Bulan Ramadhan mulai dekat. Atmosfer disekitarnya terasa berbeda dari hari sebelumnya. Bau semerbak bulan suci nan berkah ini dirasakan oleh semua kaum muslim, termasuk Hamid.Â
Ia menyambut bulan Ramadhan dengan gembira yang terhitung dua hari lagi dari hari ini. Puasa kali ini, ia full berada di rumah, menikmati liburan panjang bersama keluarga dan sanak saudara.
Hamid begitu bersemangat saat hampir sampai dirumahnya. Kerinduannya membuncah setelah hampir satu tahun ia tak pulang ke kampung halaman tercinta.Â
Sejak kecil ia telah dididik mandiri, umur 4 tahun sudah ditinggal untuk mengenyam pendidikan di pesantren. Tidak heran jika pondok pesantren adalah rumah kedua baginya.
Sampai didepan rumah, ternyata banyak yang telah menunggu kedatangannya. Senyumnya makin merekah, belum lagi ucapan salam beserta tatap penuh rindu yang tersirat di wajah kedua orangtua. Hamid mencium tangan sang ayah dan ibu penuh khidmat, tak lupa memberi pelukan yang lama tak ia lakukan karena dipisah ruang dan waktu.
"Kamu kemarin dicari Andi, katanya kangen lama nggak ketemu kamu." Ibunya membuka pembicaraan setelah melepas rengkuhan. "Mungkin sebentar lagi dia kesini," lanjut ibu.
"Iya, Bu. Hamid temui nanti setelah mandi, badan lengket semua." Hamid memberi ekspresi jijik pada dirinya sendiri.
Sang ibu tertawa ringan. "Ya, sudah. Mandi dulu sana."
Hamid mengiyakan dan langsung bergegas masuk kamar dan membersihkan diri. Segera mendirikan sholat ashar di atas sajadah yang terbentang begitu mendengar suara yang tak asing lagi di telinganya.
"Hei, Mid. Gimana kabar lo?" tanya Andi langsung saat tahu Hamid keluar dari kamarnya.
"Assalamu'alaikum, An. Alhamdulillah..., baik. Seperti yang kamu lihat." Mereka berbincang-bincang selayaknya teman karib kebanyakan. Tak lama, Andi berpamitan untuk mengajak Hamid bersamanya. Orangtua Hamid mengizinkan, percaya bahwa Hamid akan baik-baik saja.
"Emang kita mau kemana?" Hamid membuka pembicaraan ketika sampai di lampu merah, belum jauh dari rumah Hamid.
"Nanti juga tahu sendiri." jawab Andi enteng. Ia malah melaju lebih cepat dari sebelumnya. Dengan cepat dan sigap mendahului pengguna jalan lainnya.
Tempat yang tak terlalu jauh dari rumah Hamid. Jika ditempuh menggunakan kendaraan bermotor hanya butuh waktu kurang dari sepuluh menit. Namun, tempat ini amat asing bagi Hamid. Tampak tak terawat, banyak coretan-coretan di dinding gedung, sepi dan tak nyaman meski hanya dipandang. "Ini tempat apa, An?" Hamid mulai curiga dan terbesit rasa takut dalam hatinya.
"Ayo, masuk aja." Andi tak menghiraukan pertanyaannya. Hamid hanya bisa mengikuti langkah Andi untuk masuk ke dalam.
Dugaannya benar. Andi ternyata masih minum minuman beralkohol. Kekhawatiran Hamid makin menjadi. Ia berharap dalam cemas begitu melihat banyak orang---yang dipastikan teman Andi---sedang menghuni ruangan remang itu.
"Woy, Ndi! Siapa tuh? Temen baru?" Kata salah satu teman Andi, tangannya memegang sebotol minuman keras dan sesekali meneguknya.
"Ini teman lama kita. Hamid. Di SD dulu."
Andi mengenalkan Hamid pada seseorang yang seingat Hamid bernama Bagus. Teman mereka sekelas selama SD dulu. Dengan langkah yang goyah dan tak karuan karena mabuk. Aroma alkohol merangsek masuk ke indera penciuman saat Bagus mendekati Hamid.
"Sori, Mid. Gue lupa." Hamid hanya tersenyum dipaksakan. "Lo mau?" Bagus menodongkan botol alkohol padanya. Hamid menggeleng kecil, mungkin tidak tertangkap penglihatan saat Bagus justru meraih tangannya agar menerima botol itu.
Belum sampai Hamid melayangkan penolakan tegas, Andi menghalangi. "Eh, lo semua jangan macem-macem sama temen gue satu ini. Sampe lo berani macem-macem, gua tonjokin lo semua satu persatu!" ketus Andi.
Mendengar sebuah ancaman penuh keseriusan, semua temannya langsung memilih diam. Hamid bingung berdiri diantara mereka. Yang membawanya ketempat hina itu malah secara langsung melindunginya.Â
Hamid masih dalam keterperangahan kala sebuah tangan menariknya ke salah satu meja di pojok ruangan. Andi mengajak Hamid duduk di meja kosong, lalu meninggalkannya sendiri. Disela kesendiriannya, Hamid berdo'a terus agar ia selamat sampai kembali kerumah.
Disana Andi dan temannya yang lain minum seperti biasa. Sedangkan Hamid disuguhi kopi panas dan makanan ringan. Tinggal disana selama beberapa jam saja ia seperti ada di neraka. Bau alkohol menyeruak kesegala sudut ruangan remang-remang itu. Sampai-sampai ia ingin muntah. Tapi mau tidak mau, ia musti menahannya.
Ketika senja mulai menampakkan diri, Hamid minta undur diri. "An, gue pulang sekarang, ya?" Ucap Hamid saat Andi kebetulan menghampirinya dalam keadaan setengah mabuk.
"Gue anterin aja. Ayo!" Takut-takut Hamid menerima tawaran itu. Namun, bagaimana lagi? Dalam keadaan mabuk bisa-bisa kawan kecilnya itu malah emosi saat niat baiknya ditolak. Muncul inisiatif lain dalam benak.
"Gue aja yang nyetir, An. Gue ngga mau mati cepet. Lah keadaan lo kayak gini?" Untunglah perdebatan kecil antara keduanya segera mereda. Andi mengalah dan membiarkan Hamid memboncengnya.
Sebelum maghrib Hamid sampai dirumah. Hela napas lega dihembuskan begitu ketakutannya tak terjadi. Namun perasaannya belum tenang. Ia langsung bercerita kepada ayahnya apa yang baru saja dialami.
"Hamid, ayah tidak pernah melarang kamu berteman dengan siapa saja. Ayah memang tak bisa memantaumu langsung, tapi ingat, Mid. Allah akan menjaga hamba-Nya tanpa luput secuilpun. Dengan Hamid menjaga Allah dalam hati, menjaga sholat, dan mengaji Al-Qur'an dimanapun dan kapanpun. Pasti Allah juga menjagamu, Nak. Jangan takut. Allah lebih dekat dibandingkan dengan urat nadimu sendiri."
***
"Nak! Temen kamu, Andi!" panggil sang ayah dari teras rumah.
"Iya, Bi!" Hamid menyalami Andi lalu duduk disampingnya.
Setelah beberapa menit diam, ayahnya dan Hamdi sempat dibuat terkejut. Andi bertanya perihal keberadaan Hamdi. Padahal jelas-jelas ada di sampingnya.
"Pak, Hamid ada?"
Raut wajah bingung juga terlihat dalam diri ayah, tapi tidak berlangsung lama. Beliau baru menyadari sesuatu. "Astaghfirullah, Hamid ada disampingmu, nak."
Andi seperti orang bingung, ia menatap ke sana-sini tanpa tujuan jelas. Bola matanya berputar kemana saja. Abi semakin khawatir melihat keadaan teman anaknya ini. Lalu beliau menyuruh Hamdi mengantar pulang ke rumahnya.
Hamdi bergerak cepat. Ia belum mengerti situasi, belum menangkap apa maksud sang ayah yang mengutus untuk segera mengantar temannya itu. "Yah, emang Andi kenapa, kok kaya gitu?" tanya Hamdi saat baru sampai dirumahnya.
"Dia sakau," jawab ayah Hami singkat lalu masuk ke dalam rumah.
***
Seminggu kemudian, terdengar bahwa Andi masuk ke rehabilitasi narkoba di Surabaya. Sontak membuat siapa saja yang mendengar kaget, apalagi Hamid. Teringat kejadian minggu lalu yang membuat semua orang geleng kepala tak percaya.
Dilain sisi, Hamid bersyukur tidak terpengaruh model pergaulan seperti itu. Padahal hampir setiap hari Andi dan beberapa teman lainnya bermain bersama.. Betapa nyata apa yang dikatakan ayahnya beberapa minggu yang lalu. Allah menjaganya meski bukan dalam bentuk nyata. Allah menjaga iman, hati dan lisannya agar senantiasa terpaut dengan-Nya dimanapun dan kapanpun.
Sholat adalah salah satu cara manusia bertaqarrub dengan Robbnya. Sholat adalah tiang keyakinan. Jika pondasi kuat, yang lainpun pasti mengikuti. Jika ibadah dapat istiqomah, Ridlo Allah pasti mendampingi di atas segala pilihan hidup kita.
Wallaahu A'lam.
#kompasiana #religi #truestory #cerpen #cerpenkompasiana #guardian #thebestguardian #hamid #saynotodrugs #loveallah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H