus, karena ia harus menyisihkan gajinya yang tak seberapa untuk membeli material dan menggaji tukang. Kini, saat semuanya sudah lebih baik, rumah yang menjadi tempat kerja Cahayani, menjadi satu lokasi favorit untuk sekadar berkumpul antarwarga. Belum selesai, karena dari dulu sampai sekarang, ia harus menerima beban biaya transportasi sendiri, tanpa bantuan dari pemerintah. Mungkin karena kesibukannya itu pula, sampai-sampai ia tak bisa menerima ‘pinangan’ beberapa pria yang telah mendekatinya. “Lucu memang, tapi sepertinya tak ada kesempatan untuk berpacaran atau menjalin cinta. Di alam pikiranku, saya harus memastikan terlebih dulu kalau warga dan lingkungannya selalu sehat,” ucapnya, sembari tersenyum getir, mungkin karena seringkali melihat teman-teman lainnya yang hidup di kota, sudah berpacaran dan bersenang-senang.

Kini, kondisi rumah yang juga tempatnya berjaga, memang sudah lebih baik. Setidaknya, menurut Cahayani, kini sudah ada meja dan lemari baru hasil sumbangan dari pemerintah, yang mungkin saja sudah mendapatkan laporan terkait kerja keras bidan muda ini.

Kini, setelah semuanya berjalan, kegiatan rutin yang dilakukannya adalah Posyandu dan imunisasi. “Dulu, sama sekali tak ada yang datang untuk melakukan imunisasi. Butuh waktu setahun untuk memberi pengertian warga. Hasilnya, sekarang mereka malah kadang menagih kapan waktu imunisasi,” sergahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun