Mohon tunggu...
Nur AbdulAzis
Nur AbdulAzis Mohon Tunggu... Wiraswasta - Time is your fate

Nama: Nur Abdul Azis/ Anjas Umur : 23 Hobi : Bernafas Food : Nasi goreng

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Media Sosial dan Berbagai Problematikanya

27 Oktober 2019   18:27 Diperbarui: 27 Oktober 2019   18:44 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Peradaban sudah kian tergerus zaman,manusia dimuka bumi secara komprehensif mulai  meninggalkan hal-hal yang bersifat konvensional dan beralih ke teknologi digital.

Dewasa ini, hampir bisa dipastikan bahwa semua orang memiliki smartphone, dan tidak bisa dipungkiri juga bahwan setiap orang yang mempunyai smartphone itu juga memiliki akun media sosial seperti: Facebook, Twitter, Instagram, dan lain sebagainya. Kondisi ini seperti sebuah kelaziman yang mengubah tentang bagaimana cara berkomunikasi pada era serba digital seperti sekarang ini.

Jika dahulu, perkenalan atau komunikasi dilakukan dengan cara konvensional, yakni di iringi dengan saling tukar kartu nama ataupun hanya sekedar mengirim surat biasa. Sekarang setiap kita bertemu atau berkenalan dengan orang baru itu cendrung hanya bertukar akun atau membuat pertemanan di media sosial.

Berbagai macam aspek kehidupan manusia, seperti komunikasi dan interaksi, juga mengalami perubahan yang sebelum nya tidak pernah diduga. Dunia seolah-olah tidak memiliki batasan (borderless), tidak ada kerahasiaan yang ditutup-tutupi. Kita bisa mengetahui aktivitas orang lain melalui media sosial, sementara kita tidak pernah kenal ataupun bertatap muka dengannya.

Pada saat ini juga, dimana relasi pertemanan serba dilakukan melalui media sosial, menggunakan media baru yang dioperasikan melalui situs-situs jaringan sosial. Seakan-akan sudah menjadi kebutuhan primer bagi kita semua, atau memang sudah terjadi? Entah.

Hasil riset yang dipublikasikan oleh Kominfo. Mengungkapkan bahwa pengguna internet di Indonesia saat ini mencapai 63 juta orang, Dari angka tersebut, 95 persennya menggunakan internet untuk mengakses jaringan media sosial.

Kebutuhan akan menjalin hubungan sosial di internet merupakan alasan utama yang dilakukan oleh khalayak dalam mengakses media sosial.

Aktivitas yang dilakukan oleh khalayak terbilang masif dan intensif. Ini terbukti berdasarkan hasil riset Weare Social Houtsuite yang di rilis pada januari 2019 bahwa pengguna media sosial di Indonesia mencapai 150 juta atau sebesar 56% dari total populasi penduduk negara ini.

Memengaruhi Iklim Politik

Kita bisa lihat contohnya pada pemilu 2019 kemarin. Tagar-tagar yang menimbulkan stigma negatif terhadap lawan politiknya kerap tersebar dengan leluasa melalui media sosial. Tagar tersebut juga tak jarang pula dibagikan dengan konten dari suatu media untuk menambah validitasnya. Pengguna media sosial meyakini hal ini memiliki pengaruh besar terhadap proses pemilihan umum.

Contohnya yaitu ketika pada saat proses kontestasi politik kedua capres dan cawapres melakukan #DebatPilpres2019 yang kedua kalinya. Tagar tersebut menghasilkan 1,5 juta twit per-menit.

Jika di awal kemunculannya, media sosial hanya berfungsi sebagai alat eksistensi individu, fungsi tersebut kini merambah untuk mempengaruhi iklim politik suatu negara. Pernyataan ini dikemukakan oleh peneliti Ilmu Komunikasi, Natalie Stroud dalam tirto.id. 

Dalam penelitiannya di University of Texas at Autin. Stroud mengamati bagaimana media berperan menarik perhatian pengguna media sosial lewat berbagai konten yang ia bagikan. Ia mengatakan bahwa orang-orang (pengguna media sosial) perlu memikirkan setiap tindakan yang mereka lakukan dimedia sosial. "Kita semua punya peran dalam membentuk lingkungan disana" Ujarnya.

Berita dan berbagai opini yang anda bagikan, orang-orang yang anda ikuti begitupun sebaliknya, dan alat-alat yang tersedia disana berefek pada iklim politik.

Cyber-Hate dan Cyber-Bullying

Cyber-Hate telah hadir dimedia online dengan beragam konteks sejak internet mulai populer dimasyarakat pada pertengahan tahun 90an (Williams,2006). 

Suatu studi dari Oksanen et al (2014) menyatakan bahwa 67% remaja berusia 15-18 tahun telah terekspos pesan kebencian (hate material), dan 21% dari jumlah tersebut kemudian menjadi korban. 

Studi ini juga menyimpulkan bahwa peningkatan pengguna media sosial juga diimbangi dengan meningkatnya cyber-hate. Aksi terorisme diketahui berhubungan dengan prevalensi sentimen anti-imigran dan hate-crimes.

Suatu skala data eurobarometer di Eropa oleh Legewie (2013) menunjukan hubungan signifikan antara sentimen anti-imigran dengan aksi pengeboman oleh teroris di Bali dan Madrid. 

Serupa dengan hal tersebut, King dan Sutton (2014) menemukan hubungan antara aksi teroris dengan meningkatnya insiden hate-crimes di Amerika. Contoh kasus adalah serangan teroris 9/11, dimana terekam 481 hate-crimes dengan motif anti islam dan 58% terjadi 2 minggu sebelum serangan.

Disimpulkan bahwa hate-crimes akan terkelompok dalam waktu tertentu dan cenderung meningkat secara dramatis setelah suatu kejadian pemicu. Misalnya aksi teroris. Hate-crimes adalah suatu aksi komunikasi, sering terprovokasi oleh suatu kejadian disuatu kelompok target, melalui kelompok yang memiliki karakteristik serupa dengan pelaku (Williams M & Pearson O,2016).

Media sosial sudah dipastikan sudah menjadi wadah dalam berbagai informasi dan sebagainya. Komunikator dan Komunikannya pun terkadang bersifat homogen, yang tidak mengenal usia, jenis kelamin, maupun ras. 

Dalam menangkal berbagai sebuah isu hoax, intoleransi, dan isu-isu negatif lainnya, partisipasi masyarakat juga wajib ikut andil guna menyelamatkan bangsa dari upaya pecah-belah. Apalagi pengguna media sosial di Indonesia terkenal aktif, tetapi tidak memiliki literasi yang memadai untuk mengonfirmasi serta verifikasi mengenai kebenaran sebuah informasi.

Teriak dan mengumandangkan slogan-slogan kosong saja tidak cukup, tetapi harus dengan peng-implementasian dengan tindakan sesuai profesi, masing-masing. Butuh kontribusi nyata, tidak selalu dengan hal-hal besar. Tetapi dengan bersikap arif dan bijaksana terhadap lingkungan sekitar dalam bermedia sosial pun tidak masalah.

Harus diakui, media sosial atau internet menjadi penguasa pada era ini. Perkembangan zaman memang sudah tak terbendung, bahkan sebagian orang sudah menggantungkan kehidupannya di internet, wajar jika perkembangan dunia maya semakin pesat.

Tentunya kita harus terus menjaga diri serta merawat budaya literasi agar tidak dapat memungkinkan akan digenggam dan dikendalikan oleh media sosial yang kita pakai sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun