Pada konteks politik Indonesia, pesan yang disampaikan sering bertumpu pada janji-janji politik, visi dan misi calon, serta kritik kepada oposisi. Efektivitas pesan ini sangat bertentangan pada keahlian politisi untuk menyatukan pesan mereka dengan harapan dan kebutuhan pemilih. Berbagai macam partai politik dan politisi berhasil membangun pesan yang tepat dengan kondisi terkini di Indonesia, seperti penekanan pada isu kesempatan kerja, ekonomi, atau pemberantasan korupsi. Berbagai seperti ini sering kali menyentuh hati pemilih, khususnya yang memang hidup di kalangan ekonomi kelas bawah.
Meskipun begitu, tidak semua pesan yang disampaikan bisa diterima dengan baik oleh pemilih. Kesalahan pada saat menyampaikan pesan, seperti terlalu banyak retorika kosong atau ketidakjelasan janji politik, bisa mengakibatkan pesan tersebut tidak efektif dan dapat menurunkan kepercayaan pemilih. Misalnya, jika janji politik tidak pernah terlaksanakan, pemilih dapat merasa kecewa dan kehilangan kepercayaan kepada tokoh politik tersebut. Hal tersebut akan berakibat kepada tidak terciptanya hubungan emosional yang kuat antara pemilih dan tokoh politik.
Kesimpulannya, Efektivitas strategi komunikasi tidak hanya berfokus pada seberapa menarik pesan yang dikemukakan, akan tetapi pada kejujuran, relevansi dan konsistensi antara realisasi di lapangan dan janji politiknya. Polarisasi muncul sebagai efek dari strategi komunikasi kritis yang harus dikelola agar tidak merusak tatanan sosial.
Suatu strategi yang berhasil disampaikan tidak hanya mendapatkan suara, tetapi juga membuat koneksi jangka panjang yang integritas dan kredibilitas. Komunikasi politik dalam demokrasi tidak hanya seni menjual janji, tetapi bagaimana komitmennya mampu membawa perubahan nyata yang sesuai dengan apa yang di harapkan oleh masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H