Mohon tunggu...
Nuraga Kita
Nuraga Kita Mohon Tunggu... Mahasiswa - Menulis adalah seni untuk mengekalkan diri

Suatu ruang untuk berbagi kisah, Cerita dan cinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gelas Kaca

12 Januari 2023   21:52 Diperbarui: 12 Januari 2023   22:01 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar gelas kaca via Pixabay 

Aku hanya gadis biasa, tidak cantik dan mungkin tidak menarik. Aku tidak pernah punya pacar dalam hidupku. Kehidupanku monoton. Tapi ada seseorang yang bersarang dalam hatiku selama hampir tiga tahun ini.

Dia, Gama Danendra.

Teman sekelasku selama hampir tiga tahun ini,dan aku sudah menyukainya selama itu.

Oh iya Aku Anna, Rannabella. kata orang aku hanya seorang remaja SMA yang ceroboh suka sekali membuat kekacauan dengan tangan mungilku. Padahal aku tidak berniat melakukannya, semuanya seakan terjadi begitu saja.

Seperti sekarang.

Prang!

"Anna!" Teriakan itu berasal dari dapur,ibu datang tergopoh-gopoh dengan sendok di tangannya. Sepertinya ibu sedang memasak.

Tapi bukan itu masalahnya!

"Maaf Bu,aku gak sengaja."Aku tidak berani mendongak melihat wajah marah ibu. Aku menunduk melihat serpihan gelas kaca yang tidak sengaja ku senggol,dan berakhir mengenaskan di lantai.

Aku mendengar ibu yang menghela napas lelah."Kamu selalu seperti ini anna,habis semua barang kaca di rumah ini!terutama gelas kaca, sudah banyak yang kamu pecahkan!" 

Aku tidak mengelak, karena itu memang benar adanya. Aku tidak paham,entah kesialan apa yang selalu ku dapat sehingga semua barang yang ku pegang akan hancur, terutama gelas kaca.

"Bersihkan itu, ibu mau lanjut memasak."Ibu pergi dengan wajah kesalnya. Aku tidak tega melihat itu, ibu hanya selalu memarahiku sebentar kemudian pergi dengan kekesalannya. Aku tau itu, karena ini bukan yang pertama kalinya.

Aku berjongkok dan membersihkan kekacauan yang ku buat dengan tanganku, tidak menggunakan sapu tangan atau menyapunya saja, karena aku suka saat.....

Darah menetes ke lantai.

Rasanya sakit, tapi menyenangkan di satu waktu. Anggap saja ini hukuman untukku yang selalu membuat ibu kesal.

Entah sudah berapa banyak barang kaca yang aku hancurkan dengan tanganku, dan sebanyak itu pula aku sengaja melukai tanganku. Tentu saja tanpa sepengetahuan ibu.

Aku selalu mengatakan pada ibu." Tangan Anna tidak sengaja tergores."

Dan ibu selalu menjawab, "pakai sarung tangan Anna."

Setelah beres, aku mendengar suara ibu yang menyuruhku untuk makan. Aku menyembunyikan tangan kiri ku yang tadi terluka ke saku jaket yang tengah ku pakai. Ibu tidak boleh tau aku luka, atau nanti dia akan tambah marah.

"Anna ,ayo makan!" 

"Iya Bu." 

Aku duduk manis di kursi meja makan, meringis melihat alat makanku yang bahannya plastik semua. Karena jika itu bahan kaca, maka mungkin bukan hanya nasinya yang habis tapi dengan piring-piringnya juga akan ikut habis di lantai.

"Mulai sekarang kamu makan di piring plastik, gelas sendok semuanya plastik. Paham?"

Aku mengangguk saja mendengar penjelasan ibu. Aku tidak tersinggung sama sekali dengan perlakuan ibu, mungkin ini bisa menjadi solusi dari permasalahan ku. Semoga saja. 

Aku dan ibu makan dengan tenang,sejauh ini aman. Tidak ada kekacauan yang aku lakukan.

"Anna izin ke kamar." Aku mendengar ibu hanya bergumam tidak jelas. Masih dengan tangan kiri di saku jaketku aku segera berdiri, menaiki tangga satu persatu menuju kamarku. Aku merebahkan diri di kasur empukku, mataku menatap langit-langit kamarku yang penuh dengan jenis origami. 

Itu aku yang membuatnya sendiri. Ternyata selain suka memecahkan barang,tanganku juga sedikit mempunyai bakat.

Pukul 16.45.rupanya tanpa sadar aku tertidur tadi.aku berdiri dengan lunglai menuju kamar mandi di kamarku. Setelah membasuh wajah aku segera turun kelantai bawah. Mungkin menonton tv bukan ide yang buruk.

"Anna ! Ibu tadi kepasar, dan membelikan kamu martabak, pergih ambil di meja makan." 

Wah martabak, ibu memang paling tau kesukaanku. Aku berlari menuju dapur dan mendapati sekotak martabak, aku tersenyum sumringah melihatnya.

Aku kembali bergabung bersama ibu dengan sekotak martabak di tanganku yang tengah menonton tv di ruang tengah. Tanganku asik mencomot martabak tapi mataku terarah pada layar televisi. Di rumah luas ini, aku hanya berdua dengan ibu, aku anak tunggal. Ayah meninggal saat aku baru menginjak bangku SMP. Dan sekarang aku sudah SMA, tepatnya Kelas XII SMA.

Sudah lama sekali....

Bersambung.    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun