Seraya menunjukkan identitas mereka satu per-satu kepada penjaga rumah, para wartawan itu berlari seperti mengejar hewan buruan. Aku bangkit untuk menyambut dan menyalami mereka satu per-satu. Mataku berhenti pada salah seorang di antara rombongan itu, nampak ada wajah yang familier. Â
Seorang wanita dengan rambut ikal panjang dan berwarna hitam dengan ikatan ke atas yang nampak seperti memakai konde, serta wajah putih dengan bibir mungil merah merona serta hidung mancung yang diperindah dengan bola matanya yang hitam. Nampak di lehernya kalung emas yang saling mengait seperti rantai, dan jam tangan bewarna silver di lengan kanannya. Ah iya, dia adalah Cindy Adams! kesayanganku dari Amerika.
      Kami berpelukan seperti kawan lama yang bertahun-tahun tidak berjumpa, lalu berbincang cukup lama sambil menceritakan kedekatan kami. Para wartawan itu nampak antusias menyimak ceritaku, hingga salah satu di antara mereka menyelang. "Bung Karno kami sudah banyak mengetahui kedekatan anda dengan Cindy. Izinkan kami bertanya bung, bisakah anda memberikan keterangan pada kami dimana posisi anda saat malam kudeta itu terjadi? Beri tahu kami."
      Pertanyaan itu bak panah yang melesat dan menghujam sasaran tepat di jantungya. Walaupun aku merasa pertanyaan itu tidak etis untuk dipertanyakan, namun aku harus menghargai pertanyaan wartawan ini dengan menjawab pertanyaannya. "Kamu ingin dengar cerita dari saya punya? Baiklah, duduk yang manis karena orang tua ini akan bercerita kepada kalian."
*
      Pada 30 September 1965 pagi hari, aku yang dikawal Kolonel Saelan dan Letkol Untung dari Tjakrabirawa sedang menuju Istora Senayan dalam rangka menghadiri undangan forum penutupan Musyawarah Nasional Kaum Teknisi Indonesia. Hari itu aku tidak merasakan adanya kemelut pemberontakan, tetapi yang kuingat Letkol Untung pamit lebih dahulu kepadaku. Kepergian Letkol Untung siang itu tidak kucurigai sama sekali, sampai aku sadari pada satu minggu setelahnya.
      Selepas acara Musyawarah Nasional Kaum Teknisi Indonesia selesai, aku tidak langsung pulang menuju Istana, melainkan ke Wisma Yaso. Aku memutuskan untuk bermalam di kediaman istriku Ratna Dewi Sari. Waktu aku bermalam di Wisma Yaso itulah terjadi penculikan para jenderal yang diculik oleh para simpatisan PKI ke Lubang Buaya.
       Keesokan harinya pada 1 Oktober 1965, aku yang sedang berbincang dengan Kolonel Saelan di teras Wisma Yaso, mendapat telegram darurat dari Menteri Panglima Angkatan Udara Marsekal Madya Omar Dhani. Dalam telegram itu aku diperintahkan untuk pergi menuju Istana Bogor melalui Pangkalan Udara Halim Perdana Kusuma karena adanya sebuah gerakan yang dinamakan Kudeta Dewan Jenderal. "Apa maksudnya Dewan Jenderal?" tanyaku.
      Kolonel Saelan yang juga membaca telegram itu, mengusulkan agar aku mengikuti instruksi yang diberikan dari telegram Marsekal Madya Omar Dhani. Saelan berinisiatif untuk menyiapkan perlengkapan pribadiku yang akan dibawa ke Bogor, ditengah kegaduhan itu batinku bertanya-tanya gerangan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Tatkala sedang menunggu di teras dan Saelan menyiapkan perlengkapan-perlengkapanku, Brigjen Soepardjo tiba di depan gerbang dan datang menemuiku dengan tergesa-gesa.
Nampak dari gerak-gerik dan mimik wajahnya ia begitu cemas, sesampai beberapa langkah di hadapanku, ia memberi hormat dan menyalamiku. "Soepardjo, katakan apa yang terjadi?" tanyaku padanya. "Izin bung, semalam telah terjadi penumpasan kepada petinggi Dewan Jenderal yang telah dibereskan Letkol Untung dan Pasukan Tjakrabirawa. Tapi kondisi saat ini Jakarta belum kondusif, maka kami bersepakat akan mengevakuasi Bung Besar ke tempat aman di Istana Bogor," jawab Soepardjo.
      Seketika itu, Kolonel Saelan muncul dari belakang dan memberi tahu semua perlengkapanku sudah siap. Melihat Saelan membawa perlengkapan-perlengkapanku, Supardjo mengangguk. "Baiklah, sampai berjumpa di Istana Bogor", ucapku seraya kembali menyalami Soepardjo dan menuju mobil. Perjalanan dari Wisma Yaso ke Halim hanya sekitar 15 menit, sesampainya di Halim, kulihat para prajurit Angkatan Udara sedang berjaga ketat, mungkin sekitar satu batalion banyaknya.
      Aku keluar dari mobil dan tampak laki-laki bertubuh tegap yang berseragam biru langit dengan lencana bewarna emas yang terukir tiga bintang berbaris di pundaknya dan kumis hitam yang tebal nan khas menghampiriku. Bola matanya yang hitam memancarkan cahaya seperti mutiara Tahiti, ditambah pandangannya tajam dan buas seakan siap menerkam mangsa.  Ia memberi hormat, dan menyalamiku.