Mohon tunggu...
Nuraeny Hamid
Nuraeny Hamid Mohon Tunggu... Apoteker - Nuwi

Pharmacist, pengajar dan Ibu dari satu putra. Jatuh cinta dengan dunia literasi untuk terus bisa memanfaatkan diri tanpa batas.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kisah di Ujung Pena

8 Mei 2022   10:38 Diperbarui: 9 Mei 2022   06:16 2227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

'Beri tahu aku, agar aku bisa pulang tanpa harus tersesat lebih lama'.

Kalimat terakhir yang aku tulis di buku agenda. Satu kalimat pengingat agar secepatnya bisa menjadi "aku" yang dulu. Yang lupa rasanya jatuh cinta dan merindu. 'Benarkah rindu itu berat?' seperti yang diucapkan Dilan untuk Milea.

'Huuffff, kasihan kamu, Lee,' gumamku, sambil menutup buku agenda. 

Berkas cahaya matahari pagi mulai jatuh di permukaan daun, membuat kilauan yang cantik ketika menyentuh embun yang menggantung di ujungnya. Perlahan bergerak, dan jatuh.


Sekelumit senyum aku sunggingkan di wajah yang makin hari makin pucat. Tergambar jelas di kaca jendela  kalau aku memang sudah tidak muda lagi.

Ponsel bergetar, layar menyala, tanda notifikasi satu pesan baru sudah masuk. Aku hanya menatapnya, pesan ke dua, ke tiga dan tak lama berselang, sudah lima pesan baru tertulis di layar. Aku beringsut dari tempat tidur, ujung kaki menyentuh Poporing  --boneka kucing berwarna kuning, tergeletak di lantai. Mungkin semalam dia lepas dari pelukanku dan jatuh.

[Yang, aku sudah di kantor, ya?]
[Kamu hari ini ke mana?]
[P]
[P]
[P]

Chat beruntun yang setiap pagi dikirimnya untukku. Ya, dipungkiri atau tidak, chat itu selalu kutunggu kehadirannya setiap pagi.

[Ya]
[Lokasi 1], jawabku singkat.

Aku buka galeri, satu gambar sepasang kekasih tengah berdiri berdampingan dengan latar pemandangan asri khas Bali.

Bodoh, mereka begitu serasi. Dengan berat ku embuskan napas. Melemparkan ponsel ke atas bantal, lalu jatuhkan tubuh ke kasur.

Aku, Nuwi,  janda satu anak, jatuh cinta dengan laki-laki yang usianya terpaut 10 tahun lebih muda dariku. Awalnya aku yakin, cinta kita itu benar adanya, dia memiliki perasaan yang sama. Pertemuan yang tanpa disengaja, kedekatan yang tak terencana, membuatku kembali jatuh di perasaan yang sudah terlupakan bagaimana rasanya.

Sampai di saat aku tertampar dengan keadaan, kalau kita berbeda. Namanya Govin. Dia membohongiku, dengan menggandeng perempuan lain dengan usia sebaya dengannya. Muda, cantik, karyawan sebuah Bank swasta di Jakarta. Lalu, pantaskah aku marah? Sementara tidak ada sisi baik yang aku punya. Status ini membuatku teramat buruk untuk bisa disandingkan dengannya, untuk bisa hidup dan bertahan bersama anaku saja, aku mengambil tiga pekerjaan sekaligus. Dalam satu hari, empat sampai lima lokasi harus dilewati.

Bangun tidur, mengecek jadwal dan daftar kegiatan yang harus aku jalani. Dimulai dari mengantar anak sekolah, kemudian lanjut ke lokasi 1, tempat kerja pertamaku sebagai karyawan sebuah toko. Jam istirahat, aku harus balik ke sekolah Ollyf --anak semata wayangku, mengantarkan bekal makan, lalu kembali ke lokasi 1. Jam 2 siang lanjut menuju lokasi 2, tempat kerja paro waktuku, mengajar di salah satu tempat bimbingan belajar. Pukul 15.30, aku kembali ke sekolah Ollyf untuk menjemputnya dan mencari tempat untuk kami makan bersama. Di saat itulah aku bisa mendengarkan cerita Ollyf seharian di sekolah. Setelah  makan, aku  mengantarkannya ke tempat les, kemudian kembali ke lokasi 2. Lokasi 3 adalah tempat kerja terakhirku, menjadi guru les private untuk anak-anak dari beberapa teman dekat.

Skedjulku padat, bukan? melebihi wanita karir. Bayangkan, dari sisi mana aku bisa lebih baik dari wanita itu? Status perkawinan, status sosial ekonomi, derajat kecantikan, tingkat kepantasan semua ada di bawah standar.

Suara telepon masuk memecah lamunanku.

"Yang, kamu di mana?" tanya Govin di ujung telepon.

"Di rumah. Kenapa?" jawabku masih dengan posisi terlentang di atas kasur dengan kaki menjuntai ke lantai.

"Katanya lokasi 1?"

"Aku gak enak badan, jadi ini masih tiduran."

"Hmmm, kamu kenapa?"

Aku terdiam, merasa tak penting lagi memberitahunya tentang kondisiku sekarang.

"Yang, aku minta maaf," ucapnya lirih.

"Iya, tidak ada yang perlu dimaafkan jadi kamu gak perlu minta maaf."

"Yang, aku sayang sama kamu."

Aku terdiam, tenggorokan tiba-tiba seperti terganjal sesuatu. Air mata mulai mengambang di kelopak mata. Mencoba menahan agar tak ada satu bulir pun yang jatuh.

"Yang, jawab dong, kamu diam beberapa hari ini."

"Sepertinya kata-kata sayang kamu sudah gak ada artinya, karena smua percuma, tak merubah apapun." Suaraku berat, menahan tangis yang ingin pecah sejak tadi.

"Sayangku tidak berubah, cara pandangmu yang berubah."

"Kamu tahu apa yang aku mau, kan? aku gak mau ada perempuan itu diantara kita, bukan karena cara pandangku yang berubah, sejauh ini aku sudah mencoba memahamimu, berharap seiring waktu kamu menjadikanku wanita satu-satunya, tapi semua waktu yang aku beri untukmu tak merubah apapun, jadi cukup! waktuku bukan hanya untuk urusin itu." Akhirnya basah juga mata ini. Tak bisa dibendung lagi.

Govin terdiam.

"Aku menunggumu, tapi kamu tak kunjung datang." Aku mulai terisak.

"Maaf, Yang. Aku yang salah, aku yang bodoh,  menganggap kalau aku sudah ada untukmu."

"Tapi nyatanya, tidak. Kamu tidak bodoh, kamu hanya mencari titik aman, kalau kamu mau mempertahankan kita, kamu tahu harus bagaimana. Datanglah ke sisiku selagi kamu masih bisa, tanpa dia."

"Iya, Yang. Aku berusaha untuk itu."

"Selagi kamu berusaha, aku juga akan berusaha untuk kemungkinan terburuk, kamu gagal. Jadi maaf, selama itu kita jangan dulu berkomunikasi." kataku sambil menghapus air mata yang sudah membasahi sprai.

"Tapi, Yang, gak bisa kalau gak komunikasi."

"Bisa, sampai masing-masing dari kita tau seberapa penting arti kita."

"Tapi, Yang ...."

Aku sentuh tanda off di ponsel. Menarik napas panjang, dan mengembuskannya dengan kuat.

Kita, dua orang dewasa, yang salah jatuh cinta. Kenyamanan sudah membuat perangkap tersendiri untuk kita berdua, sehingga kita terjebak di dalamnya dan tidak bisa keluar dengan mudah. Kita berdua sudah tersesat, tersesat di tempat yang seharusnya tak pernah kita coba datangi, singgahi dan lewati. Jika kita dua orang dewasa, harusnya sudah tahu apa yang terbaik untuk kehidupan kita selanjutnya. Jika memang berpisah lebih baik, biarlah kita berpisah juga dengan baik. Cukup kejadian ini membuatku menjadi perempuan yang merasa rendah diri, merasa tak ada kebanggaan apapun untuk bisa membuatku tegak berdiri.

Status janda tak akan mudah diterima oleh masyarakat yang masih memegang teguh budaya. Govin laki-laki gagah, single, perjaka dari keluarga terhormat di daerahnya,  akan tidak mudah memasukanku di lingkungan sosialnya.

Tak terasa sesuatu yang hangat mengalir keluar dari hidungku. Setengah terperanjat aku angkat tubuh, tangan kanan menahan cairan merah kental yang semakin deras keluar dari kedua lubang hidungku. Sesaat kepalaku merasakan seluruh ruangan berputar, spontanitas bangun dari posisi berbaring mungkin sedikit membuat keseimbangan tubuh terganggu.

Mataku terpejam, keringat dingin keluar dari seluruh pori-pori permukan kulit. Perlahan turun dari tempat tidur dan duduk di lantai bersandar dengan kepala mendongak ke langit-langit kamar. Tangan menggapai kotak tisu yang tidak jauh terimpan di atas meja kecil di samping tempat tidur. Dengan mata masih terpejam, aku sumbatkan tisu ke kedua lubang hidung, berharap darah tak terus keluar. Mencoba menenangkan diri, membuat semuanya relax, atur napas dan seluruh emosi, berharap semua ketegangan dari beberapa persyarafan di tubuh berkurang. Tak terasa air mata kembali mengalir. Dengan tetap atur napas dan mata terpejam, sedikit senyum aku sunggingkan di bibir, ada cerita pilu yang begitu menekan dadaku, begitu kuat, begitu berat.

Ponsel berbunyi lagi, aku bersihkan darah yang menempel di tangan dengan tisu. Dengan cepat aku raih ponsel menerima panggilan masuk.

"Wi, assalamualaikum," satu suara yang aku kenal di ujung telepon, Mira.

"Waalaikumsalam. Ya, ada apa, Ra?" jawabku sambil menyandarkan lagi kepala di pinggir tempat tidur.

"Aku di rumah sakit, Wi," jawab Mira.

"Lhaa, siapa yang sakit?"

"Aku, Wi. Jatuh dari tangga."

"Lhaa, kok bisa, Ra?"

"Entahlah, kayaknya aku ngelamun, tau-tau udah jatoh aja."

"Emang kamu ngapain?"

"Aku benerin genteng, Wi. Pas turun, satu anak tangga kayaknya kelewat gak keinjek, jatuh deh. Hehhee, dasar, lagi sial aku, Wi."

"Ya Allah, Ra. Kenapa gak nyuruh orang aja, sih?"

"Hehee, tetanggaku yang cowok pada enggan kalo aku mintai bantuan, takut sama istri-istrinya kali." Mira terkekeh.

"Kok, gitu?" tanyaku heran.

"Kamu kan tau, aku Janda."

"Ya, terus? Kenapa kalau janda? Gak boleh dibantu apa?" tanyaku dengan nada sedikit tinggi.

"Susah Wi, kamu gak tau rasanya jadi aku, secara gitu, janda tu image nya gimana, ya? Susah, Wi. Aku gak bisa ceritain."

Aku terdiam sesaat, hati kecilku begitu terusik. Aku tahu rasanya menjadi Mira, karena aku pun sama seperti dia, hanya saja dia tidak tahu status pernikahanku sebenarnya.

Status ini sedikit banyak membuat hidup kita tidak berjalan dengan normal. Selalu dicurigai, selalu menjadi buah bibir dan gunjingan. Ada stigma yang kerap melekat, manja, lemah, tidak mandiri, penggoda dan sebagainya. Inilah salah satu alasan mengapa aku menutupi perceraianku dari orang-orang. Dan sekalinya aku mencoba berdamai dengan keadaan, penolakan tetap terjadi, pun dari Govin, orang yang paling aku harapkan untuk menjadi teman di sisa hidupku nanti.

Ya, ada yang harus pergi dan tidak bisa kembali, bukan masalah prinsip, bukan juga tentang kata cinta yang sudah tak sefaham. Inilah hidup, setiap manusia mempunyai kisahnya masing-masing, tak ada yang bisa menawar alur hidup seperti apa yang diinginkan untuk dilalui, dan mana yang tidak ingin dilalui. Disinilah hakekat kemerdekaan hidup yang tidak pernah sama untuk setiap orang, meski nyatanya manusia terlahir dalam keadaan merdeka, bahkan meyakini bahwa Tuhan pun tidak memberi paksaan pada umatnya untuk menyembah Tuhan yang mana, tak ada satu hak pun yang mampu melarangnya. Kita merdeka dalam menjalani hidup, merdeka berfikir, merasa dan menilai.

Lalu, mengapa begitu pongahnya mereka membatasi hak orang  lain hanya dari satu status yang Tuhan saja membolehkan meski sebenarnya Dia membenci perceraian.

Inilah kita, para single fighter, yang harus terus memulihkan diri dari setiap kekecewaan yang diterima untuk sekedar 'hidup'.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun