Mohon tunggu...
Nur Ramadhani A
Nur Ramadhani A Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang pemuda yang hobby rebahan dan berpetualang menyusuri padang khasanah ilmu. Demi cita-cita yang ia damba.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Halim dan Lubang Buaya

5 Januari 2025   17:06 Diperbarui: 5 Januari 2025   17:06 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Dengan nafas berat Omar Dhani menjawab, "Kurasa iya, kemungkinan ini ada keterlibatan dengan penculikan Dewan Jenderal". Mendengar jawaban itu, mata Martadinata kini berbalik kepadaku. Kutangkap raut wajahnya berubah, matanya sedikit memerah dengan urat-urat kepala yang mengencang.

"LIHAT?! SUDAH KUKIRA INI AKAN TERJADI! KENAPA BUNG KARNO TIDAK MENDENGAR UCAPAN KAMI?" ucap Martadinata dengan nada yang tinggi. "Hei, tenanglah Martadinata! Laporan ini pun masih simpang siur," balas Omar Dhani.

            Amarah Laksamana Madya R.E. Martadinata menjadi-jadi, ia bangkit dari kursinya dan berkata, "Sejak awal, saya sebagai Menteri Penglima Angkatan Laut menentang dan mewanti-wanti bahaya komunis. Kini, Bung Karno harus menerima malu! Bung Karno harus berhati-hati! Hewan yang Bung Karno pelihara kini menjadi buas dan sewaktu-waktu dapat membunuh Bung Karno kapan pun ia mau! Terakhir, Bung Karno harus bertanggung jawab terhadap apa yang terjadi pada hilangnya Jenderal Yani!".

            Laksamana Madya R.E. Martadinata lalu memberikan hormat dan pergi. Kembali suasana menjadi hening. Walk out-nya Menteri Panglima Angkatan Laut Laksamana R.E. Martadinata menyudahi pertemuan darurat malam itu.

*

            Pagi hari 3 Oktober 1965, tatkala aku sedang melihat burung-burung menari sambil bernyanyi di angkasa, Saelan memberikan sebuah laporan dari Kostrad. Tertulis pada sampul laporan itu Gerakan 30 September/PKI. Laporan itu kubuka dan kubaca dengan cermat, hingga tak disadari mataku menitikkan air mata.

            Laporan itu berisi nama-nama korban jiwa penculikan malam 30 September 1965, diantaranya; Mayor Jenderal Raden Soeprapto (Kepala Deputi II Menteri Panglima Angkatan Darat), Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Haryono (Direktur Intendans dan Deputi III Menteri Panglima Angkatan Darat), Mayor Jenderal Siswondo Parman (Asisten I Menteri Panglima Angkatan Darat), Brigadir Jenderal Donald Isaac Pandjaitan (Asisten IV Menteri Panglima Angkatan Darat), Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomihardjo (Inspektur Kehakiman dan Jaksa Militer Utama), Letnan Satu Pierre Tendean (Ajudan Jenderal A.H. Nasution), dan Letnan Jenderal Ahmad Yani (Menteri Panglima Angkatan Darat).

Mataku terhenti pada nama Yani. Sosok yang sangat dekat dengan diriku menjadi korban. Terngiang kembali amarah yang dilemparkan oleh R.E. Martadinata kepadaku, "Bung Karno harus bertanggung jawab terhadap apa yang terjadi pada hilangnya Jenderal Yani!". Jiwaku seakan dirobek oleh Aidit. Aku masih tidak percaya bahwa Aidit dan PKI-nya yang menjadi dalang dibalik peristiwa ini. Korban-korban itu ditemukan dalam sebuah lubang di wilayah Lubang Buaya berjarak beberapa ratus meter dari Pangkalan Udara Halim Perdana Kusuma.

Pagi yang seharusnya cerah, malah menjadi gelap. Bak air susu dibalas air tuba, kepercayaan yang kuberikan begitu besarnya dibalas oleh kemunafikan yang begitu licik. Satu hal yang mengguncangkan diriku adalah lokasi jasad itu tidak jauh dari Pangkalan Udara Halim Perdana Kusuma dimana aku diterbangkan pada hari itu. Tanpa berbasa-basi, aku kembali menuju kamarku untuk menenangkan diri dan memberikan pernyataanku atas peristiwa ini.

*

            "Begitulah, kisahnya," ucapku kepada para wartawan itu seraya menghirup kopi tubruk. "Lalu apa langkah yang akan Bung lanjutkan? Terlebih Pak Harto telah resmi menjabat sebagai Presiden Indonesia," ucap salah seorang wartawan itu. Aku diam, dan hanya tersenyum.

            Bagiku semua ini sudah selesai, aku yang bertanggung jawab atas kekeliruan yang pernah terjadi.  Meskipun kadang aku suka bertanya-tanya, "Apa salah saya, kok sampai diperlakukan begini?". Mungkin inilah yang telah aku capai dan ini adalah waktunya turun dari puncak. Kelak jika aku mati, hanya satu permintaanku.

            Aku ingin ditulis pada nisanku kata-kata yang sederhana, tertulis: 'Di sini beristirahat dengan tenang. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia'.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun