Saking giatnya bekerja, Cahayani mengaku hampir meninggal dunia. Ceritanya, ia jatuh sakit dan di desa tersebut tak ada yang berani untuk mengantarkan ke rumah sakit karena terhalang kondisi alam. Saking parahnya, ia merasa sudah meninggal dunia. Bahkan, warga desa sudah bertangisan kala melihat kondisi fisiknya yang terus melemah. Tapi keajaiban datang, dan akhirnya bisa melewati saat-saat kritis tersebut.
Apa yang dialami Cahayani tak berbeda jauh dengan kisah Ayu Pusparini. Godaan kota Denpasar yang menawarkan pekerjaan dengan gaji besar, plus kesempatan untuk menjadi remaja yang normal, rela ditinggalkannya. Ia justru memilih meneruskan sekolah ke jurusan kebidanan, dan tak tinggal di ibukota provinsi Bali tersebut. Hal yang mungkin dianggap aneh, karena jika bertahan di kota pariwisata itu, tentu saja penghasilan lebih besar.
Nyatanya, panggilan jiwa untuk berguna bagi masyarakat di desanya lebih besar. Walhasil, Jambu menjadi wilayah yang menjadikannya sebagai bidan desa. "Namun sepertinya panggilan jiwa untuk ke Dompu lebih kuat. Saya lalu berpikir untuk menanggalkan kesenangan di Bali. Kalau menuruti pikiran mudaku, jelas ini salah. Tapi, rasa pengabdian mengalahkan segalanya," tutur Ayu.
Ia sadar, apa yang didapat sekarang menjadi buah manis atas beberapa pengorbanan hidupnya. Satu contoh adalah saat ia harus meninggalkan Denpasar, Bali hanya untuk mengabdikan diri menjadi seorang bidan desa, di Desa Jambu, Kecamatan Pajo, Dompu, Nusa Tenggara Barat.
Meski berada di desa sendiri, bukan berarti langkah Ayu menjadi lebih mudah. Ia harus berjibaku dengan kondisi masyarakat, lingkungan dan tradisi, yang tak menguntungkan. Namun dengan modal kesadaran, juga determinasi untuk menyehatkan lingkungan desanya sendiri, semua beban menjadi ‘hiburan’.
Ayu mengaku harus memberi contoh bagaimana cara hidup sehat, yang secara teknis sebenarnya bukan tugas utamanya sebagai bidan. Berbekal ketelatenan, akhirnya ia bisa memberikan banyak solusi untuk menciptakan lingkungan dan masyarakat yang sehat.
“Bukan tugas mudah memang, tapi saya menikmatinya. Sekarang, hasil jerih payah saya sudah mulai terlihat, setidaknya lingkungan yang lebih nyaman menjadi harapan agar generasi masa depan dari desa ini benar-benar berkualitas,” katanya.
Harapan yang sangat besar, juga realita yang kini sudah dirasakan Cahayani, menjadi bukti kalau para srikandi berprofesi bidan desa tersebut sangat berperan. Bukan tidak mungkin, apa yang mereka kerjakan akan menciptakan putra-putri terbaik dari tempat mereka bekerja, yang suatu saat berstatus pemimpin di negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H