Hamid masih dalam keterperangahan kala sebuah tangan menariknya ke salah satu meja di pojok ruangan. Andi mengajak Hamid duduk di meja kosong, lalu meninggalkannya sendiri. Disela kesendiriannya, Hamid berdo'a terus agar ia selamat sampai kembali kerumah.
Disana Andi dan temannya yang lain minum seperti biasa. Sedangkan Hamid disuguhi kopi panas dan makanan ringan. Tinggal disana selama beberapa jam saja ia seperti ada di neraka. Bau alkohol menyeruak kesegala sudut ruangan remang-remang itu. Sampai-sampai ia ingin muntah. Tapi mau tidak mau, ia musti menahannya.
Ketika senja mulai menampakkan diri, Hamid minta undur diri. "An, gue pulang sekarang, ya?" Ucap Hamid saat Andi kebetulan menghampirinya dalam keadaan setengah mabuk.
"Gue anterin aja. Ayo!" Takut-takut Hamid menerima tawaran itu. Namun, bagaimana lagi? Dalam keadaan mabuk bisa-bisa kawan kecilnya itu malah emosi saat niat baiknya ditolak. Muncul inisiatif lain dalam benak.
"Gue aja yang nyetir, An. Gue ngga mau mati cepet. Lah keadaan lo kayak gini?" Untunglah perdebatan kecil antara keduanya segera mereda. Andi mengalah dan membiarkan Hamid memboncengnya.
Sebelum maghrib Hamid sampai dirumah. Hela napas lega dihembuskan begitu ketakutannya tak terjadi. Namun perasaannya belum tenang. Ia langsung bercerita kepada ayahnya apa yang baru saja dialami.
"Hamid, ayah tidak pernah melarang kamu berteman dengan siapa saja. Ayah memang tak bisa memantaumu langsung, tapi ingat, Mid. Allah akan menjaga hamba-Nya tanpa luput secuilpun. Dengan Hamid menjaga Allah dalam hati, menjaga sholat, dan mengaji Al-Qur'an dimanapun dan kapanpun. Pasti Allah juga menjagamu, Nak. Jangan takut. Allah lebih dekat dibandingkan dengan urat nadimu sendiri."
***
"Nak! Temen kamu, Andi!" panggil sang ayah dari teras rumah.
"Iya, Bi!" Hamid menyalami Andi lalu duduk disampingnya.
Setelah beberapa menit diam, ayahnya dan Hamdi sempat dibuat terkejut. Andi bertanya perihal keberadaan Hamdi. Padahal jelas-jelas ada di sampingnya.