Mohon tunggu...
Cahaya
Cahaya Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Janji-Mu pasti, aku tahu itu

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengulas Sedikit Persoalan Hukum Perdata Islam di Indonesia

22 Maret 2023   00:17 Diperbarui: 22 Maret 2023   02:54 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

1). Hukum Perdata Islam di Indonesia

Negara Indonesia adalah negara hukum. Yang disebut dengan negara hukum adalah dalam pelaksanaannya Indonesia memiliki konsepsi negaranya yang bersandarkan bahwa segala kekuasaan negara itu harus dijalankan berpedoman dengan hukum yang adil. Dalam pengimplementasian kehidupan dari negara hukum adalah dari setiap tindakan negara harus senantiasa bertujuan guna menegakkan kepastian hukum, dilakukan secara adil merata, menjadi unsur demokrasi dan sebagai pemenuhan tuntunan akal budi.

Pengaktualan Indonesia sebagai bentuk negara hukum yang baik dan benar dalam hal mengatur segala persoalan yang ada dalam negara tersebut tidak lepas dari peran warganya. Dengan keikutsertaan warga negara yang patuh pada peraturan hukum yang telah dibuat oleh negara mampu membantu mewujudkan negara hukum yang seharusnya. Karena hukum adalah sebuah tatanan atau kaidah yang harus dijunjung tinggi oleh setiap warga negara.

Seharusnya memiliki kesadaran atas negara yang berdasarkan hukum adalah suatu kewajiban bagi setiap warga negara. Bukan berdasarkan kekuasaan. Sehingga dalam pengimplementasian bernegara serta berbangsa pun dilakukan secara sesuai dengan hukum perundang-undangan yang berlaku. Karena apabila pemerintah dan semua warga negara telah menjadi warga negara yang patuh terhadap hukum maka akan tercipta perwujudan hukum nyata dan sebenar-benarnya. Selain itu, akan timbul dampak -- dampak positif jika perwujudan hukum telah nyata diantaranya adalah akan tercipta sebuah kondisi negara yang damai dan ideal bagi perkembangan kemajuan bangsa.

Dalam sebuah negara pasti memiliki berbagai macam persoalan. Yang mengaitkan antara hak kewajiban individu dengan individu. Hal itu diatur oleh hukum perdata. Hukum perdata adalah hukum yang mengatur mengenai hak kewajiban antara individu.

Sedangkan, hukum perdata islam di Indonesia adalah hukum yang mengatur keperdataan Islam di Indonesia. Dalam perkara perkawinan, pewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, sedekah, ekonomi syariah dan sebagainya.

Dan sudah selayaknya negara selalu mendukunng perkembangan hukum ini. Karena penegakkan dalam hukum Islam tidak hanya untuk kebutuhan umat Islam saja, tetapi juga sebagai kerangka beribadah sebagai bentuk perwujudan kepatuhan serta kepatuhan seorang muslim kepada Tuhannya.

Pada tataran sistem hukum yang ada di Indonesia, dimana hukum yang hidup adalah hukum adat, hukum Islam dan hukum barat, keberadaan hukum perdata Islam merupakan suatu keniscayaan yang keberadaannya mewarnai sistem hukum Indonesia.

Hukum perdata Islam di Indonesia adalah hukum positif yang berlaku di Indonesia yang bersumber dari hukum Islam (yang notabene adalah ajaran Islam yang bersumber dari Al-Quran, Hadits, Ijma dan sumber hukum lainnya) dan melalui proses positivisasi yang positif. hukum. Hal ini perlu dijelaskan mengingat hukum Islam tidak sama dengan syariah atau fikih, karena terdapat produk hukum lain seperti fatwa, putusan pengadilan dan undang-undang yang secara keseluruhan tidak dapat dipisahkan dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bangunan hukum Islam. Oleh karena itu, mengingat negara kita adalah negara yang tidak berdasarkan agama tertentu, perkembangan hukum Islam menarik untuk dikaji.

Dengan demikian yang termasuk dalam hukum perdata Islam dapat meliputi hukum keluarga, hukum ekonomi, hukum politik, hukum acara, dan sebagainya. Hal-hal tersebut merupakan aspek materi hukum perdata Islam yang merupakan bagian dari kekayaan ilmu hukum di Indonesia dan diajarkan di setiap fakultas hukum di semua perguruan tinggi di Indonesia karena materi hukum tersebut merupakan hukum yang hidup dan berlaku di negara tercinta ini.

2). Prinsip Perkawinan dalam UU 1 tahun 1974 dan KHI 

Azas-azas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam Undang-undang ini adalah sebagai berikut:

a. Tujuan pernikahan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya untuk membantu dan mencapai kesejahteraan lahir dan batin.

b. Undang-undang ini menyatakan bahwa suatu perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya; dan selain itu, setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan setiap perkawinan sama dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, seperti kelahiran, kematian yang dituangkan dalam akta, akta resmi yang juga dicantumkan dalam buku register.

c. Undang-undang ini menganut asas monogami. Hanya jika yang bersangkutan menghendakinya, karena hukum dan agama yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami boleh beristri lebih dari seorang. Akan tetapi perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri, sekalipun dikehendaki oleh pihak-pihak yang berkepentingan, hanya dapat dilaksanakan jika syarat-syarat tertentu dipenuhi dan diputus oleh Pengadilan.

d. Undang-undang ini menganut asas bahwa calon suami istri harus telah dewasa jasmani dan rohani untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan dengan baik tanpa berakhirnya perceraian dan menghasilkan keturunan yang baik dan sehat.

e. Untuk itu, perkawinan calon suami dengan istri yang masih di bawah umur harus dicegah.

f. Selain itu, perkawinan terkait dengan masalah kependudukan. Ternyata batas usia yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk menikah menghasilkan tingkat kelahiran yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan batas usia yang lebih tinggi.

g. Sehubungan dengan itu Undang-undang ini menetapkan batas usia perkawinan bagi laki-laki dan perempuan yaitu 19 (sembilan belas) tahun bagi laki-laki dan 16 (enam belas) tahun bagi perempuan.

 

3). Pentingnya pencatatan perkawinan dan dampak tidak dicatatkan

Adapun pencatatan perkawinan dimaksudkan untuk membuat acara perkawinan menjadi jelas, baik bagi yang bersangkutan, maupun bagi orang lain dan masyarakat. masalah ini dapat dibaca dalam surat resmi dan juga dimuat dalam daftar khusus itu disediakan, sehingga sewaktu-waktu dapat digunakan terutama sebagai alat bukti tertulis. uu perkawinan tidak hanya mengatur bahwa perkawinan harus dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing, tetapi juga menuntut catatan untuk dicatat melalui pencatat nikah. begitu melawan jodoh yang tidak tercatat (siri nikah) tidak dapat dibuktikan pernikahan jika menghadapi masalah hukum pernikahan sah kapan saja dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. selain itu masing-masing perkawinan harus dicatatkan pada kantor catatan sipil sesuai dengan ketentuan yang berlaku. konsekuensi hukum perkawinan tidak dicatat, padahal agama atau kepercayaan dianggap ya, tetapi perkawinan itu dilakukan di luar sepengetahuan dan pengawasan pencatat perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap dan tidak diakui di mata hukum negara. baik

Secara hukum, perempuan tidak dianggap sebagai istri yang sah dalam hal berbagi harta bersama. dia tidak berhak mendapat nafkah dan warisan dari suami jika ditinggal mati. selain menyanyi

istri tidak berhak atas harta bersama atau harta bersama dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, karena menurut hukum negara, perkawinan dianggap tidak pernah terjadi.

tujuan pencatatan perkawinan antara lain:

(1) Mencipta tatanan perkawinan di masyarakat.

(2) Preventif, agar tidak terjadi

penyimpangan rukun dan syarat perkawinan, baik menurut hukum agama

maupun oleh undang-undang.

(3) Menjaga martabat dan kesucian

pernikahan, khususnya istri dalam kehidupan rumah tangga dan anak.

(4) Jika terjadi perselisihan atau salah satu pihak tidak mau bertanggung jawab

tanggung jawab, maka pihak lain dapat mengambil tindakan hukum untuk mengajukan

gugatan, karena Akta Nikah merupakan bukti otentik.

 

4). Pendapat Ulama KHI tentang Perkawinan Wanita Hamil

Menurut KHI, perempuan yang hamil di luar nikah dapat dinikahkan langsung dengan laki-laki yang menghamilinya tanpa menunggu perempuan tersebut melahirkan kehamilannya. Sedangkan berdasarkan hukum Islam, dalam hal ini pendapat Imam Malik dan Ahmad bin Hambali mengatakan bahwa tidak boleh melangsungkan perkawinan antara wanita hamil karena zina dengan seorang laki-laki sampai kandungannya lahir. Perbedaan ini terjadi karena dipengaruhi oleh perbedaan dalil-dalil (Al-Qur'an dan Hadits) yang digunakan dalam mengungkapkan masalah nikah hamil di luar nikah. KHI menjelaskan bahwa hamil di luar nikah didasarkan pada dalil Al-Qur'an dalam Surat An-nur ayat 3, mazhab Syafi'i dan Hanafi, pendapat Abu Bakar, Umar dan Ibnu Abbas. Bahwa Hukum Islam menggunakan dalil Al-Qur'an dalam An-Nisa ayat 11, 12 dan 176, At-Talaq ayat 4, Mazhab Maliki dan Ahmad bin Hambal; (2) KHI membolehkan perempuan yang hamil akibat zina menikah dengan laki-laki yang menghamilinya. Menurut hukum Islam, status hukum wanita kawin yang hamil akibat zina dengan pria yang menghamilinya juga memiliki perbedaan pendapat di antara empat mazhab. Mazhab Hanafi dan Syafi'i membolehkan perkawinan seorang wanita yang hamil akibat zina dengan laki-laki yang menghamilinya. Mazhab Maliki dan Hanbali melarang wanita yang hamil akibat zina dengan pria yang menghamilinya.

Pasal 53 KHI menjelaskan dibolehkannya perkawinan bagi wanita yang hamil di luar nikah karena perzinahan, dengan laki-laki yang menghamilinya, Ketentuan dalam KHI ini sama sekali tidak menggugurkan status zina bagi pelakunya, meskipun telah menikah setelah hamil di luar nikah. Ini akan meningkat pelik ketika masalah ini terkait dengan status anak yang lahir di kemudian hari.

Dapat disimpulkan bahwa Perkawinan wanita hamil diperbolehkan bagi siapa saja dalam keadaan seperti ini

a) hamil tanpa ada alasan untuk melahirkan.

b) Perkawinan wanita hamil dapat dilakukan dengan pria yang menghamilinya.

c) Pernikahan wanita hamil dilakukan tanpa pelaksanaan had (rajam)

Pertama, jika kehamilan tersebut disebabkan oleh zina yang disengaja dan jelas.

d) Perkawinan ibu hamil dapat dilakukan tanpa menunggu kelahiran anak di dalam rahim.

e) Perkawinan yang telah dilaksanakan sudah merupakan perkawinan yang sah dan tidak perlu mengulang pernikahan.

Menurut empat ulama populer di Indonesia khususnya (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali) berpendapat bahwa perkawinan mereka sah dan sah bercampur sebagai suami istri. Karena hamil seperti ini tidak membuatnya haram telah menikah. Sedangkan menurut Ibnu Hazm (Zhahiriyah) berpendapat bahwa keduanya (hukum) boleh kawin dan boleh juga bercampur, asalkan bertaubat dan dihukum dengan cambukan (cambukan), karena keduanya telah melakukan zina

 

5). Upaya yang dilakukan untuk menghindari perceraian

Pertama, ketika ada masalah yang disebabkan oleh istri atau suami, dan masih bisa diselesaikan secara kekeluargaan, maka masing-masing pihak harus lebih bersabar terhadap pasangannya walaupun ada beberapa hal yang membuat mereka membenci pasangannya. Hal ini dijelaskan dalam surat an-Nisa' ayat 19: Berdasarkan ayat ini, ketika istri dianggap tidak menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai istri, maka suami tidak boleh terburu-buru menceraikannya. Para suami malah diperintahkan untuk melakukan tiga tahapan pendidikan, yaitu menasihatinya dengan cara yang baik, memisahkan tempat tidur, dan bila perlu memukulinya dengan cara yang tidak melukai atau menimbulkan luka. Padahal, menurut para ulama, cara terakhir ini perlu ditinggalkan karena Nabi tidak pernah memukul istrinya. Ketiga, ketika suami melakukan nusyuz, meski berat bagi istri, upaya perdamaian antara suami istri merupakan langkah yang sangat dimuliakan oleh Allah SWT. bahwa masalah suami istri seperti pertengkaran dan perselisihan jangan sampai membuat mereka langsung memilih cerai. Bahkan, ada perintah agar keduanya mengirimkan juru damai dari keluarganya masing-masing agar terjadi perdamaian dan bisa utuh kembali sebagai suami istri.

Oleh karena itu, jangan asal mengatakan cerai saat terjadi masalah. Bisa jadi apa yang kita pikirkan tentang masalah ini tidak objektif karena banyak faktor, bisa juga karena kita sedang marah, banyak masalah yang tidak jelas, dan sebagainya.

Disinilah pentingnya Pengadilan Agama dan para perantaranya memastikan bahwa apa yang dipaparkan dalam Al-Qur'an di atas dapat diimplementasikan untuk menyelesaikan permasalahan rumah tangga. Peradilan Agama memposisikan dirinya sebagai perantara dan memandang fakta secara objektif, sehingga akan mengambil keputusan yang dianggap paling menguntungkan bagi suami istri.

6. Review Buku

Judul buku  : Hukum Perorangan dan Kebendaan

Penulis       : I Ketut Oka Setiawan

Dalam  kehidupan bermasyarakat, kita tidak bisa lepas dari masalah hukum. Hukum yang mengatur hubungan antar masyarakat justru adalah hukum perdata. Hukum perdata mencakup hal-hal yang diatur, termasuk hukum pribadi dan substantif. Hukum tunggal termasuk mis. status subjek hukum anak (sejak lahir sampai meninggal), perolehan hak, perwalian, perwalian, pengangkatan anak, rumah tangga dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kekuasaan orang tua sampai anak mencapai usia dewasa dan undang-undang yang mengaturnya berubah sesuai dengan hak dari seorang anak kemerdekaan, termasuk hak atas pendaftaran dalam hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan, kelahiran dan kematian. Peralihan status hukum anak menjadi dewasa dan perkawinan secara tidak langsung melahirkan hukum yang mengatur tentang materi, termasuk cara memperoleh hak materi, salah satunya melalui pewarisan. Oleh karena itu, pokok bahasan hukum suksesi dan segala pembahasan di atas juga dipaparkan dalam buku ini. Buku ini juga memuat ketentuan-ketentuan terkait  pengangkatan anak, antara lain UU No. 23 Tahun 2002, PP no. 54 Tahun 2007 dan Mensos no. 110/Huk/2009. Selain itu, dengan adanya buku ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang komprehensif kepada para pembaca, mahasiswa/cendekiawan, praktisi hukum dan masyarakat luas yang berminat  mempelajari hukum perdata, khususnya hukum yang mengatur tentang hal-hal pribadi dan materiil dalam lalu lintas. . hubungan antarmasyarakat.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun